13

5.6K 504 41
                                    

LUKA
Part 13

Jeno melangkah ragu menuju ruang kerja Ayahnya. Jujur ia takut tapi mengingat bagaimana beberapa hari sikap ayahnya sudah berubah, ia mendadak tenang. Ia yakin ayahnya tidak akan memukulnya lagi. Jika hanya dimarahi saja, Jeno tidak masalah.
Perlahan, Jeno mendorong pintu ruang kerja Ayahnya. Jaehyun yang sedang sibuk mengetik sesuatu dilaptopnya mendadak berhenti dan bangkit berdiri.
"Sudah merasa hebat sampai berkelahi segala?" Sindirnya.
"Maaf pa" ujar Jeno lirih.
"Kau pikir karena aku bersikap baik, kau bisa seenaknya?"
Jeno terkejut. Ayahnya kembali menyebut dirinya dengan "aku", seperti dulu.
"Kau jangan berharap lebih. Memang bocah sialan. Tak berguna. Kau pikir aku benar-benar akan bersikap baik denganmu? Jangan bermimpi! Sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa memaafkanmu! Pembunuh!"
Jeno menahan mati-matian agar ia tidak menangis. Hatinya teramat sakit mendengar ucapan ayahnya barusan.
"Kalau begitu pukul Jeno saja pa" Jeno mengulurkan kedua tangannya. Dengan tatapan menantang, memandang Ayahnya. Jeno salah, jika begini, ia lebih baik dipukul daripada dimarahi namun dengan kata-kata yang menusuk.
"Kau menantang rupanya? Baik" Jaehyun mengambil sebuah gesper yang ia gantung di gantungan baju miliknya. Ia mengambil ancang-ancang untuk memukulkan gesper itu pada lengan Jeno.
Jeno diam tak bergeming saat Ayahnya mulai memukulnya. Baru kali ini Jeno sadar, ternyata luka fisik tak sebanding dengan luka di hati.
Puas memukul Jeno, Jaehyun melempar gesper itu ke lantai.
"Kembali ke kamarmu" perintahnya.
Tanpa pamit, Jeno segera membalikan badan, melangkah lebar meninggalkan ruang kerja ayahnya.

Jeno menjatuhkan dirinya ke lantai kamarnya. Melempar asal tas ranselnya, lalu bersender pada ranjangnya.
Jeno ingin marah dengan ayahnya tapi ia sadar, ini salahnya. Seharunya ia tidak berharap lebih pada ayahnya. Seharunya dari awal ia sadar diri bahwa ayahnya tak mungkin memperlakukannya seperti dulu lagi. Ditambah kini ia membuat Taeyong kecewa dengannya, padahal Taeyong lah yang selalu ada untuknya. Hari ini benar-benar hari yang kacau untuk seorang Jeno. Jeno tak henti menyalahkan dirinya.
"Sebenarnya untuk apa sih aku hidup?" Gumamnya dalam hati.
Dilihatnya garis-garis merah ditangannya, hasil dari pukulan ayahnya barusan. Perih tapi tidak seperih hatinya saat ini. Jeno pikir ia harus menyakiti dirinya lebih lagi secara fisik agar ia bisa melupakan sejenak rasa sakit di hatinya. Jeno mengedarkan pandang, dan berhenti pada sebotol alkohol yang masih terisi setengah, sisa dari praktek kelas biologinya kemarin. Disiramkannya alkohol itu ke atas luka tangannya hingga alkohol itu habis tak tersisa.
"Jeno! Apa yang kau lakukan?" Pekik Taeyong. Ia tadi memutuskan memutar balik mobilnya kembali ke rumah Jaehyun.
Taeyong menghampiri Jeno, ikut berlutut disebelahnya, mencoba menarik tangan Jeno untuk memeriksanya namun ditepis kasar oleh Jeno.
"Pergi!" usir Jeno dengan tatapan penuh amarah.
Taeyong merasa ada yang salah dengan Jeno. Melihatnya saja sudah terbayang betapa perihnya luka ditangan Jeno ditambah lagi ia menyiramkan alkohol di atasnya, tapi anehnya wajah Jeno tetap datar, tak terlihat kesakitan apalagi menangis.
Taeyong memutar otaknya cepat, mencari cara agar Jeno mau mendengarkannya karena ia tahu Jeno sedang marah.
"Jeno, jangan begini ya. Mama Hanna melihat dari atas. Dia akan sedih kalau lihat Jeno begini. Cukup ya? Kita obati ya lukanya?" Biasanya kalau sudah membawa ibunya, Jeno akan menurut.
Benar saja, kali ini dengan hati-hati, Taeyong kembali menarik tangan Jeno, kali ini tanpa perlawanan. Dengan tisu, Taeyong mengeringkan alkohol yang membasahi tangan Jeno. Ia bahkan melakukannya dengan hati-hati agar Jeno tak kesakitan.
"Jeno, maafkan Paman ya. Seharusnya Paman mendengarkan penjelasan Jeno dulu tadi" Taeyong menarik Jeno dalam dekapannya. Beberapa saat keadaan hening hingga pundak Jeno mulai bergetar.
"Menangis saja kalau ingin menangis" Taeyong mengusap lembut punggung Jeno. Dan detik selanjutnya, tangisan Jeno pecah.
Taeyong ikut menitikan air mata mendengarnya, ia merasa sangat bersalah karena tadi ia memarahi Jeno.
Taeyong melepas dekapannya, kemudian menyeka air mata Jeno dengan tangannya saat Jeno sudah mulai tenang.
"Jeno- Jeno tidak masalah kalau Papa tidak percaya dengan Jeno. Tapi-" Jeno mengatur nafasnya yang tersengal. "Tapi kalau Paman yang sudah tidak percaya dengan Jeno-" Jeno menggeleng. "Jeno tidak bisa. Jeno rasanya sendirian. Kalau seperti ini, rasanya Jeno mau menyusul Mama saja"
Hati Taeyong mencelos mendengar penuturan Jeno barusan. Ia kembali memeluk Jeno.
"Jeno tidak boleh berpikir seperti itu ya. Ada paman. Paman percaya kok sama Jeno. Maafkan paman ya"
Taeyong bersyukur tadi Sora memarahinya saat ia menelepon istrinya itu dan menceritakannya mengenai Jeno.
"Memang kau kenal Jeno baru 1-2 hari? Selama ini memang Jeno pernah berkelahi? Kenapa dengan mudah kau menghakiminya? Jeno hanya punya kau. Bisa-bisanya kau menghancurkan anak tak bersalah itu?!" Begitu perkataan Sora tadi. Ia sampai mengancam tidak akan membukakan pintu rumah jika Taeyong tidak meminta maaf pada Jeno. Istrinya memang kelewat sayang dengan Jeno.

Taeyong benar-benar merasa bersalah. Tadi ia hanya berpikir bagaimana menyelesaikan masalah Jeno dengan cepat agar hubungan Jeno dan Jaehyun tidak kembali rusak hanya karena ini. Ia takut jika Jaehyun kembali bersikap kasar pada Jeno. Taeyong tak sadar bahwa keputusannya justru membuat Jeno semakin terluka.

Tanpa sadar, Jaehyun mendengarkan percakapan mereka dari balik pintu yang tidak tertutup rapat.
Mendadak ia kesal. Apakah Taeyong lebih dianggap oleh Jeno dibandingkan dirinya?
Jaehyun memilih pergi, tak ingin mendengarkannya lebih banyak.

TBC
Double up nih 🥺 hehhe
Jangan lupa vote & comment ya
Makasii~

Siapa kena PHP si Jaehyun? 🤭🤭🤭

LUKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang