Daisy Wieder, seorang gadis yang melekat dengan seni. Masa remaja yang seharusnya dipenuhi kenangan warna-warni, justru terjebak dalam sangkar penuh dengan monokrom basi.
Menyebarnya kabar berita tentang pencurian dan pembunuhan misterius, menyeretn...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Happy reading🙆
***
Bagaimana ini? Apakah kita tidak jadi kabur? Ah, menyebalkan! batin Daisy.
Mereka terjebak bersama Laura di rumah, sepertinya akan menggagalkan rencana untuk kabur. Hal itu membuat Daisy menekuk wajahnya masam dengan mulut yang mengerucut. Noah hanya dapat tertawa kecil melihat tingkah sepupunya itu, ia mengedipkan sebelah mata ke gadis itu seolah semua akan baik-baik saja.
"Oh, iya. Omong-omong ada perlu apa kau ke sini, Noah? Aku lihat kau datang sendirian saja tadi, di mana orang tuamu? Bukan untuk meminta makanan lagi, kan?" tanya Laura bertubi-tubi. Ia tersenyum kecil menatap ke arah Noah sembari menuangkan air ke dalam gelas.
Pertanyaan itu sepertinya sulit untuk dijawab dengan kebohongan, tetapi tidak bagi Noah. "Ah, itu. Daisy merengek kepadaku untuk menemaninya ke mall. Katanya dia ingin membeli peralatan melukis dan beberapa cat yang sudah mulai habis. Soal orang tuaku, mereka memang tidak tahu jika aku ke sini ...," balasnya dengan berhati-hati saat mengucapkan kalimat terakhir.
Dahi Laura mulai mengkerut, ia menghentikan aktivitasnya. Ia berkata, "Bagaimana orang tuamu bisa tidak tahu? Kau tidak meminta izin, ya? Kabur adalah istilah yang tepat bagiku."
Mendengar kata 'kabur' dari mulut Laura cukup membuat keduanya merasa tegang. Daisy dan Noah saling tatap, untungnya dengan wajah yang biasa saja, tidak terlihat seperti ingin 'kabur' yang sebetulnya.
"Tidak begitu, hanya saja ... aku malas memberi tahu jika mereka sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Itu terlihat akan sia-sia," balas Noah dengan kekehan di akhir. Ia menggaruk tengkuknya, berharap Laura tidak curiga dan memahami situasi yang dikarang olehnya.
Sungguh, keluargaku ini banyak drama sekali. Aku merasa seperti menonton sebuah film di televisi, batin Daisy. Ia masih diam, tidak tahu apa yang harus dikatakan untuk membantu Noah meluruskan kebohongan bertopeng kenyataan.
"Ya, benar. Keperluan melukisku sudah hampir habis, aku harus membelinya lagi. Jika tidak, mungkin aku akan mati di usia muda karena tidak memiliki kebebasan mengekspresikan bakatnya di luar sana." Pada akhirnya, Daisy dapat mengucapkan satu hingga tiga kalimat itu dengan sedikit menyindir sang ibu.
Kemudian, keduanya mengembuskan napas lega setelah melihat reaksi Laura yang hanya membulatkan mulut dan mengangguk-anggukkan kepala. Daisy berdiri, ia menghampiri sang ibu yang berada di dapur, tidak jauh dari tempat duduk sebelumnya.
Sedikit memberi jarak antara keduanya, Daisy menggigit bibirnya sedikit gugup sebelum mengutarakan sesuatu. "Ibu, aku akan keluar bersama Noah untuk membeli peralatan melukis, ya? Berdua saja, tidak perlu khawatir, kita sudah bisa menjaga diri--aduh, sudah berapa ratus kali aku mengatakan hal itu, tetapi Ibu dan ayah tidak pernah mendengarkanku. Toh, Ibu sedang tidak enak badan, kan? Aku tidak akan membiarkan Ibu menyetir dengan keadaaan seperti ini," jelasnya panjang lebar.