Jawaban 12

17 5 0
                                    

Aku sangat berterimakasih padamu jika pada akhirnya Kau memutuskan untuk terus mendengar ocehanku. Aku sangat bersyukur karena Kau masih mau menyimak semuanya sampai sejauh ini dengan berkali-kali duduk di tempat yang sama.

Aku hanya tidak menyangka Kau akan kuat mendengar segala keluh kesahku. Keluh kesah yang tak berguna ini.

Kau tahu? Aku pikir takkan ada telinga yang mau mendengar, Aku pikir tak ada mata yang mau menatap dengan tulus, Aku pikir tak ada bibir yang pelan merapalkan tulisan-tulisan ku perihal kesepian. Tapi Kau, lihatlah. Kau sudah menemaniku sejauh ini.

Terimakasih kawan, Kau sungguh baik. Aku tidak akan melupakan saat-saat ini.

Dan baiklah, mari kita tarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Lalu meluncur ke pertanyaan selanjutnya.

"Apakah kesepian adalah sumber dari rasa sakit yang ku derita selama ini? Atau rasa sakit itu sendiri yang menjadi penyebab kesepian itu datang menghampiri?"

Perlu dibaca berkali-kali lebih dulu untuk memahami pertanyaan kali ini. Sedikit membingungkan. Tapi tak apa. Aku sudah mulai bisa mencernanya.

Singkatnya, mana yang lebih dulu? Kesepian lalu sakit atau sakit dulu baru kesepian?

Menurutmu bagaimana?

Aku pikir perlu berpikir berkali-kali untuk menjawab pertanyaan ini.

Tapi mungkin, sejauh yang ku alami selama ini menjurus kepada hal-hal yang kebanyakan kepada rasa sakit dulu baru mengalami kesepian.

Yah, karena bagiku tidak mungkin seseorang tiba-tiba mengalami kesepian tanpa alasan. Sekalipun orang tersebut tidak mengetahui penyebabnya. Karena selalu ada api dibalik asap.

Kau tahu?

Ini semacam lingkaran setan yang tak memiliki ujung. Ia terus menyambung membentuk lingkaran yang takkan putus.

SAKIT-KESEPIAN-SAKIT

Ketika segala macam rasa sakit bertumpuk-tumpuk menjadi satu, kesepian itu lantas muncul dan kembali memunculkan rasa sakit yang baru. Sakit-kesepian-sakit-kesepian-sakit-kesepian-sakit dan seterusnya.

Jadi jika ditanya mana yang lebih dulu? Sakit atau kesepian? Apakah sakit yang menyebabkan kesepian? Atau kesepian yang menyebabkan sakit?

Bulshit pada pertanyaan seperti itu. Intinya semuanya mengandung sakit. Semua mengandung penderitaan.

Kau tahu? Kadang-kadang pertanyaan itu tidak penting. Terutama pertanyaan di atas. Ada beberapa hal yang tak bisa ditanyakan. Kau tahu kenapa?

Karena entah pertanyaan maupun jawaban, semuanya mengandung rasa sakit.

Sakit adalah akibat dari kesepian, kesepian adalah penyebab dari sakit, sakit adalah penyebab kesepian, kesepian adalah akibat dari sakit.

😂

Pusing kan?

Aku pun.

Sangat.

Dalam part "penderitaan", di sana rasa sakit menyampaikan bahwa jika Kau ingin menghilangkan rasa sakit, maka hilangkan lah perasaan kesepian itu lebih dulu dari hatimu. Maka ketika Kau sudah berhasil mengusirnya, dengan sendirinya rasa sakit itu pun hilang.

Masalahnya adalah bagaimana kita mengusir rasa kesepian jika dengan segala macam cara saja tak mempan diterapkan?

Apa yang dibutuhkan orang-orang sepertiku dan orang-orang di luar sana? Apa?

Ini mungkin satu-satunya pertanyaan yang tidak bisa ku jawab bahkan sampai kapanpun.

Apa yang dibutuhkan oleh orang-orang kesepian? Pertanyaan ini terkesan membuatku pesimis. Pesimis apakah rasa kesepian ini benar-benar bisa dihilangkan? Dengan segala macam cara yang tak satupun berhasil.

Berangkat dari pesimis itu, membuat dadaku semakin sakit.

Dan lagi-lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya ikut bermunculan di permukaan, berdesak-desakan di kepalaku saling berebut ruang.

Kau tahu apa yang sedang ku pikirkan?

Aku sedang berpikir apakah kesepian ini bisa hilang dari hidupku? Jangan-jangan penyakit ini akan selamanya menjangkitiku. Menggerogoti satu persatu organ tubuhku melalui cacat pikir.

Sungguh, dengan begitu banyak rasa takut Aku sangat pesimis apakah perasaan kesepian ini akan selamanya membuntutiku?

Seharusnya Aku tidak memikirkan itu, lalu membiarkan diriku berat karenanya. Tapi Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri.

Aku takut, Aku sedih. Dengan segala upaya yang sudah ku lakukan selama ini, kesepian itu tak kunjung pergi bahkan menjeda diri barang sebentar.

Apa yang salah dariku kawan? Mengapa rasanya semakin hari semakin berat?

Aku tidak sedang berada di tengah hutan belantara yang gelapnya melebihi saat kita menutup mata. Aku juga tidak sedang berada di tengah-tengah tempat yang hanya ada Aku seorang. Aku punya banyak teman, Aku punya keluarga yang utuh dan humoris, Aku juga tidak punya musuh. Lalu apa yang ku takutkan?

Kenapa rasanya ada begitu banyak rasa takut. Rasa sakit. Yang menyelimuti rasa kesepian itu sendiri.

Dan entah mengapa Aku pun tak bisa mengendalikannya.

Aku pikir kesepian ini dikarenakan oleh peristiwa yang tak menyenangkan, peristiwa yang awalnya membuatku patah hati terhadap sesuatu. Dan ketika sesuatu yang membuatku sakit itu hilang dan berhenti menyakitiku, lalu perasaan kesepian itu akan hilang. Ternyata tidak, sama sekali tidak.

Justru semakin hari rasanya semakin besar, semakin hari rasanya semakin pedih.

Kau tahu?

Aku pikir dengan menuliskan segala keresahan, ketakutan dan kegelisahanku oleh karena kesepian di sini akan membuatku membaik. Membuatku pulih secara perlahan. Tapi nyatanya tidak.

Semakin Aku menulis, semakin Aku membuka relung dada, semakin Aku mengutarakan segalanya, rasanya semakin sesak. Rasanya dadaku seperti terkoyak, hatiku seakan tercabik-cabik oleh perilakuku sendiri.

Kenapa kawan?

Kenapa seperti ini?

Bukankah dengan menuliskan apa yang kita rasakan, lantas perasaan itu akan membaik lama kelamaan? Namun kenapa Aku tidak? Kenapa rasanya semakin berat?

Apakah itu karena ketika Aku menuliskan segalanya, lalu menemukan banyak hal yang tak ku sadari dan dari situlah muncul rasa sakit rasa sakit baru? penderitaan-penderitaan baru?

Ini sungguh tidak adil. Seharusnya sekarang Aku semakin membaik. Seharusnya Aku lebih bahagia karena sudah mengutarakan segalanya. Tapi mengapa rasanya semakin berat?

Sungguh, Aku serius. Sama sekali tidak berbohong.

Apakah ini akibat dari terlalu banyaknya hal yang ku tanyakan? Sehingga ketika Tuhan memberikan jawabannya, justru jawaban itu membuatku kecewa. Lebih-lebih lagi proses pencarian dibalik setiap jawaban itu membuat hatiku seakan tertusuk-tusuk sebilah pisau.

Atau karena tiap kali Aku menemukan sebuah jawaban, justru jawaban itu mengantarkanku pada pertanyaan-pertanyaan lain yang membuatku semakin menderita?

Jika iya, maka ini tidak benar. Sama sekali keliru.

Jika konsekuensi dari rasa penasaranku berujung kepada penderitaan-penderitaan baru, seharusnya Aku tidak menanyakan apapun lagi. Tapi tidak, Aku malah mencari dan terus mencari. Tidak peduli sepahit apa yang akan ku temukan di depan.

Aku lebih memilih kembali sakit dari rasa sakit yang membuatku kesepian. Kemudian tenggelam dalam lautan penderitaan di dalamnya.

Kau mungkin tidak paham dengan maksudku di part ini. Tapi tak apa. Kau tidak harus langsung memahaminya. Bahkan Kau tidak perlu paham-paham banget.

Biarkan salah satu ocehanku menjadi ocehan gaje yang hanya perlu Kau skip dan berganti fokus pada pembahasan lainnya.

Berguru Kepada SepiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang