K. Keraguan

26 8 0
                                    

Sebuah usaha yang baik ketika kita berani menceritakan masalah yang kita hadapi kepada teman atau sahabat terpercaya.

Curhat tentang masalah sendiri bukan berarti membuka aib sendiri. Curhat tentang masalah sendiri bukan berarti menunjukkan bahwa kita lemah. Justru dengan berbagi cerita, barangkali akan menambah kekuatan baru di dalamnya.

Jujur, Aku kurang setuju pada orang-orang yang selalu memendam masalahnya.

Oke lah, itu terserah mereka. Ada beberapa orang yang memang aslinya tak bisa curhat apalagi membuka obrolan. Tapi dengan terus menahannya di dalam, menurutku itu keliru.

Apapun kesulitan yang kita hadapi, apapun beban yang kita pikul dalam hidup ini jangan sampai ditanggung sendiri dalam artian bukan berarti kita menceritakannya ke orang lain lantas kita merepotkan nya. Tidak. Sama sekali tidak begitu.

Jika Kau mungkin, adalah salah satu dari mereka yang tidak pernah curhat pada siapapun. Aku paham. Rasanya mungkin sulit untuk menjelaskan dari mana nya dulu. Tapi beban yang kamu tanggung itu tidak berhak di simpan. Ia perlu dikeluarkan walau bukan dengan cara diceritakan.

Ada begitu banyak cara, bisa melukis, menulis, mencoret-coret kertas kosong, melakukan perjalanan, dan masih banyak lainnya.

Aku pernah memiliki seorang teman, dia adalah pendengar yang baik. Ia selalu solutif memberiku nasehat ini itu tiap kali Aku curhat padanya. Tapi suatu ketika, saat giliran dia yang merasa kesusahan. Dia tak menceritakan keluhannya padaku sedikitpun. Sekalinya ingin cerita, ketika dia sendiri mancing-mancing membuka masalahnya, saat ku tanya malah tak mau menjawab.

Melihat sikapnya yang demikian membuatku berpikir, kita tidak perlu takut untuk menceritakan masalah kita terlebih kepada sahabat sendiri.

Itu adalah prinsipku selama ini. Tapi di sisi lain, Aku menemukan hal yang berbeda dari temanku yang lain.

Kali ini datang dari orang yang berbeda. Dia adalah temanku, belum jadi sahabat. Kami terbilang akrab dan merasa nyaman satu sama lain. Kami juga bisa saling melengkapi. Jika dia yang bercerita, maka Aku menjadi pendengarnya. Jika giliran Aku yang berkeluh kesah, maka dia pun jadi pendengarnya. Itu merupakan peran yang spontan dihayati sesuai kondisi. Maka tak heran perasaan percaya dan nyaman pun segera menyelubungi.

Namun suatu waktu, ketika Aku sepenuhnya menerima seluruh curhatannya hingga dia merasa nyaman padaku. Saat gilirannya Aku yang bercerita, ia malah menjudge ku dengan yang bukan-bukan.

Aku tidak menyalahkan sikapnya. Tapi Aku mengeluhkan jawabannya. Kami memang akrab, tapi bukan berarti dia tahu segalanya tentangku dan menjudge karakterku hanya dari mendengar satu dua cerita dariku.

Kau tahu apa yang ku katakan padanya?

"Aku Kesepian."

Yah, dua kata itu pernah ku ceritakan padanya. Dan respon dari jawabannya adalah dia menilaiku kalau hidupku flat dan datar. Hanya itu-itu saja yang ku lakukan. Aku kurang bersosial dan lain sebagainya.

Aku bukannya tersinggung, tapi semua yang dia katakan tak benar. Dan itu sangat keliru.

Kau tahu? Sejak saat itu Aku tidak percaya padanya. Tidak ada lagi respect untuknya. Dan Aku pun tidak akan mengeluhkan hidupku padanya sebagaimana dia yang begitu nyaman bercerita padaku.

Kau tahu apa yang ada dalam benakku saat itu?

Entahlah, ini benar-benar sebuah pelajaran baru dalam hidupku bahwa ketika orang lain menilai kita bisa memahaminya, kita tidak bisa balik mengharap dia bisa memahami kita.

Dan apakah Kau tahu apa yang terbesit dalam benakku saat itu? Lagi-lagi sebuah pertanyaan muncul di kepalaku kawan, bahwa benarkah kesepian bisa diceritakan pada orang lain yang bahkan kita percaya padanya sepenuhnya?

Benarkah kesepian bisa diceritakan ke semua orang? Benarkah kesepian memiliki ruang di hati mereka?

Benarkah terhadap orang-orang yang bahkan kita percayai, lantas mereka bisa menjadi pendengar yang baik?

Berguru Kepada SepiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang