17. Rahasia Istri Pertama

2.6K 181 2
                                    

Tari mengurungkan niatnya keluar dari kamar mandi. Dari celah pintu yang tidak tertutup rapat, Tari bisa mendengar jelas suara Ros. Sepertinya Ros sedang bicara dengan seseorang di telepon. Yang membuat Tari diam dan akhirnya menguping adalah namanya disebut oleh Ros dengan nada penuh emosi. Baru kali ini Tari mendengar Ros bicara sekeras itu.

"Aku tidak bisa melakukan itu pada Tari!"

Melakukan apa? Tari menduga-duga. Tari tidak yakin Ros sedang merencanakan sesuatu yang buruk padanya. Tapi jika semarah itu, Tari pun yakin sesuatu yang buruk sedang menunggunya.

"Kau tahu jelas kalau aku bukan seorang pembunuh! Dan maaf saja, sampai kapanpun aku tidak berniat mengotori tanganku dengan darah. Lakukan saja sendiri, setelah itu kau akan mati ditangan Elang." desis Ros, balik mengancam.

Tari tidak tahu siapa yang sedang bicara dengan Ros. Dalam bayangannya saja, dia tidak ingat kalau pernah menyakiti orang lain, tapi kenapa sekarang musuhnya bermunculan? Jika nama Elang ikut disebut, bisa jadi musuh-musuh Elang yang kini berbalik mengincarnya.

"Kau?! Jangan sentuh anakku!" Teriakan Ros terdengar memekik telinga.

Anak?! Tari terbelahak kaget dan repleks menutup mulutnya sendiri. Kak Ros punya anak?! Setahu Tari, Elang tidak mempunyai anak dari Tari maupun Rani. Apa mungkin itu anak Kak Ros dengan laki-laki lain? Jangan-jangan....

"Dasar brengsek! Mati saja kau!" Klik! Ros memutuskan sambungan telepon dengan marah. Pertahanan Ros pun runtuh, kemarahannya berubah menjadi tangisan. "Maafkan Ibu, Nak..." sambatnya, pilu.

Tangisan Ros yang tertahan terdengar begitu menyayat hati. Tari tak kuasa mendengarnya hingga tak sadar ikut meneteskan air mata. Tak lama kemudian terdengar langkah terburu-nuru dan suara pintu ditutup.

Tari masih diam menguping, menunggu beberapa saat sampai tak ada lagi suara Ros yang terdengar. Setelah yakin barulah Tari keluar dari kamar mandi. Langkahnya lunglai menuju sofa hingga jatuh terduduk, lemas memikirkan apa yang mungkin sedang dialami Ros karenanya. Kini jelaslah kalau keberadaannya didekat Elang bisa menyakiti Ros dan juga anaknya.

Ros yang selalu nampak dewasa, baik dan tegar, ternyata menyimpan luka dalam hidupnya. Entah apa yang membuat Ros bertahan disamping Elang selama ini.

"Darimana saja? Aku mencarimu kemana-mana?" Tiba-tiba Ros sudah berada dibelakang Tari.

"Eh, " Tari tergagap kaget, tak menyadari kedatangan Ros kembali. Wajah Ros sudah nampak segar kembali, tak ada sisa air mata ataupun kemarahan yang tadi Tari dengarkan. Ros sudah kembali seperti semula. Benar-benar pertahanan diri yang baik. "A...nu, dari kamar, iya kamar." lanjutnya, berusaha mengelak. "Tadi kepalaku agak pusing, Kak. Aku rebahan sebentar."

"Ya sudah, ayo kita pergi." ajaknya, tak curiga.

"Ayo, Kak." Tari bangkit dari duduknya lalu berjalan mengikuti Ros.

Pagi tadi Elang mendadak pergi karena ada rapat penting sehingga Ros yang datang ke penthouse hotel untuk menjemput Tari. Rencananya hari itu juga Tari akan tinggal bersama mereka di rumah utama kediaman keluarga Mahardika.

Sepanjang jalan Ros dan Tari terlihat melamun dalam pikirannya masing-masing. Ros memikirkan gadis remaja yang terpenjara dalam pikiran anak kecil, yang hanya tahu bermain, bermain dan menangis. Gadis yang memiliki keterbelakangan mental yang sangat dia sayangi. Tapi rasa sayang saja tidak cukup karena sejak gadis itu keluar dari rahimnya, Ros harus merelakannya tinggal jauh dipanti asuhan, di sebuah tempat terpencil. Meski begitu, sesekali Ros masih mengunjunginya atau melihatnya dari layar ponsel.

Sesekali Tari mencuri pandang pada Ros, seakan ingin memastikan keadaannya. Karena dalam hati, Tari sudah yakin untuk melakukannya. Lagi. Apalagi kalau bukan rencana melarikan diri dari Elang. Tari tidak ingin Ros berada dalam dilema antara dirinya atau anaknya. Tari harus pergi jauh dari Elang agar keberadaan anak Ros tak terancam.

Dalam diam, Tari sibuk menyusun rencana. Memperhatikan keberadaan para pengawal yang membuntuti mobil mereka dan juga keadaan lalu lintas disekitarnya. Meski peluangnya sangat kecil tapi Tari harus mencobanya. Tidak ada cara lain.

Dan celah itu terlihat saat mobil mereka terperangkap dalam kemacetan di dua sisi jalan, tak bisa bergerak. Belum lagi para buruh pabrik yang keluar masuk membuat lalu lintas semakin macet karena mereka menyebrang di sembarang tempat.

Dengan sangat hati-hati, pelan-pelan, Tari menekan kunci pintu mobil agar terbuka. "Aow!" jeritnya, agak keras, untuk menutupi bunyi kunci yang terbuka.

"Kenapa Tari?" tanya Ros.

"He he he, lidahku kegigit, Kak." sahutnya.

"Kau ini ada-ada saja." Ros pun tersenyum mendengarnya.

Perlahan tangan Tari bersiap membuka dan mendorong pintu mobil. Matanya mengawasi sebelah sisi pintu mobil, menunggu lenggang. Lalu, satu, dua, tiga! Tari membuka pintu mobil lalu berlari secepat mungkin.

"Ee.. Tari?!" Ros terbelahak kaget. "Tari!" Ros dengan panik berusaha keluar dari mobil, tapi tidak bisa karena pintunya terhalang oleh motor. Terburu-nuru dibukanya jendela mobil. "Kejar Nyonya Muda!" teriak Ros pada para pengawal yang mulai keluar dari mobil mereka.

"Nyonya!" Seorang pengawal tergesa-gesa menghampiri.

"Jangan pedulikan aku! Kejar saja dia!" perintah Ros, benar-benar panik. "Kearah sana! Cepat!" Pengawal itupun mengangguk dan bergegas pergi menyusul rekan-rekannya.

Tiditt! Tiitt! Tiittt! Tiiddiitt!

Keadaan makin kacau dengan bunyi bunyi klakson dari para pengendara bermotor. Mereka terganggu dengan sekelompok pria berseragam serba hitam yang tiba-tiba muncul, berlari menyebar menghindari himpitan kemacetan dan juga lalu lalang orang-orang.

"Tariiiii! Apa yang kau lakukan?" guman Ros, menunggu kabar dari para pengawalnya dengan cemas.

Waktu terus berjalan tapi kemacetan malah semakin parah. Kalau terus begini, Tari akan semakin sulit dikejar. Mau tak mau Ros mengeluarkan ponsel dari dalam tas untuk menghubungi Elang.

Di kantor utama Mahardika Corporation.....

Wajah dingin Elang membuat nyali para petinggi ciut. Elang baru saja mengultimatum mereka karena tingkat kepuasan konsumen pada pelayanan salah satu perusahaan digital Mahardika menurun, meskipun angkanya hanya 0,5 persen, tetap saja Elang marah dan mengobrak-abrik pekerjaan para petinggi yang dianggapnya lalai.

"Kalian dibayar mahal untuk kerja! Jangan hanya tahu beres terima laporan saja! Turun ke bawah! Cek ke lapangan sendiri biar tahu situasi apa yang sedang dihadapi para pegawai. Bantu mereka agar mereka bisa memberikan pelayanan terbaik pada konsumen. Kalau kalian hanya mau duduk dan terima laporan saja, tidak usah bekerja disini. Silahkan cari pekerjaan ditempat lain." ujar Elang, menatap tajam ke setiap orang yang ada diruang meeting.

Ketegangan diruang rapat terjeda saat sekretaris ijin masuk dan tergesa-gesa menghampiri Tomi. Wajah Tomi pun berubah pucat setelah mendapat bisikan darinya. Tomi mengangguk kecil lalu dengan isyarat menyuruh sekretaris itu kembali ke mejanya.

"Maaf, Tuan." ujar Tomi, mendekati Elang.

"Ada apa?!"

"Ada kabar penting dari Nyonya Ros."

"Oh ya, apa katanya?" Berbalik dengan Tomi, wajah Elang berubah cerah dan senang. Pasti saat ini Tari sudah menempati kamarnya di rumah utama Mahardika. Tak sadar Elang tersenyum simpul, ingin cepat pulang ke rumah.

Tomi menundukkan badan agar bisa bicara pelan pada Elang, "Nyonya Tari melarikan diri lagi."

"Apa?!"

😩












PETUALANGAN ISTRI KETIGA (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang