3

30 18 6
                                    

"Apa yang ingin kamu katakan?" Mint memasukkan stroberi matang ke dalam mulutnya.

Ada banyak hal yang ingin Nina katakan, sampai ia bingung apa yang harus dikatakan terlebih dahulu. "Sewaktu SMP pembullyan marak dilakukan. Para guru berusaha mengambil tindakan untuk menghentikan Genk kami. Tapi karena orangtua kami, makanya kami aman sampai lulus dari SMP itu."

Jadi, Nina adalah anggota genk pembully. Meski terlihat fashionable wajah putih pucatnya tidak terlihat baik. Bibir pecah-pecah, kantung mata dalam dan rahang kurus yang menampilkan tulang kurus membuatnya terlihat sedikit mengerikan.

"Ada kejadian mengerikan menjelang lulus, kamu melawan kami dan hampir membunuh Cindy. Cindy itu terobsesi dan sensitif dengan wajah model miliknya, Ibunya sendiri tidak diizinkan untuk menyentuh wajahnya."

Mint tercekat. Matanya menatapnya dengan tatapan terkejut sekaligus tidak percaya. "Aku pernah dibully?"

Nina mengangguk. "Kami menjadikanmu pesuruh, kamu diam saja diperlakukan seperti itu. Namun menjelang sehari setelah ujian nasional kamu mencakar-cakar wajah Cindy sambil berteriak kalang kabut. Padahal Minggu besoknya Cindy ada kontes model yang ia impikan. Lalu...." Nina berhenti sejenak sembari menyesap teh kamomilnya.

Mint menunggu sembari mencabut tangkai stroberi. Sudah empat stroberi yang ia makan, Nina tidak melanjutkan ceritanya. Nina menunduk dalam, Mint berpikir Nina sedang memikirkan kalimat selanjutnya, namun selang lima menit, punggungnya tambah bungkuk, lalu, gadis itu tumbang dari kursinya.

"Nina!"

"Ada cewek masih muda, tewas di cafe seberang jalan itu. Anehnya cewek itu tewas kehabisan darah, lemas dan pucat seolah tenaganya diambil dari jiwanya." Seorang ibu berdaster bercerita dengan antusias pada perempuan yang sebelumnya bertanya mengapa ada kerumunan di cafe seberang.

Perempuan itu mengangguk. "Begitu ya? Mungkin almarhum anemia?"

"Belum dipastikan Neng. Tapi Neng cantik banget, orang luar ya? Kuliah di mana? Namanya siapa?" Ibu itu mengamati penampilan si perempuan dari atas sampai bawah.

"Saya Jenika Bu," jawab Jenika dengan senyum tersanjung dengan pujian Ibu itu. "Saya ibu satu anak, emang banyak yang bilang saya seperti anak kuliahan." Senyum gede rasa Jenika menjadi-jadi.

Si Ibu hanya tertawa kecil.

Jenika menatap si ibu. Menggali identitasnya. "Namanya Astuti. Umurnya 40 tahun. Korban KDRT yang terbukti dari lebam kecil di tulang pipi dan tangan penuh plester," gunam Jenika tersenyum, meski Astuti terlihat seperti ibu-ibu pada umumnya yang suka ingin tahu, ternyata ia menyimpan luka sendirian. Jenika menatap tangan kiri Astuti. Astuti yang menyadari langsung menyembunyikan tangannya di belakang punggung.

"Ada apa di tangan Ibu?" Jenika bertanya meski ia sudah tau jawabannya.

Astuti tertawa yang dibuat-buat. "Ah ini cuma luka dicakarin kucing, saya punya banyak kucing di rumah."

"Matamu memancarkan kebohongan."

Astuti terkejut. "Maksudnya apa Neng?"

"Kamu tidak suka kucing. Kamu juga tidak suka pada suamimu."

Jantung Astuti berdetak cepat.

"Bagaimana kamu bisa bertahan dengan alasan kebahagiaan anakmu? Sedangkan kamu sendiri tidak bahagia."

Napas Astuti tercekat. "Siapa kamu, sok tahu urusan saya?!"

Astuti memang pernah berpikir pisah dan melupakan suaminya. Namun melihat anaknya masih sekolah, ia selalu mengurungkan niatnya. Tapi bagaimana perempuan yang barusan ditemuinya langsung tahu kehidupannya.

"Aku bisa melakukannya." Jenika mendekat.

Langkah Astuti perlahan mundur. Ia takut dengan ekspresi Jenika yang meski tersenyum, tapi terlihat seram. "Me-melakukan apa?"

"Menghapus ingatan tentang suamimu lalu kamu dan anakmu berpikir kalian sudah bercerai lama. Kamu akan bahagia." Jenika menepuk pundaknya dan Astuti terpejam sejenak lalu melihat dengan tatapan kosong.

Astuti tidak ingat memori kekejaman suaminya. Ia merasa tangannya perih, menatap tangannya bingung. Mungkin tatapan itu berkata, "Sejak kapan aku memiliki luka?"

"Kamu memiliki kucing lalu tercakar." Jenika menunjuk kearah luka Astuti.

Astuti tertawa. "Oh, begitu ya. Kenapa saya lupa." Ia menepuk jidatnya. "kenapa saya lupa Eneng siapa? Kita ngobrol apa tadi. Maaf jadi nge-blank."

Jenika melangkah pergi, tak ingin menjawab. Menghapus ingatan manusia membutuhkan energi besar, saat ini ia merasa lelah untuk menampakkan diri. Jenika memilih mengikuti sejauh apa Mint bisa menggali ingatan yang telah ia hapus. Menatap mata Mint dari kejauhan saja sudah memperlihatkan rasa penasaran Mint.

Astuti hanya salah satu wanita dari banyak wanita korban KDRT.

♪ヽ

2014. Bulan April. Panti asuhan Rumah Teduh.

"Jenika?" lirih Mint menatap Jenika di hadapannya. Tatapan Mint layu, wajah penuh lebam, mata merah bengkak. Mint dipukuli oleh orangtua Cindy-teman SMP-nya.

Jenika mengusap dahi keunguan. Menyingkap poni Mint sembari tersenyum. "Maaf karena baru mengunjungimu, Mint."

Senyum Jenika membuat Mint ikut tersenyum, entah mengapa senyum Jenika selalu menular. "Aku baik-baik saja. Bunda yang terluka karena mengasuh anak sepertiku." Bibirnya terasa perih ketika berbicara.

"Mulai hari ini dan seterusnya, kamu hanya bisa mengingat hal yang menyenangkan saja, Mint." Jenika menepuk pundak Mint lalu menghilang.

Bingung gak sama alurnya? Semoga engga ya. Paragraf yang di Italic berarti kejadian masa lalu. Komen kalo masih bingung;) Astuti sama Qina itu cuma salah satu manusia yang ingatan buruknya dihapus oleh Jenika.

Revisit Memories (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang