33. Luka Tak Berdarah

1.3K 118 5
                                    

Wanita yang biasa dipanggil Aster itu hanya menatap sinis pada Elang. Tapi dibalik sikapnya yang tenang tersembunyi ketakutan yang teramat besar. Kalau bukan kehidupannya yang akan hancur setelah ini, pastilah kematian sudah menunggunya.

"Rupanya kau punya nyali untuk berurusan denganku." ujar Elang, menghunus tajam.

"Kau yang lebih dulu membunuh ayahku." sengit Aster.

"Dia pantas mendapatkannya."

"Maka aku pun pantas berurusan denganmu."

Elang terkekeh pelan mendapatkan balasan dari Aster. Tak disangka, ternyata Aster lebih berani dibanding Panji. Tapi dalam sekian detik, wajah Elang kembali dingin dan datar.

"Tuan, kau tidak boleh mengakui sesuatu yang tidak kau lakukan. Aku tersinggung." Tiba-tiba Kaleo muncul, keluar dari persembunyiannya dengan langkah tenang lalu berdiri disamping Elang. "Hei Nona, akulah pembunuh ayahmu." akunya. "Apa perlu ku ceritakan detik-detik kematiannya?"

"Kau? !" Aster menatap nyalang pada Kaleo.

"Tenang saja. Aku membuatnya tak sadar sehingga dia tidak merasakan kesakitan saat malaikat maut membawanya. Aku masih berbaik hati pada ayahmu." kerling mata Kaleo menggoda nakal, membuat Aster muak.

Baru saja Aster ingin membalas perkataan Kaleo, tiba-tiba terdengar suara langkah ramai disusul munculnya beberapa polisi yang langsung mengepung mereka.

"Nona Asteria Winatadiningrat! Anda kami tangkap atas percobaan pembunuhan Nyonya Matahari!"

Aster tak bisa menutupi kekagetannya, tak menduga polisi akan datang secepat ini. Saat menoleh pada Elang, Laki-laki itu sedang tersenyum culas padanya. "Kau?!" sekatnya, tersadar. Ini bukan kebetulan. Ini memang skenario Elang!

"Tenang saja, ini baru awal." bisik Elang ditelinga Aster seraya melangkah pergi begitu saja dengan santai.

Aster tak bisa berkutik saat dua orang polisi datang menyergap lalu memakaikan borgol ditangannya. Begitupun saat keluar dari gedung, cahaya blitz datang bertubi-tubi menerpa wajahnya. Diluar, sudah di penuhi puluhan wartawan yang langsung menyerang dengan kamera dan berondongan pertanyaan. Aster hanya bisa menunduk, mengikuti langkah polisi yang menggiringnya masuk ke dalam mobil.

"Apa kau sudah membocorkan informasi itu pada Giring Sasongko?" tanya Elang pada Tomi, seraya matanya tetap mengawasi Aster dari balik kaca mobil.

"Sudah."

"Saat ini dia pasti sudah membacanya." guman Elang. "Atur pertemuaku dengannya besok pagi."

"Baik, Tuan." angguk Tomi, mengerti. Lalu Tomi memberi isyarat pada supir untuk segera menjalankan mobil meninggalkan kegaduhan diluar gedung apartemen.

Pukul 11 siang, Tari mendatangi Polres tempat Aster ditahan untuk sementara. Kedatangan Tari tentu saja tanpa sepengetahuan Elang, karena pagi-pagi sekali Elang sudah berangkat ke kantor. Berita penangkapan Aster menjadi headline di mana-mana. Tari tidak tahu jika saja Mawar tidak datang ke kediaman Mahardika untuk memohon padanya. Tidak tanggung-tanggung, ibu tirinya itu bersimpuh dan menangis mengadukan nasib putrinya pada Tari.

Selama ini, Tari hanya mengetahui Panji mempunyai putri kandung bernama Aster. Seperti apa rupanya, Tari tidak tahu karena memang selama ini mereka tidak pernah bertemu. Lagipula Aster lebih sering tinggal diluar negeri.

Satu hal yang Tari tak mengerti, kenapa Aster ingin membunuhnya?

Tak berapa lama, petugas polisi datang membawa Aster dengan tangan terborgol ke ruang tunggu.

"Sayang!" Mawar langsung menyongsongnya dengan tangisan.

Tari terdiam, hanya duduk dan menatap Aster dengan asing. Begitupun Aster, matanya tertuju pada Tari, tak menggubris tangisan Mawar yang memeluknya dengan erat.

PETUALANGAN ISTRI KETIGA (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang