07

5.5K 469 6
                                    

LUKA
Part 07


Sudah 1 jam lamanya Jeno hanya berdiam diri dikamar. Tugas fisikanya sudah ia selesaikan sejak setengah jam yang lalu dan sekarang ia hanya berbaring diatas ranjangnya menatap langit-langit kamarnya.
Jeno lantas bangkit, kemudian membuka pelan pintu kamarnya. Memastikan apakah tamu ayahnya sudah pulang atau belum. Namun mendengar suara tawa yang begitu ramai, mengartikan para tamu masih ada dilantai 1. Jaehyun memang selalu memintanya untuk diam dikamar setiap kali ada tamu yang datang kerumah. Ia tak mau sungkan-sungkan mengenalkan Jeno pada mereka sebagai anaknya. Tentu saja, Papa mana sudi mengakuinya sebagai anak. Pikir Jeno
Jeno baru saja hendak mengurungkan niatnya untuk keluar, tapi sayangnya ia benar-benar butuh ke toilet. Ia minum terlalu banyak tadi.
Tidak apa asal aku tidak menimbulkan suara, pikirnya. Nekat membuat keputusan untuk keluar sejenak dari kamarnya.
Dengan mengendap-ngendap, Jeno keluar dari kamar, berjalan menuju toilet yang tak jauh dari kamarnya, yang untung saja kedap suara sehingga ia tetap aman tidak terdengar meskipun ia sedang menggunakan toilet.
Sudah selesai dengan urusannya, Jeno hendak kembali ke kamar. Tapi karena ia tidak mengeringkan kakinya dengan benar, Jeno tergelincir hingga terjatuh. Tangannya reflek bertumpu pada meja kayu, menghasilkan suara dentum yang cukup keras.
Dengan kesakitan Jeno segera berdiri dan berlari masuk kedalam kamarnya. Ia berdoa agar tamu-tamu ayahnya tidak mendengar suara barusan, atau habislah dia.

••

Brak!
"Kau mendengar suara?" Tanya Yuta, rekan bisnis Jaehyun. Ia mengedarkan padangannya mencari asal suara, membuat rekan yang lain juga jadi terdiam dan ikut mencari asal suara.
"Ah itu hanya angin, aku lupa menutup jendela lantai 2" ujar Jaehyun beralasan. Untung saja rekan-rekannya itu hanya mengangguk paham kemudian kembali membahas masalah bisnis mereka.
Tanpa sadar ekspresi wajah Jaehyun mengeras. Tangannya terkepal. Dalam hati ini bertekad akan memberi Jeno pelajaran setelah rekannya pulang.

••

Jeno yang sedang memasukan buku-buku pelajarannya kedalam tas melonjak kaget saat Jaehyun membuka pintu kamarnya dengan kasar. Ia membawa tungkainya mendekat pada Jeno. Semakin Jaehyun mendekat, semakin pula Jeno memundurkan langkahnya. Wajahnya terlihat ketakutan seakan bisa menebak apa yang akan Ayahnya lakukan padanya.
"Ampun pa. Tadi- tadi Jeno cuma ke toilet. Jeno gak sengaja- Akh!"
Punggung Jeno menabrak dinding, tak ada kesempatan untuk lari. Tangan kiri Jaehyun sudah menarik keras rambut hitam Jeno membuatnya memekik kesakitan.

Plak! Tangan kanannya digunakan untuk memberi sebuah tamparan untuk pipi kanan Jeno.
"Kau sengaja hah?!"

Plak! Tamparan kedua.
"Sudah kubilang untuk tetap dikamar. Kau tolol ya?"

Plak. Tamparan ketiga.
"Kau bisu? Tidak bisa menjawab? Hah?!"
Pupil mata Jeno bergetar, tanda ia sedang amat ketakutan.
"Maaf pa" hanya itu yang bisa Jeno katakan saat ini. Meskipun Jeno sudah terbiasa menerima kekerasan fisik dari Ayahnya tapi tetap saja ia akan ketakutan setiap mendapat perlakuan itu kembali.
Dan kali ini Jaehyun menarik lebih keras rambut Jeno dan membanting tubuh Jeno keatas ranjangnya.
"Awas saja jika kau berulah lagi" ancamnya sebelum keluar dari kamar Jeno.
Jeno hanya bisa mengelus pipinya yang terasa perih dan sudah berwarna merah padam itu. Namun ia tidak pernah membenci Ayahnya apapun yang Ayahnya lakukan padanya. Karena Jeno merasa ini semua memang harus ia terima sebagai pertanggung jawabannya yang telah menghilangkan nyawa ibunya.

••

"Pa lihat! Jeno dapat nilai 95" Jeno kecil memamerkan secarik kertas hasil ujian matematika nya.
"Wah hebat jagoan ayah" Jaehyun mengangkat tubuh kecil Jeno dan menghujami pipi gembulnya dengan kecupan.
"Kalau begitu Jeno boleh membeli mainan yang Jeno mau" ujar Jaehyun, membuat Jeno bersorak senang.
"Ma lihat Jeno dapat 95" kini ganti Jeno memamerkannya pada Hanna, ibunya.
"Jeno hebat" puji Hanna, sembari mengelus pelan surai hitam anak semata-wayangnya itu.


Jeno terbangun dari tidurnya saat alarm diponselnya berbunyi. Lagi-lagi ia bermimpi mengenai masa kecilnya. Mungkin untuk sebagian orang, mimpi masa kecil menjadi mimpi yang indah, tapi tidak dengan Jeno. Bukan karena ia membenci masa kecilnya. Masa kecilnya bisa dibilang sangat bahagia, mendapat perhatian penuh kedua orangtuanya.
Jeno menyebutnya mimpi buruk, karena kenyataannya ia menghancurkan semua itu. Ia membunuh Ibunya dan membuat Ayahnya hancur. Dan lebih dari itu, semua perhatian yang Ayahnya beri selama masa kecilnya, kini berubah menjadi amarah, pukulan, dan umpatan.

Jeno menatap nanar memar dikakinya akibat jatuh semalam yang membuat lututnya menghantam lantai. Ditambah rasa perih dipipinya yang masih bisa ia rasakan.
Saat Jeno kecil ia tidak terbayang akan tumbuh dengan keadaan kacau seperti ini.
Jeno berharap mimpi itu tidak akan pernah muncul lagi.

TBC
Vote&Commentnya jangan lupa 💫

LUKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang