11

49 10 43
                                    

Happy reading🙆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading🙆

***

One of the things that humans have in common is to meet death. The difference is ... how death will pick them up.

***

Cinta ditolak? Memang tidak enak. Namun, jika cinta yang bertepuk sebelah tangan sudah terbalaskan, lalu sebuah harapan baru tiba-tiba dijatuhkan begitu saja dengan permintaan jarak yang akan memisahkan. Sungguh, itu adalah hal yang teramat sakit.

Langit-langit kamar terus ditatap dengan tubuh direbahkan di atas kasur sudah sejak satu jam yang lalu. Lelaki pemilik mata berwarna hazel itu tengah memikirkan ucapan gadis yang disukainya kemarin. Ya, mengenai perasaan yang sama. Lalu, bagaikan pedang tajam menusuk jantungnya karena mendapatkan pernyataan yang lain, yaitu mereka harus menjaga jarak. Justin diharuskan untuk kembali kepada rutinitas pertamanya, cara bagaimana dirinya mengamati Daisy secara diam-diam.

Lamunannya terhenti ketika rasa bosan datang. Bangkit dari tidur dengan melangkah ke arah dinding yang ditempeli foto-foto cetak berukuran kecil, mulai dari pemandangan alam, langit, suasana di sekolah, dan momen-momen spesial. Itu semua merupakan hasil jepretannya sendiri selama kurang lebih satu tahun terakhir.

Pandangannya terhenti pada satu foto yang berukuran sedikit lebih besar daripada lainnya. Seorang gadis yang tengah berjalan keluar gedung sekolah dengan ciri khasnya, yaitu topi baret. Langkahnya terlihat santai, pandangannya mengarah ke bawah, pakaian kasual berwarna soft membuatnya terlihat lebih anggun. Siapa lagi jika bukan Daisy? Gadis yang selalu mengunci pandangan Justin, dan membuat dunianya hanya terfokuskan kepada Daisy seorang.

Sebenarnya, foto itu bukan untuk apa-apa, lelaki itu tidak akan menyalahgunakan dengan sembarangan. Hanya saja ... mungkin dibutuhkan untuk hati yang terkadang muncul rasa rindu secara tiba-tiba.

"Perasaan sialan," gumam Justin.

Dengan cepat, ia menyambar jaket yang berada di atas kursi belajar, melangkah ke arah luar rumah bertujuan untuk mencari udara segar yang dapat menenangkan pikirannya kembali. Menyusuri jalan trotoar sekitar rumah sendirian dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam jaket, merasa jika udaranya cukup dingin.

"Sungguh, aku sudah tidak punya tujuan hidup lagi. Aku rindu mereka ...," lirih Justin.

Setiap kali, ia harus siap menanggung risiko saat luka yang tidak kunjung sembuh kembali terasa. Bagaimana tidak? Hidup sebatang kara tanpa ditemani satu saudara pun, berusaha sendiri untuk bertahan hidup. Hanya mengandalkan kemampuannya dalam memotret sesuatu, lalu menunggu seseorang membeli hasil karyanya. Untuk tambahan, ia juga berkerja part time di sebuah kedai kopi pusat kota. Jam kerjanya sore atau malam hari, membuatnya lelah dan terkadang tidak fokus saat kelas berlangsung.

Shade of The Villains (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang