51

31 1 0
                                    

Clara benar-benar berakhir di tiang pancang. Siapa pun yang berjalan menuju sumur untuk mengambil air akan memiliki kesempatan untuk mengamatinya. Vlad sendiri yang mengikatnya dengan kencang, dan Vlad juga yang memastikan bahwa tiang kayu itu tidak akan roboh tertiup angin. Tempat yang dipilih pun merupakan tanah lapang yang paling panas karena tidak dinaungi oleh pepohonan sama sekali. Ini benar-benar hukuman yang dirasa pantas oleh Vlad Tepesh.

Viorica jelas menyukai ide itu, sehingga ia membuat alasan untuk pergi ke sumur berkali-kali hanya demi memandangi Clara dan tiang pancangnya. Sesekali Viorica mengambil air untuk ruang cuci, kemudian mengambil air untuk keperluan dapur, lalu alasan lain-lainnya.

Di sisi lain, Marusia tidak berlama-lama menatap si terhukum, karena ia harus mendampingi Vlad Tepesh beraktivitas seperti biasa. Marusia mungkin masih menabrak Vlad beberapa kali ketika pria itu berhenti berjalan secara mendadak, tetapi waktu akan membuatnya terbiasa memperkirakan jarak yang pas dengan tuannya itu. Vlad terus menempatkan Marusia di sisinya, dan menimbang-nimbang hukuman apa yang pantasnya ia berikan kepada Marusia karena berbelit-belit mengenai informasi yang dianggap penting untuknya.

***

"Kita harus menentukan rute!" seru Marcus ketika kereta mereka tiba-tiba berhenti.

"Menentukan rute?" Vladimira meraih gagang pintu kereta, kemudian keluar dari sana.

"Kita punya beberapa pilihan," kata Marcus seraya mengikuti Vladimira ke bagian belakang kereta, "dan terbang bukanlah salah satunya."

Vladimira melepaskan tas besarnya yang diikat di bagasi, menurunkannya, mengambil sebuah peta di dalam sana, kemudian membiarkan salah satu pengawal mengembalikan tasnya ke bagasi lagi.

Dengan satu gerakan cepat, Vladimira membentangkan gulungan peta besar di tangannya, dan matanya mulai meneliti setiap jalan yang mungkin bisa dilewati.

"Rute selatan harus dieleminasi secara otomatis," celetuk Vladimira.

"Ya, aku tidak buta!" sembur Marcus, "Kita semua setuju untuk tidak melewati Konstantinopel dan sekitarnya! Jadi, rute yang tersisa hanyalah terus ke barat, atau memutar lewat utara."

"Lewat utara sangat jauh," keluh Vladimira. "Melewati Kekhanan Krimea atau Lithuania, dan Kerajaan Polandia, jelas butuh lebih dari sepekan. Kuda-kudamu bisa mati."

"Kau memilih menerobos rute barat, kalau begitu?" Marcus seolah menanyakan kesetujuan Vladimira.

"Ya," ujar Vladimira dengan wajah yang tampak tegang, "kita menerobos Ottoman sedikit, lalu melewati Wallachia."

"Wallachia juga ada di tangan Ottoman," Marcus mengingatkan.

"Kita bisa bilang kita berdagang ke barat," Vladimira menawarkan solusi. "Kita punya gandum. Menjual gandum."

"Menjual gandum dengan pengawalan tiga lusin pengawal bangsawan gabungan?" Marcus mencibir.

"Dan perhiasan," tambah Vladimira. "Menjual gandum dan perhiasan."

"Cerdas!" Marcus mengangguk. "Kita akan melintasi Wallachia! Kita tidak perlu takut pada Radu cel Frumos!"

"Radu apa?" Vladimira menoleh pada Marcus.

"Radu si Cantik." Marcus mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu mengapa dia dijuluki seperti itu, dan itu bukan masalah utamanya. Radu cel Frumos adalah pemimpin Wallachia yang sekarang, di bawah pengawasan Ottoman, setelah sukses menyerang kakaknya. Entah di mana Vlad Tepesh berada sekarang."

"Kita lanjutkan perjalanan!" seru Vladimira pada seluruh rombongan, kemudian ia memasuki kereta kuda lagi. "Marcus, ceritakan padaku mengenai Vlad Tepesh, Radu siapalah itu, dan apa pun yang kau ketahui tentang Ottoman. Pengetahuanku masih sangat minim."

***

Senyuman Ilona mengembang ketika ia melihat Vlad berjalan menuju taman bersama Marusia di belakangnya. Vlad tampak segar dalam balutan baju berwarna merah anggur, dan Marusia tampak cerah dengan seragam kuning lemon yang pagi ini luput dari perhatiannya.

"Jadi, kau sudah menjelaskan pada Marusia mengenai tugas-tugasnya sebagai pelayan pribadi?" tanya Ilona begitu Vlad berada tepat di hadapannya.

Vlad tersenyum pada dirinya sendiri, karena ia sebenarnya sama sekali tidak mengajarkan apa pun pada Marusia pagi ini, dan justru menghabiskan waktunya untuk bicara dengan Erzsebet, lalu menghukum gadis bernama Clara itu.

"Dia sudah mengerti sedikit, dan akan semakin mengerti seiring berjalannya waktu," dusta Vlad seraya meraih tangan kanan Ilona untuk mengecup jari-jarinya.

Marusia tidak memperhatikan apa pun karena sibuk menyingkirkan helaian keriting yang menjuntai di depan matanya.

"Marusia," panggil Ilona.

"Ya, Lady?" Marusia menyahut.

"Kuharap kau tidak mengecewakan Lord Draculea, dan tidak membuatku malu," kata Ilona dingin.

"Saya tidak akan membuat kesalahan," janji Marusia.

"Sudahlah, Ilona." Vlad mendekap pundak Ilona dan menuntunnya mengelilingi halaman istana yang dipenuhi bunga-bunga. "Jangan terlalu memikirkan Marusia. Aku akan bisa mengatasi segala perilakunya, seperti aku sudah mengatasi segala perilaku Erzsebet. Malahan, kurasa, Marusia jauh lebih bisa diatur dibandingkan pelayan pribadiku yang terdahulu." Vlad tersenyum untuk menutupi dustanya. Jelas sekali jika Marusia jauh lebih kekanakan daripada Erzsebet, karena Marusia memang masih belum dewasa.

"Omong-omong tentang Erzsebet, sebaiknya kita menukar area tugasnya dengan Marusia," usul Ilona. "Sebagai pelayan pribadimu, Marusia seharusnya tinggal di istana cabang tempatmu berada. Erzsebet tidak berkewajiban berada di sana sekarang."

"Erzsebet masih sedikit berguna," sanggah Vlad, "karena tenaganya lebih besar daripada gadis-gadis lain di istana cabang tempatku berdiam. Tukar saja kamar Marusia dengan seorang pelayan bernama Clara. Dia tidak cukup berguna."

"Baiklah jika demikian pendapatmu, Sayang," sahut Ilona mesra.

***

"Aku tidak mengetahui terlalu banyak," kata Marcus, "tetapi aku mengetahui bahwa Radu cel Frumos menyerang kakaknya sendiri atas perintah Mehmet II, dan sekarang memimpin Wallachia. Itu taktik cerdas agar rakyat Wallachia tidak melawan, karena mereka tahu bahwa pemimpin saat ini merupakan putra Vlad II yang lain. Sial bagiku, karena walaupun berbatasan langsung dengan Ottoman, aku tidak pernah mendapatkan informasi lainnya dengan cukup mudah."

Samar-samar, mereka mendengar kusir mengatakan bahwa mereka akan melewati perbatasan Mariante dengan Hypatini, dan menawarkan untuk berhenti dan makan siang jika Marcus dan Vladimira berkenan.

Tentu saja, Vladimira mengiyakan ide untuk makan siang di penginapan pertama yang mereka temui setelah melanjutkan perjalanan selama beberapa saat. Perutnya sudah meronta minta diisi, dan tenggorokannya sudah menjerit ingin dibasahi.

Marcus dan Vladimira meminta semua pengawal mereka makan secara bergantian agar ada yang menjaga harta benda mereka, dan beristirahat secukupnya hingga pegal-pegal mereka mereda. Vladimira juga membeli beberapa botol, lalu mengisinya dengan air dan bir untuk dibawa melanjutkan perjalanan. Mereka juga membawa gula-gula sebagai camilan, dan melanjutkan perjalanan sambil menyanyikan lagu kebangsaan Romanum Novum untuk menceriakan suasana.

Dalam keramaian itu, Marcus turut bernyanyi di dalam keretanya, sementara Vladimira hanya terdiam. Perjalanan ini akan memakan waktu setidaknya empat hari, itu pun jika hujan dan badai tidak menghambat mereka. Empat hari berangkat dan empat hari pulang, jika mereka cukup bersemangat dan tidak terlalu sering berhenti.

"Tambah kecepatannya," celetuk Vladimira.

"Apa?" Marcus menoleh pada Vladimira.

"Tambah kecepatannya!" teriak Vladimira, "Kita melaju secepat yang sanggup dilakukan oleh kuda-kuda kita, dan berhenti ketika waktunya makan malam!"

Marcus segera membuka kotak komunikasi antara dirinya dengan si kusir, dan memberitahukan perintah Vladimira tersebut. Rombongan mereka pun mempercepat langkah kuda-kuda mereka, dan derapnya begitu agung sekaligus mengerikan, seperti derap kereta perang.

-Emer Emerson-

Lady VladimiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang