J. Kegelisahan

30 8 0
                                    

Sejak pertama Aku menuliskan cerita tentang sepi, tak ada satupun dalam setiap bab yang ku lewatkan tanpa perasaan sesak.

Jika di cerita-cerita sebelumnya setiap tulisanku ditemani oleh rindu, dan rasa sakit. Sekarang seluruhnya sempurna diambil alih oleh sesak.

Ini memang tidak begitu penting untuk diceritakan. Tapi Aku serius, jika saja Kau tahu seakan-akan sekarang ini Aku sedang mencabik-cabik hatiku sendiri dan perasaan-perasaan yang ada didalamnya pun terkoyak-koyak tak menentu.

Kau pasti tahu bahkan sudah hapal akan gelagatku. Jika Aku terus menuliskan bab selanjutnya, maka ada pertanyaan-pertanyaan baru yang muncul.

Yaps, benar sekali.

Aku tidak tahu apakah Kau juga merasakan hal yang sama denganku. Kau tahu kawan? Kegelisahan ini begitu besar. Ia tak mau menjauh sedetikpun, ia tak mau menepi sejengkalpun dari jalanku. Ia selalu menempel di kaki, tangan, mulut, hidung, mata, telinga bahkan melekat di hati dan pikiranku.

Ini tidak benar kan?

Yah.

Kau pasti akan menyalahkan tindakanku.

Lagipula, untuk apa Kau repot-repot menepuk bahuku sambil mengatakan, "tenang, semua akan baik-baik saja." Tidak, tidak. Itu mustahil kan? Kau tidak mungkin melakukan itu. Kau kan anti pada manusia-manusia kesepian sepertiku.

Aku tahu Kau takkan setuju dengan apapun yang ku katakan ini. Jelas, Kau adalah manusia kuat yang tahan banting. Sedang Aku si ahli mengeluh dan putus asa. Maka tidak peduli Kau akan berkata apa kali ini.

Sungguh, Aku ingin terus bicara walau takkan ada yang peduli. Dengan bermodal keyakinan bahwa suatu saat akan ada yang mendengarku bicara dan kita pun akan berbagi rasa. Aku akan terus menuliskannya.

Aku tahu Kau tidak suka mendengar keluhan. Tapi biarkan Aku bercerita kali ini.

Kegelisahan-kegelisahan itu, sungguh. Semua kegelisahan yang tak bisa ku jelaskan dari mana akarnya itu sangat menyiksaku teman. Aku tak bisa mengendalikannya. Semua video-video ceramah, semua kalimat-kalimat bijak dari motivator ulung, segala macam cuplikan-cuplikan humor dari para komedian tak mempan mengusirnya.

Perasaan-perasaan gelisah itu membuatku takut hingga rasa kesepian pun hinggap dan bersemayam di lubuk hatiku untuk ke sekian kalinya.

Lagi-lagi kesepian itu datang Wahai temanku. Ia selalu singgah di sini. Bahkan sepertinya mulai menetap sejak lama. Kadang-kadang ia pergi dan menghilang namun lebih banyak singgah nya.

Aku tidak tahu, dia selalu datang di waktu yang tak pernah ku duga. Kadang-kadang ia muncul saat Aku sedang asyik mengobrol dengan tetangga. Kadang-kadang ia muncul ketika seorang teman datang berkunjung ke rumah atau kami sedang bepergian ke suatu tempat. Kadang-kadang ia juga muncul ketika Aku sedang melamun sambil menatap api di atas kompor. Ia tak selamanya muncul saat Aku sedang sendirian.

Bagaimana ini?

Apa yang harus ku lakukan?

Setiap kali kesepian datang, mulutku seakan dibungkam dengan selarik lakban hitam, lalu kaki dan tanganku juga terikat oleh belenggu nya. Dan tak ketinggalan pula pikiranku juga terjerat dalam kesaktiannya. Hanya hatiku yang masih bebas. Bebas mengungkapkan segalanya. Walau itu hanya bait-bait tentang rasa sakit.

Lalu sedetik kemudian sebuah pertanyaan pun mendarat di bibirku. Ke mana kesepian akan membawaku? Ke muara apa sungai kesepian ini akan menghanyutkanku? Ke mana kapal kesepian ini akan berlabuh? Ke mana? Ke mana? Dan ke mana?

Kepalaku sangat pusing!

Berguru Kepada SepiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang