B. Trauma?

128 13 0
                                    

Seperti yang ku katakan sebelumnya, sebuah pertanyaan terus terngiang di pikiranku. Kapan persisnya rasa kesepian itu datang di kehidupanku?

Aku tidak yakin akan jawaban ini. Aku pun tidak mempercayainya sebagai jawaban dari pertanyaan besarku.

Apakah kesepian itu muncul ketika memang sudah waktunya saja? Seperti teori-teori yang dijelaskan oleh para ahli.

Aku tak selalu percaya sepenuhnya akan teori-teori seperti itu. Namun biar ku jelaskan satu masa di mana terakhir kalinya kesepian ini melanda jiwaku.

Ku temukan ini dengan penjelajahan yang tidak sebentar. Menghabiskan banyak waktu sendiri, melamun, merenung. Aku harus bersusah payah menahan sesak untuk menggali sesuatu yang ada dalam diriku. Menengok ke masa lalu, dan mengobrak-abrik perasaan-perasaan yang terpendam jauh di lubuk hati sana.

Dan yah, ku temukan satu momen yang mungkin bisa dibilang adalah titik awalku merasa kesepian.

Aku tidak menyuruhmu untuk mempercayai pendapatku. Sama sekali tidak. Bahkan jangan sampai apa yang ku katakan ini menjadi patokan di hidupmu.

Begini ringkasnya,

Suatu ketika di masa kecil, hari-hari ku benar-benar indah. Setiap hari selalu ada canda dan tawa. Dan jika tangis tiba, tak perlu waktu lama untuk meredakannya.

Aku bahagia mempunyai masa kecil seperti itu. Tidak banyak orang-orang jaman sekarang yang mengalaminya. Mandi di sungai, mencari udang-udang kecil. Yah dulu sungai airnya jernih walau tempat tinggal ku bukan di dataran tinggi, Aku dan teman-teman ku sering mencari udang sambil mandi di sana. Mengejar domba yang sedang di lepas penggembala, bermain gobak sodor di lahan bekas pembuatan batu bata yang sekelilingnya penuh tanaman jagung, bermain layangan, menangkap capung, mencari laba-laba di pohon-pohon besar, dan masih banyak lainnya.

Aku sangat bahagia tiap kali teringat akan semua kenangan itu. Bahkan hingga sekarang, Aku masih ingin bermain kelereng atau lompat tali dengan teman-teman masa kecilku dulu. Tapi mereka semua sudah menikah dan punya anak. Sedang Aku masih seperti ini. Jadi tidak mungkin kalau Aku ingin mengulang adegan-adegan itu.

Di saat masa kecilku sedang berada di puncaknya, sedang merasa bahagia-bahagia nya, sebuah masalah besar muncul di hidupku.

Orang tuaku sering bertengkar, mereka terus berdebat ketika tak sengaja Aku pulang dari bermain. Banyak barang-barang pecah dan rusak karenanya. Aku tidak tahu mengapa orang dewasa selalu melakukan itu setiap kali marah.

Jika ku marah, Aku selalu berlari dan berteriak. Lalu amarah itu pun hilang dengan sendirinya. Tapi mereka, selalu membanting gelas, piring, bingkai foto, memecahkan cermin dan lain sebagainya yang membuat mereka susah sendiri karena harus membelinya lagi. Iya kalau ada uang, kalau tidak? Susah lagi kan?

Pemandangan itu bukan sekali dua kali ku saksikan. Tapi sering. Walaupun tidak setiap saat Aku menyaksikannya. Hingga pada akhirnya mereka membawaku pergi ke suatu tempat. Yah, kami pindah rumah. Dan Aku pun harus mengikutinya.

Perasaanku begitu hancur kala itu, Aku yang sedang bersinar diliputi banyak teman dan permainan, mereka merampas nya begitu saja.

Meski kami pindah tidak jauh dari rumahku sebelumnya, tetap saja rasanya berbeda. Walau Aku masih sering bermain dan bertemu teman-teman ku di sana, Aku merasa asing. Ini tidak lagi seperti sebelumnya.

Ayahku selalu memarahiku tiap kali Aku pergi ke sana, dan menemui rumah kakek dan nenek, rumah yang sebelumnya kami tempati. Setiap Aku pulang dari sana, selalu saja Ayah marah-marah tidak jelas.

Apa salahku? Bukankah dia yang sudah merenggut kebahagiaanku saat itu? Mengapa Aku yang selalu disalahkan?

Karena Aku tidak betah di lingkungan baru, Aku tidak punya teman satupun di situ. Sehingga setiap hari Aku pergi ke sana dan bermain dengan teman-teman lamaku.

Jelas Ayah semakin marah karena Aku tak mendengar ucapannya, sampai ketika ia mulai naik pitam, Ayah mengatakan sebuah kalimat,

"Kalau kamu pergi ke sana terus, nggak usah pulang sekalian. Gak usah tinggal sama bapak. Sana dengan kakek dan nenekmu saja."

Jelas Aku tak bisa menerima kalimatnya. Itu hal yang mustahil ku lakukan. Anak kecil berusia 9 tahun yang dunianya dipenuhi oleh bermain, harus menuruti kata-kata orang dewasa yang tak masuk akal. Tapi akhirnya Aku kalah. Aku menuruti semua perintah Ayah meski berat rasanya bagiku.

Beberapa hari, minggu, bulan Aku tak lagi pergi menemui teman-teman ku untuk bermain. Aku terus di rumah mengurung diri dan entah apa yang ku lakukan saat itu.

Mungkin karena sejak itu Ayah melarangku bermain, Aku jadi mulai tidak enak. Rasanya tak bisa ku jelaskan di sini. Tapi mungkin kata 'kesepian' bisa mewakilinya.

Yah, sejak saat itu penyakit ini hadir di hidupku. Aku yang dulu sangat ceria dan bersemangat tiap kali bertemu teman-teman. Setelah kejadian itu benar-benar jarang bermain, jarang bicara dengan teman lain di sekolah, dan benar-benar selalu merasa sendirian.

Apakah perasaan itu yang memicu rasa kesepian? Apakah kesepian bisa hadir sebelum waktunya? Benarkah kesepian bisa hadir kapan saja? Tidak harus menunggu waktu dewasa terlebih dahulu?

Aku tidak tahu.

Berguru Kepada SepiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang