L. Penderitaan

20 7 0
                                    

Sepertinya Aku harus berterimakasih kepada waktu subuh karena dia yang sejauh ini menemaniku berbagi sepi.

Udaranya yang suci dan suasananya yang tak kalah hening ketika malam, membuatku ingin terus bercermin menerawang ke dalam diri.

Kali ini Aku tidak sedang berada di tepi jalan atau menghadapkan wajahku di depan kipas angin, sekarang Aku sedang berada di depan cermin.

Yah, cermin.

Ku pandangi ciptaan Tuhan yang katanya paling sempurna ini. Alis yang lebat, bulu mata yang lentik, sorot mata yang tajam, hidung yang tidak terlalu mancung maupun pesek, bibir yang hitam kalau tak dipoles lipstik, juga sekumpulan jerawat di pipi kanan dan kiri.

Jika orang-orang memandang cermin sambil mencari kekurangan di sudut wajahnya, Aku tidak. Jika orang-orang memandang cermin karena ingin selalu melihat apakah wajahnya baik-baik saja sesuai standarnya, Aku tidak.

Aku adalah tipe orang yang jarang bercermin, dalam artian di depan kaca. Aku tidak terlalu sering memeriksa wajahku baik-baik saja atau barangkali ingin menghapus debu setiap saat yang melekat di sana.

Yah, itu benar. Bahkan Aku tak segan untuk menyebut diriku tidak mempedulikan penampilan.

Aku tidak peduli apakah bedak yang menyelimuti wajahku rata atau tidak, Aku tidak peduli mengawal hari dengan memakai lipstik atau tidak dan Aku tidak peduli Apakah Aku terlihat cantik atau tidak.

Kau tahu apa yang ku pikirkan sekarang? Aku melihat ke dalam mataku sendiri. Berusaha menyelami lautan sempit di sana dan berenang ke dalam samudera yang luas di dalamnya.

Aku ingin menyusuri tiap sudut di dalam diriku. Bukan untuk melihat organ-organ seperti tenggorokan, jantung, paru-paru, ginjal, lambung dan seterusnya. Bukan itu yang ingin ku lihat. Tapi rasa sakit yang ku derita selama ini.

Aku ingin melihat, di mana rasa sakit itu bersemayam. Sedang apa ia di sana? Dan mengapa ia betah sekali singgah di dalam? Sementara orang-orang tidak pernah menyimpan perasaan itu di dalam jiwa mereka.

Ketika mereka mendapat penderitaan sebesar apapun, mereka menerimanya dengan lapang. Sehingga tak ada sedikitpun rasa sakit di dalamnya. Sedangkan Aku? Masalah kecil saja, rasa sakitnya bisa sampai berlarut-larut. Apalagi untuk menerima penderitaan yang besar?

Aku ingin bertemu rasa sakit dalam diriku dan mengatakan padanya,

"Untuk apa Kau betah berlama-lama di sini? Pergilah! Aku membencimu!"

Kemudian rasa sakit itu pun pergi dan Aku bisa hidup dengan bahagia.

Dia harus pergi, rasa sakit memang seharusnya tidak boleh dipelihara kan? Aku juga ingin hal itu terjadi. Tapi ini tidak semudah kelihatannya.

Sambil terus memandang wajah dungu ini, Aku terus berjalan dan berjalan. Menyusuri setiap pintu yang melapisinya. Kau tahu? Tidak mudah untuk menilik rasa sakit dalam diri kita.

Ada begitu banyak rintangan yang harus kita lalui. Kau harus melewati  pintu-pintu dulu untuk bisa sampai ke sana. Pintu bahagia, pintu sedih, pintu takut, pintu trauma, pintu kalut, pintu nestapa, pintu penderitaan, pintu masa lalu dan masih banyak pintu-pintu lainnya.

Sebagaimana menyelami samudera yang luas dan dalam, kita juga butuh tenaga dan alat untuk menyelam ke dalam diri. Alat itu bernama 'penerimaan'. Ketika menyelam ke dalam diri, Kau harus membawa 'penerimaan' yang banyak. Itu bekal paling penting. Ia ibarat tabung oksigen yang membuatmu bisa terus bernapas.

Ketika sudah menyelam, Kau mungkin akan menemukan banyak ikan yang beraneka ragam, terumbu karang, dan masih banyak lainnya. Tapi ketika Kau menyelam ke dalam dirimu, Kau hanya akan menemukan satu hal, yaitu "sesak".

Aku tidak menjamin Kau akan bertemu sesak di sana. Tapi Aku merasakannya. Jika Kau tak percaya, maka bercerminlah sekarang dan coba sendiri.

Belum genap Aku memulihkan tenaga setelah melewati banyak pintu-pintu lara, Aku harus bersiap untuk bertatap muka dengan rasa sakit itu sendiri. Makhluk paling kejam yang menyusahkan diri. Dan yah, setelah Aku sudah berada di tempat tujuanku, Aku pun mematung seketika.

Aku dan rasa sakit, kami terus menatap satu sama lain untuk beberapa saat.

Tak ada satu kata pun yang terucap dari bibir kami untuk memulai pembicaraan ini. Maka, untuk tidak membuat waktuku semakin lama di sana, Aku pun langsung menyambar nya dengan kalimat,

"Pergilah wahai rasa sakit. Jangan tinggal di dalam diriku. Aku tidak ingin melihatmu!"

Begitu kataku.

Terlihat gila kan?

Biarkan saja, Aku tidak peduli!

Tanpa berpikir panjang, rasa sakit pun menjawab,

"Jika Kau ingin mengusirku, maka usirlah rasa kesepian itu dalam dirimu dulu."

Apa?

Kesepian?

Dia menyinggung tentang kesepianku? Tapi kenapa?

Apakah kesepian adalah sumber dari rasa sakit yang ku derita selama ini? Atau rasa sakit itu sendiri yang menjadi penyebab kesepian ini datang menghampiri?

Berguru Kepada SepiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang