23

5K 481 22
                                    

LUKA
Part 23

cw // abuse ; harshwords

Jeno dapat melihat langit yang berganti menjadi terang, tanda pagi telah tiba. Perutnya berbunyi, lapar. Ia baru ingat ia belum makan sejak tadi malam, karena rencananya makan malam bersama Jaehyun gagal.
Ten tampak terlelap, tubuhnya berbaring tampak nyaman diatas lantai. Entah mungkin ia terlalu lelah atau memang terbiasa tidur dengan keadaan seperti itu. Sedangkan Jeno, jangan tanya apakah ia bisa tidur dengan pikirannya yang penuh dengan ketakutan.

Ten langsung terbangun ketika bunyi keras pintu terbuka. Dejun dan Dery rupanya. Dibelakangnya ada sosok pria yang Jeno duga adalah sang ketua, yang Jeno belum ketahui siapa namanya.
"Hubungi Jaehyun" perintah pria itu. Dery dengan cepat mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor Jaehyun, ditekannya tombol speaker, hingga Jeno bisa mendengar nada sambung dari handphone itu.
"Halo" suara Ayahnya.
"Bagaimana kabarmu Jaehyun?" Tanya pria itu.
"Winwin? Untuk apa kau menghubungiku sialan?!" Jadi nama pria itu adalah Winwin, dan Ayahnya mengenalnya.
"Calm Down kawan. Aku ada penawaran bagus. Aku ingin kau menjual tanah yayasan, maka akan ku kembalikan anakmu"
"Apa maksudmu?" Jaehyun bertanya.
"Anakmu, sedang ada denganku. Tenang, dia akan baik-baik saja asal kau cepat menandatangani surat persetujuan untuk menjual tanah yayasan pada kami"
Jaehyun terdiam beberapa lama. Jantung Jeno berdetak tak karuan, bagaimana jika Ayahnya tak setuju, bagaimana jika akhirnya ia mati ditangan para rival Ayahnya. Namun sebuah kalimat yang keluar dari mulut Jaehyun akhirnya membuat Jeno sadar, tidak ada yang menginginkannya. Jika ia harus mati disini, biarlah.
"Aku tak akan pernah menyerahkan tanah itu!" Gertak Jaehyun.
"Jadi kau siap kehilangan anakmu?"
"Aku tak peduli" telepon terputus. Jaehyun mematikannya sepihak.
Jeno menunduk membiarkan air mata lolos membasahi wajahnya. Benar kan dugaannya. Ia tak dibutuhkan. Bahkan oleh Ayahnya sendiri.

••

"Winwin menyandera Jeno" ujar Jaehyun cepat begitu melihat Taeyong tampak tergesa masuk dalam ruangan kantornya.
"Apa?! Aku sudah duga. Semalam aku mengurus untuk bisa melihat rekaman CCTV. Jano benar diculik" jelasnya. "Jadi apa yang mereka mau?"
"Mereka mau aku menjual tanah yayasan pada mereka"
"Baiklah. Aku akan bantu mengurusnya. Surat-"
"Siapa yang bilang aku setuju?" Jaehyun memotong ucapan Taeyong.
"Ha?" Taeyong memandang Jaehyun bingung.
"Aku tidak akan menyerahkan tanah itu sampai kapanpun" tegasnya.
"Kau gila? Jeno dalam bahaya dan kau masih tidak mau menyerahkan tanah itu?"
Jaehyun menyesap segelas kopi hitamnya. Ia tampak santai untuk ukuran seorang yang anaknya sedang diculik.
"Aku ada rapat sejam lagi. Siapkan bahan rapatnya" ujarnya.
"Jae!"
"Apa lagi? Kau jelas tau Yong, yayasan itu Hana bangun susah payah. Kau ingin aku menyerahkannya semudah itu? Tidak akan"
Taeyong tahu benar bagaimana perjuangan Hana membangun yayasan itu, tapi bagaimanapun saat ini Jeno sedang dalam bahaya.
"Dan kau mengorbankan Jeno, Jae. Kau benar-benar membenci anak itu?"
"Dia yang membuatku kehilangan Hana. Kalau aku harus kehilangan peninggalan Hana juga karena anak itu, tidak bisa"
Taeyong mengacak rambutnya frustasi. Ia tak punya wewenang lebih jika menyangkut yayasan. Semua surat dan sertifikat tanah, Jaehyun yang memegang itu. Taeyong juga tak mungkin melaporkannya pada polisi. Karena ia tahu Winwin tak pernah main-main. Jika sampai pihak kepolisian tahu, mungkin Jeno bisa saja langsung kehilangan nyawa. Ia harus bermain pintar.

••

Winwin tampak mondar mandir mencari cara lain. Kesal karena Jaehyun bahkan tak terpancing padahal ia sudah menggunakan anaknya. Ia sendiri sampai bingung apa benar anak yang ia culik ini benar anak Jaehyun. Mengapa Jaehyun tak tampak peduli sama sekali.
"Bos! Aku ada ide" seru Dery.
"Apa?"
"Kita buat rekaman saja saat menyiksa anak ini. Kirimkan pada Jaehyun. Mungkin bedebah itu akan sedikit tersentuh. Mana mungkin seorang Ayah tega melihat anaknya disiksa" usul Dery.
Mata Jeno membulat sempurna. Apa yang akan mereka lakukan padanya. Demi apapun, rasanya Jeno ingin segera bebas dan pulang ke rumah.
"Bagus juga idemu. Ten, kau pegang camera"
Jeno beringsut memindah tubuhnya ke samping saat Dery dan Dejun mendekatinya. Ia sekuat tenaga memberontak. Namun Dejun dengan cepat menarik surai hitamnya dan melayangkan pukulan beberapa kali ke perutnya. Selesainya, ganti Dery menampar wajahnya keras, lalu melepaskan lakban yang menempel dimulutnya. "Ayo memohon agar Ayahmu menolongmu" bisiknya.
Jeno menggeleng. "Tidak mau!" Tolaknya. Sebenarnya bukannya ia tak mau, tapi percuma, Ayahnya tidak akan mau menolongnya apalagi jika bersangkutan dengan Ibunya. Mungkin Ayahnya akan lebih rela kehilangannya.
Sebuah tamparan lagi Dery layangkan. Kali ini hingga membuat sudut bibir Jeno terluka dan mengeluarkan darah.
"Ayo cepat!" Serunya lagi. "Minta pada Ayahmu yang bajingan itu untuk menolongmu"
Cuh! Jeno meludah ke wajah Dery. Ia tak terima Ayahnya disebut seperti itu.
"Sialan!" Dery berdiri lalu menendang keras dada Jeno hingga Jeno hanya bisa merintih kesakitan. Rasanya ia mau mati.
"Stop! Stop! Jangan keterlaluan. Kau bisa membunuhnya!" Ten yang tak tega melihat Jeno akhirnya mencoba menghentikan Dery yang tersulut emosi.
"Hentikan. Kirim itu pada Jaehyun. Ten, tugas mu jaga anak itu" ujar Winwin. Lalu ia kembali keluar dari dalam gudang disusul oleh Dery dan Dejun.

Ten langsung menghampiri Jeno setelah ketiganya keluar. Ia membantu Jeno membenarkan posisinya berandar pada dinding.
"Mana yang sakit?" Tanya Ten. Ia sendiri kelabakan tak tahu harus bagaimana.
"S-semua" Jeno terus meringis kesakitan.
"Aku akan pergi membeli obat. Kau tunggu sebentar ya!" Ten memeriksa melalui celah jendela. Ketika dilihatnya mobil Winwin sudah melaju pergi, barulah ia mengendap keluar membeli obat dan makanan untuk Jeno.

TBC
Maap ya kalo terlalu kejam 😭😭😭😭😭

LUKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang