1. Matahari Senja

3.9K 198 2
                                    

Menjelang malam, Tari baru tiba di rumah sakit. Jarak Bandung Jakarta hanya ditempuhnya 3 jam, tak terhitung berapa banyak lampu merah yang diterobos Tari. Motor maticnya melaju sangat cepat menembus jarak dan waktu begitu mendapat kabar jika ibunya masuk rumah sakit.

Tari merasa lega begitu sampai dirumah sakit, sosok ayah tirinya tidak terlihat. Bukannya tidak tahu, tapi Tari tahu jika Panji sangat membencinya. Sikapnya selalu ketus dan galak, apapun yang dilakukan Tari selalu salah, bahkan terkadang selalu menatap Tari dengan pandangan jijik. Hanya demi Senja saja selama ini Tari bertahan dan bersikap seakan semua baik-baik saja.

Di luar kamar inap, terlihat Mang Darman yang sedang duduk dibangku panjang sambil bersandar dan memejamkan mata. Tari menghela nafas berat, merasakan langkahnya yang semakin berat saat mendekati laki-laki tua itu. Oh tidak, Mang Darman bukan hanya laki-laki tua, tapi dia adalah penjaga dan orang yang selalu ada didekat ibunya selama ini. Orang yang memberikan kasih sayang 'seorang ayah' pada Tari disaat Panji selalu memakinya. Orang yang selalu melindungi Tari disaat orang-orang mengejeknya 'anak haram'. Bahkan Mang Darman sering menunggui Tari di sekolah agar tidak ada yang membullynya. Wajah penuh luka Mang Darman yang seram membuat teman-teman Tari takut, ditambah badan Mang Darman penuh dengan tato. Mereka tidak hanya menjauhi Tari tapi juga mengasingkannya seorang diri. Tapi Tari nyaman-nyaman saja dengan keadaannya, tak peduli meski tidak punya teman disekolah.

"Mang!" panggil Tari, pelan.

"Eh, Non Tari sudah datang." Mang Darman langsung berdiri.

"Bagaimana keadaan ibu, Mang?"

"Serangan jantung lagi, Non."

Tari menghela nafas panjang lalu terduduk lesu dibangku. Ingatannya melayang pada peristiwa yang sama satu tahun lalu, saat Senja terkena serangan jantung. Dokter Fadil menyuruhnya untuk menjaga Senja dengan baik, karena jika terkena serangan jantung lagi, nyawa Senja berada dalam bahaya.

"Apa...bapak Panji sudah diberitahu?" tanyanya.

Bahkan menyebut laki-laki yang menjadi suami Senja dengan sebutan ayah saja Tari tidak bisa. Dari dulu Panji tidak mau dipanggil ayah oleh Tari. Apapun panggilan yang keluar dari mulut Tari dianggap membawa sial baginya. Jika Panji datang ke rumah, Tari harus bersembunyi agar wajahnya tidak terlihat oleh Panji. Dan saat duduk dibangku SMP barulah Tari mengetahui alasan kenapa Panji begitu membencinya.

Tapi, apa itu salahnya? Tari tidak bisa memilih dari rahim siapa ia dilahirkan, bahkan keberadaannya sebagai anak dari hasil pemerkosaan pun, bukan kehendaknya. Tapi satu hal yang sangat disyukuri Tari, Senja mau melahirkannya dan menyayanginya sepenuh hati. Itu sudah cukup untuk Tari.

"Non, istirahat saja dirumah. Biar Mamang yang menjaga bu Senja." Mang Darman tidak tega melihat Tari yang nampak kelelahan.

"Tari mau disini saja, Mang. Tari tidak mau jauh dari Ibu." elak Tari seraya melepaskan tas ranselnya lalu diletakkan di lantai begitu saja. Perlahan tubuhnya naik ke bangku lalu berbaring miring seraya memeluk kedua bahunya. "Tapi biarkan Tari tidur dulu sebentar yah, Mang. Tari tidak mau Ibu cemas kalau melihat Tari seperti ini.'' pintanya.

Penampakkan Tari memang mengenaskan. Pakaiannya kusut dan bau keringat, jaket kedodoran dan kotor, wajahnya penuh debu dengan mata memerah dan rambut acak-acakan.

"Kalau begitu, lebih baik Non Tari tidur di Masjid saja. Bersihkan badan dulu, shalat, baru istirahat yah." Tangan mang Darman merapihkan rambut Tari, membelai nya dengan lembut. Perhatian sekecil itu saja sudah membuat Tari senang.

"Makasih, Mang. "

"Pergilah, Nak. "

Sebutan 'nak' membuatnya bahagia. Saat pertama kali bertemu pun, Mang Darman memanggilnya 'nak'.

"Titip dulu ibu yah, Mang."

" Iya. "

Tari bergegas pergi menuju Masjid rumah sakit. Untunglah dia membawa baju ganti jadi bisa mandi lalu istirahat sebentar.

Malam beranjak pagi. Tari mengenggam tangan Senja yang tidak di infus, menunggunya membuka mata. Suara kicau burung terdengar ramai. Begitu pula canda tawa para penunggu pasien yang sedang melepas lelah ditaman, terdengar nyaring. Letak taman yang berada tepat dibelakang kamar inap Senja, menjadi pemandangan tersendiri yang bisa menghibur hati meski sesaat.

"Kenapa matahari Ibu mendung pagi ini? " lirih Senja, membuyarkan lamunan Tari. Saking asyiknya melamun, Tari tak sadar kalau Senja sudah bangun dan memperhatikannya cukup lama.

"Ibu?" Tari tersenyum senang dan lega. "Syukurlah Ibu sudah bangun. Apa ada yang terasa sakit? Bilang sama Tari, bu. Mana yang sakit? Biar Tari panggil dokter Fadil kesini. "

"Ibu baik-baik saja, Nak. " Senja hanya tersenyum lirih.

"Mana ada? Ibu membuatku ketakutan setengah mati. Kalau terjadi sesuatu dengan ibu, aku tidak mau hidup lagi." gerutu Tari.

"Hush! " Senja menempelkan jarinya ke bibir Tari, lalu beralih membelai pipi Tari dengan penuh kasih sayang. "Ibu baik-baik saja. Selama matahari ibu masih bersinar, ibu akan baik-baik saja. Jangan kuatir. "

"Hemm." Tari hanya mengangguk sendu seraya menciumi tangan Senja. "Aku sayang ibu, sayang sekali. Jadi jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku sendiri yah, bu."

"Anakku... " Senja menatap miris. Seakan ikut merasakan kesengsaraan Tari selama ini. Senja tahu betul bagaimana perlakuan Panji pada Tari. Bukannya menutup mata, tapi Senja tak punya pilihan lain selain berdoa dan terus berusaha membujuk Panji agar mau bersikap lebih baik pada Tari. Tapi kebencian Panji pada Tari seperti sudah mendarah daging, usaha apapun yang dilakukan Senja untuk mendekatkan Panji dan Tari selalu gagal. Pikiran buruk pun mulai berkecamuk dalam hati Senja, membayangkan segala kemungkinan terburuk jika nanti Tari harus menjadi istri simpanan seperti dirinya kini. Bukan hanya dari Panji, tapi Tari juga akan mendapat perlakuan buruk dari keluarga suaminya nanti. "Maafkan ibu, Nak. Maaf... "

"Kenapa Ibu minta maaf? Ibu tidak salah. " Tari menggelengkan kepalanya, menolak permintaan maaf Senja. "Aku yang salah. Aku yang belum bisa membahagiakan ibu, menjaga ibu, bahkan meringankan beban ibu pun aku belum bisa. Aku yang salah bu. " isak Tari, mengungkapkan isi hatinya. "Ibu sudah berkorban banyak untukku, tapi menjaga Ibu saja aku tidak bisa. Aku yang salah, Bu. Aku yang harus minta maaf pada Ibu."

"Hei kenapa matahari Ibu jadi cengeng? Ssttt sudah, jangan nangis. " Senja memaksakan diri untuk tersenyum. "Baiklah, Ibu akan menunggu waktu itu," Lalu Senja mengenggam tangan Tari, memberinya semangat dan juga tantangan. "Waktu dimana Tari akan membahagiakan ibu, menjaga ibu sampai tua renta."

"Janji?" Tari ikut tersenyum sambil kedua tangannya sibuk menghapus airmatanya.

"Tentu saja." angguk Senja. "Nanti, Ibu akan membuat Tari kewalahan dengan ocehan pikun ibu, rengekan ibu, tangisan, omelan, bahkan ketika Ibu buang air kecil atau buang air besar ditempat tidur karena malas bangun. Terus, Ibu akan minta digendong dibelakang keliling-keliling ruang tamu. Kalau saat itu tiba, Tari tidak boleh kabur yah, tadi kan bilang  mau menjaga ibu sampai tua."

"Iya, Bu." angguk Tari tersenyum lagi. "Ibu harus sehat dan hidup lamaaaa sekali sampai aku bisa membahagiakan ibu."

"Iya."

Tari memeluk Senja dengan hati-hati lalu mencium kening Senja dengan sayang.

"Aku sayang Ibu, sayang sekali. "

"Matahari kesayangan Ibu." Gantian Senja yang mencium kening Tari. Lalu, mereka kembali berpelukan.

Diluar, dari balik kaca jendela ruang inap Senja, Mang Darman hanya bisa menatap sedih menyaksikan interaksi Senja dan Tari. Rasanya sudah terlalu sering dia berada dalam situasi seperti ini. Hanya bisa melihat tanpa bisa melakukan apapun. Hingga suara derap sepatu mengalihkan perhatiannya.

Tak tok tak tok

Wajah Mang Darman berubah pucat begitu melihat mereka. Panji dan beberapa anak buahnya.

"Apa anak haram itu ada di dalam?"

Panji langsung mencerca Mang Darman. Tak ada salam atau basa basi sedikitpun. Tapi belum juga Mang Darman menjawab, Panji sudah menyuruh anak buahnya untuk bertindak.

"Bawa keluar anak haram itu sekarang!"

😟

PETUALANGAN ISTRI KETIGA (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang