10

12 11 2
                                    

Kenangan yang terhapus bisa kembali jika pemilik kenangan memiliki keinginan mengembalikan yang lebih besar dibanding keinginan untuk menghapusnya.”

2009-2012

SMP Negeri 1.

“Hei kacamata tebel!" Gadis itu berdecak kesal ketika Mint tidak menoleh. Gadis itu Cindy, manusia paling dihindari Mint.

"Budek ya?" Cindy melempar tas ke arahnya. Mint berhenti, mencengkram ujung rompi kotak-kotak yang tidak dimasukan ke rok. Meski akhirnya Mint memungut tas itu dan membawanya ke kelas.

Di lorong kelas banyak siswa lain yang menatapnya kasihan atau diam-diam menertawakan sifat penurut Mint. Harusnya Mint melempar tas itu tepat ke kepalanya sampai Cindy jatuh dan wajah cantiknya tergores. Atau membuang tas bermerek di tangannya ke tong sampah. Memikirkan Ibu Panti, membuat ia tak pernah melakukan itu.

Sudah sebulan Mint menjadi babu pembawa tas Cindy. Melewati beberapa tong sampah dengan pikiran untuk membuang tas Cindy ke sana. Tas Cindy berat luar biasa. Apa Cindy membawa batu-bata ke sekolah? Sialan. Buku tebal bin mahal selalu Cindy bawa di tasnya. Buku-buku itu tidak pernah dibaca Cindy. Hanya sengaja agar si Babu nya ini bekerja lebih berat saja. Mint muak. Selalu menurut sambil memeluk tas berat itu. Dia menjatuhkan tas itu di lorong yang setiap hari dilalui.

Melihat Mint berhenti dengan tas miliknya di dekat kaki. Cindy menghampiri dengan kesal. Hanya butuh 12 detik untuk mendekat tepat dengan jarak 10 centimeter. Mint mendepak tas berat itu ke wajah Cindy.

Tepat di wajahnya!

Berita besar ini menyebar ke seluruh sekolah dengan cepat.

Seorang siswi SMP Negeri 1 berani membuat ukiran wajah tak tersentuh itu memerah memunculkan alergi—karena wajahnya terlewat sensitif—dengan mendepak tas tepat di wajahnya!

"Apa yang kamu lakukan!" Teriakan Cindy sukses membuat para siswa mengintip dari jendela karena takut terlibat dengan orangtua Cindy jika melihat lebih dekat.

Cindy memegang wajahnya yang terasa gatal dan perih. Kemudian berlari ke ruang BK.

Mint menyesali perbuatannya. Sungguh. Karena setelah melakukan itu, Ibu Panti dipanggil ke sekolah. Mint berdiri di ruangan yang lantainya terasa ribuan kali terasa keras. Kursi panjang kayu di depannya diduduki Cindy dengan wajah berbintik-bintik juga Ibunya yang tadi sempat bersitegang dengan Ibu Panti. Sedangkan Ibu Panti berdiri di sebelahnya, meminta Mint menunduk untuk meminta maaf kepada mereka. Bagaimanapun Mint tetap bersalah pada Cindy.

Mint membungkukkan badan 90 derajat. Mengucap maaf. Cindy tersenyum sinis.

"Masih terdengar tidak ikhlas."

Membungkuk lebih dalam. "Aku minta maaf, terlalu terbawa emosi sampai memukulmu seperti itu." Aku akan lebih senang jika kulitmu melepuh. "aku tidak akan mengulanginya."

Cindy menyentuh kulit wajahnya, terasa perih dan memunculkan bintik-bintik seperti jerawat yang semakin membesar. Ia meringis. Ibunya menatap Mint sinis, kemudian bergegas ke dokter kulit.

Mint menegakkan tubuhnya. Yang sebenarnya Mint harus meminta maaf kepada Ibu Panti. "Ibu... ma—"

"Tidak apa-apa Mint. Siapapun akan kesal jika dibully terus kan? Haruskah Ibu pindahkan sekolahmu?" Ibu Panti bernama Ibu Riska itu memiliki sifat sabar—dibandingkan Bu Lila yang galak minta ampun. Riska menggandeng tangan Mint keluar dari ruangan berlantai dingin itu.

Mint menggeleng. Tidak mungkin ia akan merepotkan lagi dengan pindah sekolah. Apalagi sekolah negeri yang dekat hanya sekolah ini saja. "Aku tidak mau pindah. Itu akan menandakan aku hanya bisa menghindari masalah."

Riska tertawa. "Kita hidup untuk menghindari masalah, bukan?"

Hari itu di siang hari yang panas. Menatap Ibu Riska yang ternyata tidak menyalahkannya sama sekali membuat Mint merasa bersalah. Tidak seharusnya Mint merepotkannya. Ibu Riska sudah lelah mengurus belasan anak-anak.

Mengenai Cindy, alerginya kambuh sampai tiga hari tidak masuk sekolah. Setelah masuk, Mint kembali menjadi babu Cindy, Nina, Dan Claudia.

Ingatan itu muncul. Mint mengambil buku catatan itu yang tadi sempat terjatuh di lantai. Keluar kamar Nina, menemui Dina. "Aku ingat sedikit."

"Apa yang kamu ingat?" Dina bertanya sembari membetulkan posisi duduk. Kanta ikut duduk di sebelah Mint.

"Aku dan Cindy. Kami musuhan, aku dijadikan babu olehnya." Mint memikirkan kalimat selanjutnya. "apa hal itu pernah terjadi padaku?"

"Perlahan, kamu pasti ingat sepenuhnya."

Mint mengambil foto alumni SMP yang Nina pasang di papan tulis. Tentu dengn izin ibu Nina.

Percakapan singkat itu berakhir. Mint membawa buku diary Nina. Dina menyuruh Mint membawanya, berharap ingatan Mint cepat kembali jika membaca buku itu.

Langit tidak cerah. Sedikit keabuan. Kanta dan Mint berdebat mengenai makan siang. Sebuah perdebatan sengit antara bakso dan soto. Mereka berjalan kaki menuju halte.

"Bakso di sebrang jalan itu enak banget." Kanta menghentikan langkahnya. Menatap kedai bakso di sebrang jalan. 

"Aku pengen soto, lebih dekat lebih baik." Mint membalikkan badan. Tepat di belakangnya ada restoran soto ayam. Tidak perlu menyebrangi jalan.

"Soto ada tauge-nya, gak enak!"

"Bakso juga ada!" balas Mint sengit. Keinginannya makan soto tak terelakkan.

Kanta tak mau mengalah. "Kalau mau makan bakso, aku traktir deh."

Akhirnya Mint mengalah. "Oke!"

Menyebrang jalan besar lewat jalur penyeberangan. Akhirnya mereka berdiri di depan kedai bakso itu. Mint mengusulkan ide brilian melihat langit yang semakin gelap. "Bungkus saja."

Kanta menggeleng. "Keburu dingin."

"Kalau hujan, lebih merepotkan."

"Justru saat hujan akan terasa lebih enak." Kanta masuk ke kedai itu. Tidak ada pembeli selain mereka. Tampak tak meyakinkan. Kasihan juga pedagang ini tidak seramai rumah makan di sebelahnya.

Hanya butuh beberapa menit, bakso itu tersaji.

Mint mengerti kenapa kedai ini sepi.

Revisit Memories (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang