18. Sendang Geulis

2.1K 160 5
                                    

Tari berhasil masuk ke bis karyawan pabrik yang sedang berhenti di lampu merah perempatan jalan. Setelah melaju beberapa menit, Tari turun kemudian naik angkot sebentar, turun lagi lalu naik bis antar kota yang lewat tanpa melihat trayeknya. Setelah itu barulah Tari duduk dengan tenang, merasa lega karena berhasil melarikan diri dari kejaran para pengawal Elang walaupun untuk sementara. Untunglah dompet dan tanda pengenal pribadi selalu ada disaku celana sehingga tidak ada yang perlu dirisaukan. Untuk sejenak Tari pun terlelap tidur tanpa tahu tujuannya akan kemana.

Entah sudah berapa lama Tari tertidur. Saat membuka mata, yang nampak hanyalah pemandangan gunung batu, bukit hijau dan jalanan yang berbelok-belok, penuh tanjakan dan turunan. Lalu disambut hamparan perkebunan teh dan juga perumahan penduduk. Kruyukk krruuyuukkk! Perutnya bunyi minta diisi. Tari bergegas mendekati supir dan turun dari bis. Dihampirinya warung kecil yang ada dipinggir jalan untuk mengisi perut. Sambil makan, sesekali Tari menanyakan keadaan disekitarnya pada pemilik warung.

"Sendang geulis kahuripan?" selidiknya, saat ibu warung memberitahu jika didaerah itu terdapat tempat wisata air berupa curug dan kolam pemandian. "Hemm, menarik." gumannya.

"Tapi dari sini lumayan jauh, Neng. Letaknya di dalam hutan gunung itu." tunjuk sang ibu.

Tari mengangguk kecil, seraya matanya menjelajah mencari informasi keberadaannya saat ini. Ternyata dia ada di Cikalong, Bandung Barat, tercetak jelas di sebuah spanduk toko kecil pinggir jalan.

Tari membayar makanannya lalu bergegas pergi. Berbekal petunjuk ibu pemilik warung, Tari memutuskan untuk pergi ke curug tersebut. Ide untuk tidur dialam terbuka, tiba-tiba terlintas begitu saja, apalagi hari mulai sore, Tari harus mencari tempat beristirahat sebelum malam tiba.

Jalan yang harus ditempuh lumayan jauh. Jalan yang lebar, perlahan mulai menyempit dan menjadi jalan setapak yang dikelilingi ilalang, pohon besar, perkebunan teh dan kebun petani. Bisa saja Tari mengambil jalan yang biasa dilalui kendaraan roda empat, tapi jaraknya lebih jauh, sehingga Tari memutuskan untuk mengambil jalan setapak yang jaraknya tidak terlalu jauh dan biasa digunakan oleh pejalan kaki serta pengendara motor.

Guratan senja mulai menghiasi langit. Dari petunjuk pengendara motor yang melintas, tujuan Tari sudah dekat. Tapi karena menjelang malam, yang melintas sudah jarang, jalanan sudah sepi. Tari mempercepat langkahnya agar tidak terjebak gelap dihutan.

Tit! Tidiitt! Tiiddiitt!

Tari menepi saat sebuah motor melintas, memberi jalan. Motor itu melaju cepat, tapi tak lama kemudian malah bergerak mundur menghampiri Tari.

"Neng! Sini ikut dibonceng. Bisa kok bertiga. Nanti keburu malam." ujar sang pengemudi, menawarkan tumpangan pada Tari.

"Tidak usah, Kang. Terima kasih." elak Tari, menolak halus.

Alih-alih pergi, laki-laki botak yang duduk dibelakang, malah turun dan mendekati Tari.

"Ayo Neng! Tidak apa-apa ikut juga. Daripada kemalaman disini, banyak penunggunya lho." ujarnya, sambil menakuti.

"Saya tidak takut, Kang. Sudah biasa. Sebentar lagi juga sampai." tolak Tari, mulai waspada karena gelagat mereka mulai aneh.

Benar saja. Laki-laki gendut yang pegang kemudi turun dan ikut mendekati Tari. "Ayolah Neng, gratis. Ayo!"

Si gendut itu mencoba memegang tangannya, tapi Tari dengan cepat mundur beberapa langkah, menghindar.

"Ayo Neng! Jangan malu-malu. Rejeki mah tidak boleh ditolak atuh."

"Lepas!" Tari menjerit kaget saat tangannya berhasil dipegang oleh si gendut. Saat mau memukulnya, tangan Tari yang satu lagi langsung dipegang oleh si botak. "Lepaskan!"

PETUALANGAN ISTRI KETIGA (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang