16

9 10 0
                                    

Hanna baru pulang dari kampus dan marah-marah mengetahui kertas polaroidnya habis tak bersisa. Dia yakin sudah menaruh kamera itu di tempat tak terjangkau. Pasti malingnya adalah orang yang profesional. Dengan darahnya yang mengalir deras, dia berjalan ke Kamar Kanta di lantai atas.

Kanta kaget, reflek melempar handphone-nya. "Sialan!"

Sambil mengangkat kamera hijau ditangan, Hanna mendelik. "Pasti kamu yang ngabisin!"

Kanta tidak peduli, dia mengelus-elus handphone yang barusan terjun bebas dari kasur. Hanna mengebrak-gebrak meja belajar Kanta, benar saja setumpuk polaroid terselip di salah satu buku, tersebar di lantai.

Buru-buru Kanta memungut foto-foto itu.

"Bucinnya merugikan." Hanna mengembuskan napas. "Belikan lagi, kalau lewat dua hari, siap-siap saja."

Gadis itu keluar dan membanting pintu kamar, Ibu sampai menegurnya. Kanta menatap polaroid itu. Tersenyum,

...,kemudian menangis. Tangisan itu, bertahan setiap malam.

"Cindy... Cindy! Apa yang kamu lakukan?! Tidak, jangan, kumohon jangan begitu!" Suara Mint bergetar. Memohon. Cindy berdiri di pinggir rooftop sekolah yang masih dalam pembangunan.

"Kenapa? Kamu hanya tidak ingin melihat seseorang mati di depan matamu. Dan kamu tidak mau terus-menerus mengingat hari ini."

Mint mendekat.

"Tidak, jangan mendekat! Aku akan loncat."

"Jangan, jangan...! Kumohon pikirkan keluargamu...." Mint ketakutan setengah mati. Meski Cindy selalu membully dirinya, tapi melihat orang mati di hadapannya akan selalu menakutkan. Awan cerah, matahari bersinar terang, cerahnya cuaca hari ini tidak mencerminkan suasana hati Cindy.

"Lantas aku harus hidup dengan wajah mengerikan ini? Gak! Kamu harus tetap hidup dan mengenang hari ini, mengenang ketika aku membully kamu." Cindy menunduk menatap daratan di bawahnya. Kemudian menatap Mint lagi.

Ada tangan yang mendorong leher Cindy. Cepat, sampai Mint tidak bisa mencerna apa yang terjadi.  Mint menatap tangannya. Tidak, bukan dia. Dia yakin dua tangan ini tidak dikendalikan olehnya.

Cindy jatuh dengan posisi terlentang, selama di udara dia menatap Mint di atas sana. Tersenyum miring.

Mint terkejut bukan main. Di bawah sana, Cindy tergenang darah dari kepalanya. Menatap kembali telapak tangannya, Cindy sudah mati! Tidak ada lagi sumber kesedihan.

Gadis di belakang Mint tersenyum simpul.

Ingatan itu muncul. Jantung Mint berdebar tak karuan. Telapak tangan Mint berkeringat deras, lantas dia mengambil tisu. Membersihkan keringat itu dari telapak tangannya, juga... Wajahnya ternyata sudah penuh keringat.

Napasnya kiat berat. Dia berusaha mengambil udara, temponya semakin cepat. Tangannya gemetar, membuat tisu itu terjatuh. Bayang-bayang wajah Cindy menghantui.

"Kenapa? Kamu hanya tidak ingin melihat seseorang mati di depan matamu. Dan kamu tidak mau akan terus-menerus mengingat hari ini."

Mint mencengkram dadanya erat, tangan kanannya berusaha menahan tubuhnya.

"Kamu harus tetap hidup dan mengenang hari ini, mengenang ketika aku membully kamu."

"Kamu harus mengingat hari ini."

"Kamu kenapa?" Binar membawa toples berisi kerupuk. Menatap Mint yang bergetar, demi menyadarkan Mint, Binar memegang kedua pundak-menggoyangkan tubuhnya. "Mint!"

"Apakah memiliki ingatan buruk itu menyenangkan?"

Mint tersentak. Terbatuk-batuk, dia menyambar gelas di atas meja. Diteguk dalam sekali. "Binar, aku takut...."

"Takut apa? Siapa yang menakutimu? Katakan." Binar khawatir menatap mata Mint yang sendu.

Bertepatan dengan itu, Jenika berdiri di depan pintu indekos, mengetuk pintunya tiga kali.

Dia langsung masuk, menatap gadis yang duduk di sofa dari jarak  dua meter. "Mint!"

Mint berdiri, berjalan menghampirinya, kemudian mendengak. "Apa yang terjadi setelah itu? Kamu tidak mau mengembalikan ingatanku segera?"

Mint memegang kedua pundak, mendorongnya sedikit. Menangis. "Banyak orang yang menderita karena aku. Sedangkan aku di sini senang-senang saja, karena tidak mengerti penderitaan mereka!" Mint berkata serak.

Jenika berkata santai, mengukir senyum. Menarik napas. "Bukankah ingatan seperti itu menyakitkan? Jantungmu tidak berdetak normal, tempo pernapasan tak karuan, keringat dingin. Itu menyakitkan."

Jenika melepas tangan Mint dari pundaknya, beralih menggenggam tangan dingin itu. "Selama ini hidupmu baik-baik saja. Kumohon lupakan ambisimu mengembalikan ingatan itu. Kamu akan bahagia."

Mint menggeleng. Dada masih terasa sesak. "Aku harus mengingatnya, kamu tidak harus menampung semua sendirian. Apa yang akan terjadi padamu jika terus menampung semua ingatan manusia?"

"Aku... tidak ada yang terjadi."

Binar menonton Mint dari sofa. Bingung.

"Bohong! Semua pasti ada bayarannya kan?"

Jenika menyingkap rambutnya, menunjukkan seperempat wajah. "Aku harus pergi sesuai waktunya, Mint. Itu saja."

Mendengar kata 'pergi' hatinya seperti teriris perlahan. Mint merasa dirinya sudah terlalu egois. Dia melupakan sejenak tentang ingatan itu, menahan tangis. "Bisakah kita bertemu sesering mungkin? Sebelum kamu pergi?"

Jenika mengangguk. Dia masih tanpa ekspresi, sama sekali tidak terbawa suasana. Sumber perasaannya sudah lama mati. "Kita bertemu lagi nanti, sekarang, kamu harus menemui Lint."

Sudah tiga hari sejak Mint menonton berita tentang Lint.

"Dia dalam perjalanan ke Semarang. Alamatnya sudah aku tulis di sini." Jenika memberi kertas putih gading bertuliskan alamat lengkap Lint.

"Segera susul dia. Beri dia kebahagiaan."

Mint tidak mengerti perkataan Jenika. Dalam lima detik, Jenika menghilang.

"Kamu bicara dengan siapa?

"Tolong lindungi Mint, dia akan menyusul Lint ke Semarang," Jenika berkata pada Kanta di kebun mawarnya.

"Sejak kapan kamu di sini?" Kanta mengerutkan kening.

"Itu tidak penting. Cepatlah. Dia itu buta map!" Jenika menyentuh salah satu mawar putih. "Aku boleh ambil satu?"

"Ambil saja. Tapi...."

"Temani dia, kumohon. Selama di sana, jangan membuat dia mengingat hal buruk."

Revisit Memories (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang