34. Sembunyi Tangan

1.2K 120 1
                                    

Terdengar beberapa orang masuk dengan langkah panik.

"Tari!!!"

Sepasang tangan besar mendorong Mawar menjauh lalu beralih mencengkram Aster, melepas paksa cekikan Aster pada Tari. Tubuh Aster yang kurus itu dengan mudah dilemparnya hingga terpental ke sudut ruangan.

"Sayang?!" Ternyata Elang yang datang menolong Tari.

"Hah hah hah..." Tari bernapas dengan rakus, mengisi kembali paru-parunya dengan udara. "Mas El..." lirihnya, lemas.

"Hampir saja." ucap Elang seraya memeluk Tari, lega.

Hampir saja nyawa Tari melayang karena Aster. Lagi. Seandainya Ros tidak menelepon dan memberitahu Elang tentang kedatangan Mawar ke rumah, tentu Elang tidak akan bisa datang ke kantor polisi tepat waktu dan menyelamatkan Tari. Elang bisa menduga tujuan Mawar mendatangi Tari, karena itulah Elang bergegas datang ke kantor polisi ketika Ros bilang Tari pergi bersama Mawar.

"Lepaskan aku!!" Aster berteriak, berusaha memberontak dari dua orang polisi yang memeganginya dengan kuat.

"Elang, Tante mohon, jangan salah paham..." Mawar menghampiri Elang dengan tatapan mengiba. "Tadi, Aster tidak bermaksud menyakiti Tari."

"Ayo sayang!" Elang menuntun Tari untuk bangkit lalu memapahnya duduk di kursi. Tak digubrisnya Mawar.

"Tadi, Aster hanya....emosi. Iya, emosi."

"Hanya emosi?!" Barulah Elang mendelik marah pada Mawar, tak terima. "Tante pikir perbuatan Aster tadi hanya emosi? Nyawa istriku hampir melayang!" bentaknya. "Dan bukan hanya aku yang melihat, mereka juga melihat! Jadi jangan berkata bodoh!"

Mawar menunduk. Perlahan dia menjatuhkan lututnya ke lantai untuk bersimpuh dihadapan Elang.

"Jangan lakukan itu Ibu!" jerit Aster, tak setuju dengan sikap Mawar. "Jangan memohon padanya!"

"Ibu harus melakukannya." lirih Mawar, menatap Aster dengan dalam. "Ibu hanya punya kau. Meski Ibu harus bersimpuh atau bersujud, Ibu rela, asal kau bisa bebas." ujarnya, putus asa. Lalu Mawar kembali menatap Elang. "Tante mohon, maafkan Aster. Tante janji akan membawanya ke luar negeri dan tidak akan kembali lagi. Tolong, sekali ini saja, lepaskan anakku." pintanya.

Tapi Elang hanya menatap datar, sama sekali tak tersentuh. Meski Mawar bersujud di kakinya, Elang tidak akan memaafkan Aster.

"Bangun Bu! Ku bilang banguuunnn!!" suruh Aster, berteriak marah. "Jangan memohon padanya! Lebih baik aku mati daripada mendapat belas kasihan dari mereka! Bangun Ibuuu!!"

"Kurung dia di sel isolasi!" Perintah petugas polisi pada bawahannya.

"Siap Kapten!"

"Lepaskan aku!! Lepas!!" Aster meronta saat diseret paksa petugas polisi keluar dari ruangan itu.

"Aster!!" Mawar bangkit dan berusaha mengejar Aster, tapi dihalangi oleh polisi lainnya.

"Maaf Bu. Untuk sementara tahanan tidak bisa ditemui." tegas polisi itu.

Mawar bergegas mendekati Elang lagi untuk kembali memohon. "Elang, Tante mohon, tolong maafkan Aster. Tante mohon...."

Tapi Elang tak peduli. Elang malah berdiri menuntun Tari, memeluknya erat. Baginya tak ada urusan lagi. "Dia harus membayar kejahatannya, Tante. Permisi!" ucapnya, mengajak Tari untuk segera pergi.

"Elang! Jangan pergi! Kembali!" Mawar tak bisa mengejar Elang karena polisi dan pengawal Elang menghentikannya. "Anakku.... Tolong kasihani anakku... Tolong... " Yang tersisa hanya jerit tangisnya meratapi nasib Aster.

PETUALANGAN ISTRI KETIGA (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang