17

11 10 0
                                    

"Ibu, aku harus ke Semarang sekarang. Mint mau bertemu dengan kembarannya!" Kanta berkata sedikit berteriak. Dia sibuk membereskan barang-barang ke dalam koper.

Ibu Kanta yang sedang membaca novel di platform online itu lantas segera berdiri di depan kamar Kanta. "Serius? Jangan sampai ada barang yang ketinggalan, kamu mau Ibu bawakan bekal?"

Kanta mengiyakan dan setelah kopernya siap, dia berlari dengan tangan menenteng food kontainer besar di tote bag.

Sampai di indekos Mint, ternyata gadis itu belum siap. Ada Binar duduk di sofa. Kanta duduk di salah satu sofa.

"Mint belum pergi kan?"

Binar melepaskan pandangannya dari HP sejenak. Hari Minggu ini kenapa semua orang bersikap aneh? Tadi Mint yang menangis lalu berlari ke kamar, sekarang Kanta yang datang-datang bawa koper besar. "Lho, kamu mau pergi juga?"

"Mint gak cerita apa-apa?"

Binar menggeleng. Dia tidak tahu apa-apa.

"Saudari kembarnya, tinggal di Semarang. Dia mau kesana."

Binar tentu saja terkejut. Dia berlari ke kamar Mint, menggedor pintu hingga Mint menatapnya sebal.

"Kamu mau pergi? Terus aku sama siapa?"

Mint masih memasukan secukupnya baju, di koper yang sama saat pertama kali datang ke kos ini. "Kata Emak Kos ada penghuni baru di kamarnya Ghi...." Suara Mint berubah pelan.

"Kalau gitu, mau aku bantu? Udah ditungguin."

Mint tidak tahu siapa yang meminta Kanta ke sini. Dia menenteng satu koper sedang, tas ransel, dan tas jinjing. "Kamu mau ikut? Kamu kan harus belajar."

Kanta berdiri. Menatap gadis dengan pakaian panjang-panjang itu. "Ada seseorang yang memintaku. Lagipula aku gak mau kamu gak bisa pulang karena buta map."

Mint tahu siapa itu.

Setelah berpamitan pada Emak Kos. Mereka berangkat ke halte. Halte tidak terlalu jauh, hanya tujuh menit saja. Permukiman Mint tinggal sangat strategis, halte dekat, mal dekat.

Terminal Kampung Melayu. Hanya menunggu lima menit, bus datang. Mereka naik.

Kanta berkali-kali mengajaknya mengobrol, yang Mint tahu itu agar dirinya tidak memikirkan ingatan-ingatan buruk. Ia menatap pemandangan dari jendela di sampingnya. Sesekali bus berhenti, penumpang datang silih berganti.

Sampai di pemberhentian terakhir, mereka berganti bus. Begitu juga bus pertama, setiap empat lima menit kereta berhenti. Perjalanan bus kedua hanya memakan waktu dua puluh menit saja.

Mereka sampai di terminal Senen. Jalan kaki ke stasiun tiga menit. Kereta api dijadwalkan datang satu jam kemudian. Selama itu, Kanta mengajak Mint makan siang dahulu.

"Ibumu yang menyiapkannya?"

"Ya, tidak mungkin aku."

Mereka makan, kereta datang tepat saat makanan itu habis.

Di perjalanan, tidak banyak bicara, paling hanya makan stroberi dan menatap jendela. Kanta bermain game. Mint sibuk dengan pikirannya sendiri. Di kepalanya benang-benang ingatan berpilin cepat, semakin mengendur, berpisah. Salah satu benang tipis itu terbuka.

Benang-benang itu, bukan milik Mint. Benang di kepala Jenika berpilin banyak sekali, berantakan, saling beradu dan mengikat. Jika salah satu benang hilang, ingatan pemilik benang akan kembali. Sayangnya yang hilang bukan milik Mint sama sekali tidak.

Kanta masih asik bermain game, kehabisan topik pembicaraan. Dia menoleh melihat Mint sesekali.

"Mint?"

Mint menoleh, wajahnya pucat, bibirnya memutih. Apa dia kehabisan darah?

"Kamu pucat, ayo ke rumah sakit. Tiga puluh menit lagi, kita sampai ke stasiun Tegal, kita bisa ke rumah sakit di sana." Kanta menyentuh punggung tangan Mint, terasa dingin, seperti mayat hidup.

Sudah hampir tiga perempat perjalanan, tidak mungkin berhenti. Mint menggeleng, rasanya wajahnya seperti ini bukan karena kehabisan darah.

"Dua jam lagi sampai, aku hanya lupa minum obat." Dia mengeluarkan empat botol obat kapsul.

Ada obat rebozet, sandimmun, vitamin B komplek, dan folic acid. Mint tidak tahu pasti secara spesifik.

"Yakin, gak apa-apa?" Pertanyaan Kanta direspon berupa anggukan.

"Aku boleh bertanya sesuatu?" Kanta bertanya lagi.

Mint mengangguk, tentu saja. Bukannya dia daritadi sibuk bicara.

"Kamu pernah bercerita, panti asuhanmu dulu di Semarang. Dan tragedi itu, maaf, apa boleh berta-" Kanta sedikit ragu.

"Tanyakan saja."

"Seusai tragedi itu, kamu selamat. Kamu sangat beruntung, dari 300 penumpang, hanya 130an yang selamat. Yang jadi pertanyaanku, kenapa kamu tinggal di panti asuhan Semarang? Bukankah tragedi itu di Merak, bisa saja kamu tinggal di sana?"

"Itu... Semarang, tempat tinggal Nenek." Mint berpikir sejenak. "sayangnya beliau sudah meninggal...."

Mint juga tidak tahu kenapa dia di bawa ke Semarang. Bukankah dia sudah tidak punya keluarga lagi? Tidak ada alasan kenapa harus di Semarang bukan?

Jika saja... Jika saja ayahnya pergi dengan baik-baik, bukan kabur ke Jambi karena di kejar utang. Kejadian seperti ini tidak akan terjadi. Kenapa Jenika tidak menghapus ingatan tentang itu saja.

"Aku hanya menduga saja, Mint. Ada yang membawamu ke sana, bukan dari yayasan itu."

Mint menghela napas, kepalanya sudah penuh untuk berpikir hal seperti ini. Dia mengunyah stoberi. "Kamu terlalu banyak bicara hari ini."

"Memangnya kapan aku sedikit bicara? Kamu seharusnya tidur saja, kalau sudah sampai, aku banguni."

Mint setuju. Dia tidur. Namun benang-benang ingatan itu tidak berhenti bergerak cepat, berpilin-pilin.

Mint memasuki Stasiun Tawang dengan rasa yang sulit digambarkan. Ada kelegaan luar biasa, meski lelah, keinginan bertemu dengan Lint membuat wajahnya semringah. Rambutnya acak-acakan karena tertidur beberapa kali. Kanta membantunya merapikan helaian rambut merepotkan itu.

Mereka tiba di kota Semarang di malam hari yang masih pekat dalam tetesan hujan yang mengguyur dalam beberapa hari, hingga banjir rob memasuki Stasiun sampai sebatas kata kaki. Mint dan Kanta telah melinting celana hingga betis–terpaksa Mint lakukan. Dan duduk di ruang tunggu untuk menunggu gerimis reda.

Kanta mendengak, menatap langit. "Kita harus segera ke hotel terdekat. Sudah malam. Kamu pasti kelelahan." Kanta membuka tas ransel yang ternyata berisi jaket. "Kamu terlalu pucat. Pakai ya."

"Kamu juga lelah. Aku juga bawa jaket." Ada di koper, akan merepotkan kalau dibuka saat banjir begini. Adakalanya Kanta terlalu memperhatikan Mint. Kanta membawa payung yang barusan di beli.

Menggeret koper, langkah kaki yang terasa berat dan dingin karena genangan kecoklatan; air hujan bercampur air comberan yang menjijikkan.

Sampai di hotel terdekat dan memesan dua kamar. Mint segera mandi, badannya kelewat lengket. Membanting tubuh di kasur super empuk yang pertamakali Mint rasakan. Melakukan hal tidak pernah dilakukan, lumayan menyenangkan.

Mengambil buku kecil yang dia selipkan di tas, membuat wishlist.

Wishlist pertama : bertemu Lintang!

Terimakasih sudah membaca, silakan vote jika suka.

Revisit Memories (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang