22

11 8 2
                                    

Ini bukan aroma antiseptik biasa! Mint yakin, aroma ini sangat dikenali hidungnya. Ini aroma yang dia cium saat menatap jenazah Cindy dari jendela.

1 Mei 2012

Hari ini pelajaran matematika. Aku tidak terlalu menguasainya tapi untungnya Mint memberi kami bantuan dengan cara memberi tahu jawaban secara diam-diam.

2 Mei 2012

Cindy agak menyebalkan ku akui. Dia selalu saja membangga-banggakan wajahnya yang tak seberapa itu. Menyentuhnya saja tidak boleh. Tadi tanganku dihempas begitu saja hanya karena tak sengaja mengenai wajahnya sewaktu pulang sekolah tadi.

3 Mei 2012

Hari terakhir ujian nasional!

4 Mei 2012

Hari ini hanya konsultasi SMA. Ada yang mengerikan. Wajah Cindy dicakar-cakar oleh Mint. Ya ampun, aku harus senang atau kesal. Pantas saja Mint kulihat memiliki kuku yang panjang.

5 Mei 2012

Cindy meninggal setelah jatuh dari atap sekolah.

2 Juni 2012

Setelah Cindy bunuh diri. Sahabat-sahabatku berubah tidak mengenalku. Aku takut. Bahkan Mint juga tidak ingat apa-apa. Dia lulus bersyarat. Kenapa hanya aku yang ingat semua?

Benarkah Cindy bunuh diri?

6 Juni 2012

Setiap menatap gedung, aku gemetar. Aku di sana. Aku benar-benar di sana. Mint tidak ingat, tapi aku ingat. Aku ingat setiap detail kejadian.

Setiap detail kejadian maksudnya apa? Apakah Nina adalah saksi mata kejadian itu? Atau dia yang membunuhnya. Kenapa kasus Cindy ditutup dengan pasti, itu adalah aksi bunuh diri akibat depresi dengan kulit sensitifnya menghalangi mimpinya menjadi model. Benang-benang ingatan Mint berputar bereaksi terhadap aroma antiseptik rumah sakit, memunculkan ingatan.

Nina menutup mulut kaget. Tangan lain menggenggam erat rok kotak-kotak navy, menggertak kuku-kukunya. Mundur. Mint menatapnya, memelotot. Angin meniup rambut.

"Sial! Apa yang kamu lakukan?!" teriak Mint, atap sekolah yang berdebu memerihkan matanya.

Nina mundur menggeleng. "Dia sudah mati, kita bisa tenang."

Mint maju, mencengkram dasi Nina. "Kalau kita dijadikan tersangka bagaimana?! Sial."

"Aku gak ta—"

"Kenapa kamu harus mendorongnya! Apa yang harus kita lakukan sekarang?"

Nina bergetar, kakinya terasa berat. "Kamu tidak merasa harus melakukan ini? Bukankah dia memang seharusnya mati?"

Mint tercekat, seperti berada di tengah-tengah situasi yang memaksa dia memilih antara hidup dan mati.

"Dia sudah mati! Kita menyelamatkan banyak orang, dengan begitu tidak ada lagi yang menjadi korban dia!"

"Kita harus lari!" Otak Mint tidak bisa berpikir jernih, yang dipikirkannya adalah bagaimana dia tidak terlibat dengan hal ini. Bagaimana caranya bisa terbebas dengan masalah ini.

Mint dan Nina berhasil lolos. Tidak ada yang mencurigainya, setelah jenazah Cindy diperiksa di forensik, tidak ada bekas luka bekas pukulan atau kekerasan sebelum terjadiny bunuh diri itu. Sidik jari Mint ditemukan pada pakaian Cindy, tapi pernyataan Mint meyakinkan.

"Aku berusaha menyelamatkan Cindy. Menariknya kembali, tapi dia mendorong dirinya ke belakang, lalu terjatuh."

Pria berumur 35 tahunan itu mengetuk jari telunjuk ke meja. "Kami mendengar kamu korban bullying, bahkan sehari sebelum itu, kamu mencakar-cakar wajah Cindy. Bagaimana mungkin kamu mau menyelamatkannya? Tidakah kamu mempunyai motif kuat untuk mendorongnya dari atas sana?"

Mint menunduk, bahunya bergetar. "Aku tidak mau melihat orang mati di depanku. Aku takut."

Jejak sepatu Nina teridentifikasi di lantai semen atas atap. Nina memberika jawaban handal.

"Sebagai sahabat Cindy, aku kaget. Aku berusaha menghiburnya dengan menceritakan kenang-kenangan persahabatan kita. Namun Cindy tetap menerjunkan dirinya sendiri setelah Mint dan aku meyakinkannya."

Mint mencium aroma antiseptik yang khas. Setelah jenazah Cindy diperiksa, Mint sempat menatapnya sebentar kemudian tersenyum kecil.

Itu ingatan yang paling mengerikan. Mata Mint terbuka sempurna. Menatap sekeliling. Buram semua.

"Apa yang kamu rasakan? Pusing?" tanya Kanta sambil memakaikan kacamata.

Mint merasa semua badannya kaku dan pegal. Entah sudah berapa jam dia tertidur. Dokter memberinya obat tidur setelah Mint terbangun dengan tangisan.

Mint menatap Kanta, situasi berasa canggung.

"Ini bunga dari siapa?" tanya Mint, memecah keheningan.

"Dari Chika. Dia Thaller (sebutan penderita thalasemia) yang di sebelah. Dia bilang mau operasi besok, minta doanya."

"Begitu, cantik bunganya." Mint tersenyum.

Mint tersenyum, tidak bagi Lint. Hari itu di sore hari yang hangat, Lint duduk, menatap danau. Merasa iri pada ikan, bisa berenang kesana kemari. Namun tak lama ikan itu berhasil dipancing, orang yang memancing ikan itu berteriak senang. Lint tidak jadi iri.

Menatap pohon pinggir danau. Teduh menaungi bapak anak yang sedang memancing terlihat girang, pohon itu bergoyang pelan mengikuti irama angin. Terlihat bebas, pohon itu hanya perlu berdiri tegak, menyerap zat hara, air dan mengikuti angin. Lint iri. Sampai melihat anak nakal yang bergelayutan di dahan pohon itu sampai patah.

Lint tidak jadi iri pada pohon. Kemudian dia menatap langit. Burung dara beterbangan, kesana-kemari, bebas dan bahagia, begitu pikir Lint sebelum melihat burung itu balik ke pemiliknya, dimasukkan ke sangkar.

Keindahan itu berada di tempatnya masing-masing. Dari jauh terlihat indah, bebas, bahagia. Tapi setelah melihat dari dekat ternyata tidak sebahagia itu. Tidak seindah itu.

Lint senang bertemu dengan saudarinya. Senang sekaligus merasa bersalah. Telah meninggalkannya selama tujuh belas tahun. Masa berkabungnya belum selesai, ibunya kini punya skizofrenia. Ibu tidak lagi melihatnya sebagai Li Mei.

Lint pikir ibunya sudah sembuh, ternyata ibu hanya berhenti menganggap Lint sebagai Li Mei, Ibu membuat bayangan Li Mei di pikirannya sendiri.

Rasanya dia ingin mati.

"Lint." Jenika muncul, duduk di sebelah Lint.

"Aku ingin mati saja." Lint mengambil obat dari tas, obat itu merupakan obat penurun berat badan. Hatinya terasa tenang jika sudah menenggak beberapa butir obat.

"Kamu harus mencari alasan untuk mati."

Revisit Memories (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang