Happy reading🙆
***
Setelah pembicaraan tentang cinta berakhir, gadis dengan topi baret yang masih menempel di atas kepalanya mulai menghampiri lemari putih di dekat tempat tidur. Tangannya terulur untuk mengambil sebuah kanvas berukuran 30×40 dengan beberapa alat lukis lainnya.
Pergerakan Daisy tidak luput dari pandangan Noah. Ia bertanya, "Apakah kau sangat sering melukis?"
Gadis yang ditanya tidak segera menjawab, masih sibuk dengan persiapan untuk masuk dalam kegiatan yang sering dilakukannya, setidaknya setiap minggu. Bunyi kunyahan makanan ringan dari mulut Noah mulai membuatnya risih. Berkacak pinggang menatap sepupunya yang tidak tahu malu. "Sudah mulai sore, kau tidak pulang?" tanyanya dengan menekankan setiap kata.
Daisy hanya mendapatkan gelengan kepala dari pertanyaan yang diajukan. Tiba-tiba terlintas sebuah ide. Suara jentikan jari terdengar, membuat Noah menatap gadis di hadapannya dengan wajah kebingungan.
"Bolehkah aku menjadikanmu sebagai objek lukisanku kali ini?" pinta Daisy. Wajahnya sangat memelas, penuh permohonan yang tulus.
Sebenarnya kata 'tidak' akan menjadi jawabannya. Akan tetapi, entah mengapa ia menuruti permintaan Daisy. Saat menatap kedua mata berwarna hazel itu, ada dorongan kuat untuk sesekali membahagiakannya. Mulutnya mulai bergerak untuk berucap, "Baiklah."
Jawaban singkat dari permintaannya, membuat Daisy melebarkan senyum di bibir. Tangannya terangkat, ditarik ke bawah secara paksa dengan teriakan bahagia. Melihat hal itu, terasa ada desiran dalan hatinya. Dari sekian tahun lamanya, kenapa aku baru menyadari kalau bocah ini sangat menawan? batinnya.
"Jika saja kau bukan sepupuku, aku pasti sudah menghujanimu dengan bunga-bunga ...." Secara tidak sadar, suaranya terdengar oleh Daisy yang tengah menatap lelaki itu dengan penuh tanda tanya. "Bunga-bunga bangkai," lanjut Noah dengan kekehan yang awalnya kikuk menjadi tawa lepas setelah melihat ekspresi dari gadis itu.
"Jadi ..., aku harus berpose bagaimana? Sepertinya, menjadi patung bukan keahlianku. Akan kutarik ucapanku sebelumnya, yang menyatakan bahwa aku setuju. I'm out," putus Noah. Bagian belakangnya sudah terlalu lama mencium lembutnya tempat tidur milik Daisy, Ia menurunkan badan ke arah pintu hendak keluar.
Akan tetapi, langkahnya dihentikan tiba-tiba. Daisy menahan dengan menarik baju dari arah belakang, Noah menarik paksa dan membalikkan tubuh menghadap gadis yang sedang mencari sesuatu.
"Ada masalah apa lagi? Apakah kata-kataku tadi belum jelas dan butuh pengulangan? Tadi juga kau menyuruhku untuk ...." Terhenti kembali. Ia melihat Daisy sedang memotretnya dengan benda pipih yang baru saja ditemukan secara tiba-tiba.
Tentu saja ia memprotes, "Hei, apa-apaan kau ini. Memotretku tanpa aba-aba, tidak meminta izin lagi. Apakah kau salah satu dari ratusan penggemarku?"
Daisy melemparkan bungkus makanan yang masih mengotori tempat tidur, Noah menangkapnya tepat di depan wajah. Gadis itu berkacak pinggang seraya berkata, "Sorry, kau bukan Timothèe Chalamet yang terlihat sempurna di mataku. Memangnya adakah yang mau menjadi penggemar seorang laki-laki malas, kerjaannya hanya bermain game dan menghabiskan seluruh makanan di rumah? Jika ada, mungkin tidak akan bertahan selama satu detik pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shade of The Villains (End)
Teen FictionDaisy Wieder, seorang gadis yang melekat dengan seni. Masa remaja yang seharusnya dipenuhi kenangan warna-warni, justru terjebak dalam sangkar penuh dengan monokrom basi. Menyebarnya kabar berita tentang pencurian dan pembunuhan misterius, menyeretn...