9. Madu

3.1K 203 2
                                    

"Jangan sok akrab." ujar Eliana, dingin. "Maaf, tapi aku tidak terbiasa dengan orang-orang seperti kalian. Meski sekarang kalian besanku, bukan berarti aku akan menerima kalian sebagai bagian dari keluarga Mahardika. Aku tidak suka berbaur dengan orang asing."

"Kau?!" Panji mengepal tangannya kuat, menahan marah. Panjang lebar ia memperkenalkan diri pada Eliana, tapi perempuan tua itu malah membalasnya dengan kata-kata menyakitkan.

"Mas!" Mawar memeluk lengan Panji, menenangkannya.

Kalau tidak ada Mawar, rasanya Panji ingin menampar dan merobek mulut tajam Eliana.

"Permisi!" Eliana tersenyum sinis lalu pergi meninggalkan Panji dan Mawar begitu saja.

Ros dan Rani yang sedari tadi diam, hanya bisa menatap Panji serba salah, tidak tahu harus bagaimana. Tanpa bicara, mereka pun kemudian bergegas pergi menyusul Eliana.

"Akh! Sialan! Sialan! Shit!" maki Panji,  menahan amarah.

"Ayo Mas, kita pulang!" Mawar mengajak Panji dengan sedikit memaksa. "Ayo Mas!"

"Dasar wanita tua! Sudah dekat liang kubur tapi mulutnya masih saja nyembur. Awas saja nanti!"

Daripada amarahnya meledak dan menjadi tontonan banyak orang, Panji memilih pergi meninggalkan pesta yang belum usai.

Dari tempat duduknya, Eliana terkekeh kecil mengawasi kepergian Panji dan Mawar. Bukan merendahkan Panji, Eliana hanya ingin memberikan pelajaran pada Panji. Sebelum dia datang ke pesta pernikahan anaknya, dia sudah mendapatkan semua informasi tentang Tari. Mendapati kenyataan pilu yang hampir sama dengan masa lalunya, Eliana marah dan kesal. Sebelum menikah dengan ayah Elang, Eliana pun mengalami penyiksaan dan dibuang ke panti asuhan oleh keluarga ayah kandungnya, hanya karena ia adalah anak yang lahir diluar pernikahan. Tapi, Eliana lebih beruntung dari Tari. Eliana diadopsi keluarga kaya lalu kemudian menikah dengan ayah Elang yang kaya juga.

"Apa Ibu baik-baik saja?" tanya Ros, membuyarkan semua kenangan Eliana.

"Ya, aku baik-baik saja." sahut Eliana, tersenyum lirih.

Tak lama kemudian Rani datang membawakan minuman untuk Eliana dan Ros.

"Ckck! Lihatlah! Elang nampak bahagia sekali." ketus Rani, dengan dagu mengarah pada Elang dan Tari di pelaminan.

"Kenapa? Kau cemburu?" lirik Ros, menggoda Rani.

"Tentu saja." sahut Rani, cepat. "Aku lihat dari tadi dia terus tersenyum dan menyapa tamu dengan bahagia. Helloooo? Kemana sifat dinginnya itu? Mendadak hilang tuh." gerutu Rani, tak bisa menyembunyikan kekesalannya. "Awas saja nanti kalau tiba giliranku, akan ku buat Elang menyesal!"

"Ya ya ya, aku percaya." tawa kecil Ros, mengejek Rani. "Mana bisa Elang melawanmu? Melewatkan satu hari saja jatahmu, dia sudah pasti gelisah dan panas dingin. Dia kan paling haus dengan belaianmu ha ha ha!" Ros tidak bisa menahan tawanya lagi. Sementara Rani yang disindir hanya bisa manyun dan cemberut.

"Lalu, bagaimana denganmu, Ros?" tiba-tiba tanya Eliana, membuat tawa Ros terhenti seketika. "Apa kau tidak cemburu pada istri baru suamimu? Madumu?"

Ros terdiam. Matanya menatap jauh ke pelaminan, memperhatikan Elang dan Tari dengan lekat. Benar yang dikatakan Rani, hari ini Elang nampak bahagia. Senyumnya terukir tanpa henti. Gestur tubuh dan tangannya tak pernah lepas dari Tari. Berbanding terbalik dengan Tari yang canggung, gugup dan nampak terpaksa berdiri di samping Elang. Selama pernikahannya dengan Elang, baru kali ini Ros melihat Elang nampak bahagia sekali. Apa sekuat itu Tari bisa mempengaruhi Elang? Apa... Elang sudah jatuh cinta pada Tari? Entahlah, tiba-tiba saja Ros merasa takut.

"Bagaimana Kak Ros? Cemburu tidak?" Rani balik menggoda Ros.

"Ya, tentu saja." aku Ros, berusaha jujur dengan perasaannya. "Dia maduku, tentu saja aku cemburu."

"Bagus, jangan pendam perasaanmu." Eliana tersenyum tulus, lalu kedua tangannya merengkuh Ros dan Rani kedalam pelukan.

Tidak ada yang bisa memahami hubungan diantara mereka, selain hubungan antara mertua dan menantu. Selama ini, Eliana memperlakukan mereka layaknya putri kandungnya sendiri. Mereka bisa berteman, bertengkar atau bermusuhan, tapi mereka tidak bisa dijauhkan. Seringnya mereka bersekongkol untuk melawan Elang daripada bertengkar karena urusan istri tua istri muda.

"Mintalah hak kalian dengan adil pada Elang. Selalu katakan apa yang kalian rasakan, bicarakan dengan hati tenang. Jalankan kewajiban kalian dengan tulus. Meski berat dan sulit, berusahalah untuk senantiasa ikhlas dan sabar, karena hanya itulah kunci kehidupan berpoligami. Meski Elang anakku, tapi aku ingin kalian juga bahagia dengan pernikahan ini."

"Iya Bu, aku mengerti." Ros sampai menitikkan airmata karena terharu dengan perhatian Eliana.

"Aku akan berusaha ikhlas juga, Bu. Aku harap ini maduku yang terakhir." ujar Rani, sendu.

"Aamiin." sahut Ros seraya merapatkan pelukannya pada Rani dan Eliana.

Ros dan Rani bersyukur karena mendapatkan sosok mertua seperti Eliana. Tidak semua menantu dimuka bumi ini bisa seperti mereka, hidup dan disayangi bak putri kandung. Didukung, dihargai, dan tentu saja dimarahi jika berbuat kesalahan.

"Aku pikir, tidak apa-apa punya madu selama Elang bisa bersikap dan bertindak adil pada kita. Aku tidak keberatan." Rani melepaskan diri dari pelukan dan berusaha menghibur dirinya sendiri dengan ucapannya sendiri.

"Yang benar?" ejek Eliana, menggodanya.

"Iya, Bu. Daripada punya pelakor? Lebih gawat, kan? Masih mendingan dimadu lah." ujar Rani. "Iya kan, Kak Ros?" liriknya, jadi ragu sendiri.

"Sakarepmu lah." elak Ros, tak mau ambil pusing.

"Aishh! Kau ini, tidak bisa diajak bicara benar." Akhirnya Rani hanya bisa mengomel karena tak mendapatkan dukungan dari Ros. "Lihat menantumu yang satu itu, Bu! Kadang bikin kesal! Menyebalkan!" adunya. Tapi Eliana hanya tertawa kecil menanggapinya.

Sementara itu di tengah kesibukan pantri dapur hotel menyiapkan hidangan untuk tamu undangan, seorang laki-laki asing berseragam pegawai pantri, menyelinap masuk dan ikut bergabung dengan kesibukan mereka. Wajahnya tertutup masker dan kacamata minus.

Lelaki asing itu bergerak hati-hati mendekati meja utama pantri, dimana semua hidangan utama untuk Elang baru saja tersaji. Perlahan tangannya masuk kedalam saku celemek, lalu keluar dengan cepat dan memasukkan beberapa butir obat kedalam teko crystal. Sesaat, minuman didalam teko tersebut nampak berbuih dan bergelembung, lalu dalam sekejap hilang dan kembali seperti semula.

"Mana hidangan untuk tuan Elang?" Seorang pelayan datang menghampiri lelaki tersebut.

"Ini." Laki-laki itu dengan tenang menunjuk hidangan dan membantu si pelayan menatanya di nampan.

"Oke. Siap meluncur!" ujar si pelayan, mengacungkan jempolnya kemudian mulai membawa nampan yang sudah diisi.

"Hati-hati! Tadi Chef berpesan jangan sampai ada yang tumpah."

"Siap!"

Setelah memastikan teko crystal dibawa pergi pelayan, laki-laki itu berjalan meninggalkan pantri dengan pura-pura membawa nampan berisi minuman untuk tamu hotel. Keluar dari pantri, laki-laki itu kemudian bergegas pergi menuju pintu belakang hotel yang dikhususkan untuk para karyawan.

Setelah dirasa posisi aman, ia mengeluarkan sebuah handphone dari saku celana, di dialnya panggilan teratas.

"Halo! Rencana A beres!" lapornya, singkat.

Klik! Panggilan telepon pun langsung diputus.

🤨

PETUALANGAN ISTRI KETIGA (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang