Happy reading🙆
***
"Selalu, aku selalu merasakan hal itu. Kau tahu? Aku selalu asyik bermain game hanya untuk mengalihkan duniaku yang suram. Tetapi, sekarang. Itu sudah menjadi duniaku sendiri, sampai-sampai aku tidak bisa keluar dari sana. Pasti kau paham apa yang kurasakan," ucap Noah.
"Tidak hanya kau, aku juga. Dipikir-pikir, kehidupan kita lucu, ya? Apalagi orang tua kita yang menjadi sumber komedi," balas Daisy dengan tawa palsu.
Keduanya saling diam kembali. Gadis itu menggulir layar ponselnya, lalu berdiri tegak menghadap Noah. "Daripada adu nasib dan meratapi mirisnya kehidupan. Lebih baik kita keluar untuk mencari makan, aku tahu kau selalu tidak menjaga pola makanmu," celetuknya.
"Kita mau ke mana?" tanya Noah mulai bangkit juga dari duduknya.
"Aku ingin ke taman kota, menyejukkan diri dan pikiran. Sebelum itu, kita mampir dulu ke Starbucks untuk membeli kopi. Kau mau juga?" balas Daisy dengan memberikan tawaran di akhir.
Noah mengangguk. "Seperti biasanya, soda."
Wajah gadis di hadapannya mendelik, tangannya berkacak pinggang. "Jarang makan, sekali makan selalu saja junk food dan minum minuman bersoda. Apakah kau tidak kasihan dengan tubuhmu sendiri?" tanya Daisy.
"Kau juga sering minum kopi. Sama saja, bukan?" celetuk lelaki itu. Mulai tergerak untuk memakai hoodie berwarna hijau mint dan topi hitam, serta mengalungkan headphone di lehernya.
"Setidaknya pola makanku cukup baik."
Keduanya keluar dari kamar milik Noah dengan pakaian cukup rapi, Blake dan Anna terheran-heran melihatnya. Padahal saat Daisy baru datang tadi mereka terlihat saling tidak suka satu sama lain.
"Mau ke mana kalian?" tanya Anna. Nadanya ketus, terkesan membentak ditambah dengan wajah tanpa ekspresi. Akan tetapi, itulah hal yang istimewa dari istri Blake Wieder.
"Membeli minuman, lalu ke taman untuk menyegarkan pikiran. Tidak akan berbuat aneh-aneh, jadi kumohon untuk tidak melarang kami keluar kali ini," jawab Noah tidak kalah dinginnya dengan tatapan menyorotkan amarah yang terpendam.
Kedua orang tua itu saling menatap sebentar, lalu menganggukkan kepala setuju. "Baiklah, aku yang akan mengantar kalian. Tetapi, dengan syarat tidak boleh pulang lebih dari jam tujuh malam. Mengerti?" putus Blake yang mendapatkan acungan jempol dari tangan Daisy.
Jalanan kota Boston terlihat sangat ramai, dipenuhi suara dari beberapa mesin kendaraan dan para pejalan kaki yang bercakap-cakap. Daisy duduk di bangku penumpang belakang sendirian, sementara Noah di depan bersama sang ayah sebagai pengemudi.
Selama perjalanan, mereka diselimuti keheningan. Lagu Artic Monkeys mengalun dari radio yang sedang disiarkan siang itu, tangan dan kaki tergerak mengikuti tanpa suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shade of The Villains (End)
Teen FictionDaisy Wieder, seorang gadis yang melekat dengan seni. Masa remaja yang seharusnya dipenuhi kenangan warna-warni, justru terjebak dalam sangkar penuh dengan monokrom basi. Menyebarnya kabar berita tentang pencurian dan pembunuhan misterius, menyeretn...