22. Tak Ada Ampun

1.9K 168 5
                                    

Elang membawa Tari ke RSUD setempat untuk mendapatkan pertolongan. Jika kondisi  Tari mulai stabil, Elang akan langsung membawa Tari terbang ke Jakarta dengan helikopter bersama perawat dan dokter. Tari akan menjalani perawatan di Jakarta, karena Elang ingin Tari ditangani oleh dokter dan rumah sakit terbaik.

Sementara Kaleo menyelesaikan urusannya yang tertunda dengan Panji. Kaleo mendudukkan Panji yang tak sadarkan diri dikursi kemudi. Dicekokinya mulut Panji dengan minuman keras. Tangan dan kaki Panji diatur sedemikian rupa layaknya posisi orang yang sedang mengemudi. Setelah selesai, Kaleo menghapus seluruh jejaknya dimobil dan meninggalkan mobil itu dengan mesin yang menyala. Dari kejauhan Kaleo mengendalikan mobil itu dengan remote drone canggih miliknya. Hingga beberapa menit kemudian terdengar ledakan keras. Duaarrr!!!

Malam berganti pagi. Siang pun bersiap pergi tatkala senja mulai membayang. Bendera kuning dipasangkan didepan rumah. Karangan bunga ucapan turut bela sungkawa terus berdatangan dari tadi siang. Kesibukan tuan rumah terlihat kentara meski dalam suasana duka. Orang-orang datang dan pergi silih berganti mengucapkan duka, ada yang tersenyum, ada yang menangis, ada juga yang mencibir.

Diruang utama, jenazah sudah diberi kain kafan. Beberapa orang ada yang duduk mengaji dekat jenazah, ada juga yang berbincang-bincang dengan tamu yang datang. Mereka masih tak percaya dengan kepergian Panji untuk selamanya.

Kemarin malam, Panji ditemukan tewas. Mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi, menabrak mobil lain dari arah yang berlawanan hingga terlempar dan terperosok jatuh kedalam jurang sebelum akhirnya terbakar. Menurut keterangan polisi, Panji diduga sedang mabuk saat mengendarai mobil karena dari mulutnya tercium bau alkohol dan ditemukan juga sebotol minuman beralkohol tinggi dijok belakang mobilnya.

Suasana sendu tiba-tiba saja menjadi gaduh dan menarik perhatian semua orang. Mawar, istri Panji, histeris begitu mendengar laporan dari pegawai kepercayaan suaminya.

"Kau bohong! Tidak mungkin kami kehilangan perusahaan beserta aset-asetnya dalam waktu singkat. Itu tidak mungkin!" jerit Mawar seraya menarik kerah baju pegawai itu.

"Itu benar, Bu. Maafkan saya." angguknya, tak berusaha melawan.

"Tidak!! Tidak mungkin!!!" Mawar menjerit dan menangis pilu. Suaminya belum juga dikubur, dan sekarang bisnis keluarganya bangkrut. "Katakan! Bagaimana itu bisa terjadi? Bagaimana?!!!"

"Semua investor mendadak menarik dana mereka, Bu. Kontrak-kontrak kita dicansel, sebagian diputus sepihak. Perusahaan tidak punya cukup dana untuk membayar hutang jatuh tempo dan pinalti. Nilai saham juga merosot jatuh." jelasnya.

"Akhhhh!!!!" Mawar mendorong kasar pegawai itu. Langkahnya terseok-seok dan jatuh di samping jenazah Panji. "Mas Panjiiiiii!!! Kenapa ini terjadi pada kita, Mas? Kenapaaa?! Hu hu hu aku harus bagaimana, Mas." isaknya diantara sedu sedan.

Ros yang baru datang, berdiri mematung disamping pintu ruang utama yang terbuka lebar. Melihat pemandangan menyedihkan didepan mata, tak membuat Ros berubah empati. Kakinya terasa enggan untuk masuk dan mengucapkan duka cita. Kalau bukan karena harus mewakili Elang, Ros tidak mau menginjakkan kaki dirumah itu.

Akhirnya Ros memutuskan untuk berbalik dan pulang saja. Lagipula keadaan Mawar sedang kacau, Ros tak ingin menjadi pelampiasan amarah Mawar atas kematian Panji dan bangkrutnya perusahaan mereka.

"Non?"

Langkah Ros terhenti. Dihadapannya berdiri wanita tua yang dulu pernah dikenalnya dengan baik.

"Apa kabar, Non? Syukurlah, Mbok masih bisa melihat Non." ucap wanita tua itu seraya mengambil kedua jemari Ros lalu mengenggamnya erat, penuh kerinduan.

"Mbok Dwi..." lirih Ros, menatap gamang. "Mbok disini sekarang?"

"Iya. Sejak kematian Den Ario, Mbok disuruh tinggal disini."

PETUALANGAN ISTRI KETIGA (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang