11. Lari

2.5K 201 8
                                    

Jemari kekar yang biasa memegang tinta emas itu gemetaran saat hendak membuka kain penutup mayat. Keringat dingin menyusup diantara kening dan dahi. Belum lagi detak jantung yang semakin melaju cepat.

Dug dug dug dug!

Tangannya terhenti di udara. Sesaat kedua matanya terpejam, mencoba melenyapkan gundah gulana yang berlarian didalam kepala. Semua rasa tercampur aduk, hingga menyisakan rasa sakit yang siap mencengkram hatinya.

Kenapa rasanya bisa sesakit ini? Padahal Tari orang baru dalam kehidupannya. Kenapa?

Tidak...

Elang tidak bisa melakukannya.

Tapi...

Elang harus melakukannya. Ia harus membuka kain penutup mayat itu untuk memastikan dengan mata kepalanya sendiri.

"Biar aku saja yang membukanya." ujar Ros, seakan mengerti keadaan Elang.

"Tidak, aku saja." tolak Elang.

Perlahan Elang menarik nafas panjang. Tangannya kembali terulur memegang kain penutup. Dengan tangan gemetaran, sedikit demi sedikit Elang menarik kain penutup hingga perlahan-lahan wajah mayat pun mulai terlihat.

"Akhh!" jerit Ros, ngeri melihat wajah hancur tak berupa, dipenuhi bekas darah, dan separuh kepala retak.

Sementara Elang hanya menggeram marah, tak terima jika itu benar-benar mayat Tari. Jika benar, sampai ke ujung dunia pun Elang tidak akan melepaskan pembunuh Tari. Tidak akan!

Dengan hati-hati jemari Elang bergerak menyingkirkan helaian rambut yang menutupi leher samping mayat. Dibersihkannya leher yang terkena darah dan kotor itu dengan pelan. Saat sudah terlihat jelas, hela nafas Elang terdengar luruh.

"Ada apa?" tanya Ros, seraya memeluk lengan kanan Elang.

"Ini...bukan Tari." ucap Elang, lega.

"Apa Bapak yakin?" tanya Polisi yang dari tadi berdiri dibelakang Elang. "Bapak Panji saja sudah memastikan bahwa mayat wanita ini adalah anaknya, Tari."

"Aku yakin." Elang berbalik dan menatap Polisi itu dengan serius. "Dulu saat dirawat di rumah sakit, aku pernah membantu Tari membersihkan area wajah dan lehernya. Tari, memiliki tanda lahir di samping lehernya." jelas Elang.

"Oh, syukurlah." Ros ikut merasa lega.

"Baiklah, saya akan catat keterangan dari Bapak. Permisi!"

"Silahkan."

Setelah Polisi itu pergi, Elang pun mengajak Ros keluar dari kamar mayat. Diluar, Tomi sudah menunggu mereka.

"Selidiki semua alat transportasi. Suruh mereka mencari dengan teliti." Elang langsung memberikan perintah pada Tomi.

"Baik." Tomi mengangguk cepat dan bergegas pergi untuk menjalankan perintah Elang.

"Sekarang kita pulang. Dari kemarin kau tidak istirahat dan makan dengan benar. Urusan Tari, serahkan pada Tomi dulu." Tanpa diminta, Ros menarik paksa tangan Elang untuk diajaknya pulang ke rumah. Kali ini Elang menurut.

Sementara itu di sebuah kapal laut pengangkut barang yang sedang berlayar ditengah lautan, Tari berdiri termenung menatap jauh ke lautan lepas. Deru angin yang memburu, terik matahari yang menyengat, tak menghalangi Tari untuk menikmati kebebasannya hari ini.

Mengenakan baju pengantin indah menjadi kenangan terakhir yang di ingatnya. Karena saat membuka mata, Tari sudah ada diatas kapal laut bersama Mang Darman. Entah bagaimana caranya Mang Darman membawa lari Tari dari Elang, yang pasti Tari merasa senang, lega, dan sedih juga.

PETUALANGAN ISTRI KETIGA (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang