1

90 29 6
                                    

Gelap dan dingin. Ribuan tetes air hujan mulai turun membasahi kota Jakarta bagian timur. Para karyawan toko bergegas menggeser meja-meja menghindari air hujan. Terlihat pula para pencari nafkah bergerobak ketar-ketir mendorong gerobak mereka mencari tempat berteduh. Pemandangan riuh itu terganti ketika memasuki gang Jalan Kebahagiaan, suara yang terdengar menjadi teriakan heboh ibu-ibu memanggil anak mereka yang belum pulang, padahal azan magrib sudah berkumandang sejak lima menit lalu.

Di tengah gang yang hanya muat satu mobil saja, berjalan seorang gadis berambut lepek terkena air. Tangannya memegang payung yang telah bolong kecil ditengah. Tangan kiri memeluk kardus bekas mi instan berisi barang-barang miliknya yang ia bawa dari kubikel kerja.

Giginya menggeletuk. Ia berfikir dirinya sudah cukup kuat menghadapi dingin hujan. Dugaannya salah besar. Ia tidak sekuat itu. Di tengah hujan itu ia menangis. Sungguh bukan dipecat yang menjadi satu-satunya alasan tangisnya, ia tidak tahu pasti. Hujan membuat ia menangis tanpa alasan. Membawa langkah gontai menuju indekos, matanya sesekali melihat tetangga menatapnya iba. Barangkali mereka sudah tahu apa yang terjadi.

Kacamata gadis itu berembun. Maka saat ia sudah sampai teras licin indekos, cepat-cepat melepas kacamata lalu melengos ke ruang utama. Ia menjatuhkan kardus ketika tangannya tak mampu mengangkat beban tak seberapa itu. Seketika kepalanya pusing seperti habis diputar-putar jutaan kali lalu dijatuhkan begitu saja.

Gadis itu tidak ingat apa yang terjadi pada dirinya. Ia hanya ingat ketika seluruh benda yang ia lihat berputar tak karuan diikuti rasa sakit menjalar ke seluruh raga.

Ia ambruk. Setelah ia mengira bahwa raganya selama ini telah kuat setelah menghadapi semua kesendirian selama delapan tahun.

Darah bercampur air dari baju basah mengotori lantai.

Samar-samar mata Gadis itu terbuka. Manik coklat tua menatap silau langit hampir membuat mata coklat itu menyipit. Sudah berapa lama ia terbaring dibawah langit indah di atasnya? Herannya bertambah ketika merasakan pasir lembut menyentuh kulit.

"Tari, Tari, kamu sudah bangun?" Dahinya berkerut mendengar suara yang lama sekali tak ia dengar, memanggil nama panggilan masa kecil. "Aku tahu apa yang terjadi pada kita, setelah aku berpikir lama, aku ingat kita sedang berlibur sebelum ombak besar menghantam kita." Anak laki-laki kecil itu berdiri sedikit membungkuk menatap si gadis.

Gadis itu menyadari, ia sedang berada di kejadian belasan tahun lalu. Kejadian yang meluluh lantakkan kehidupannya dalam seketika. Mata buram itu menatap Than-kembarannya. "Kamu lihat dimana kacamataku?"

Itu yang ditanyakan Mint pertama kali.

"Laut mengambil semuanya dari kita! Kacamatamu, ultramanku, piano mini Lint, bahkan orang tua kita di ambil si biru itu!" Nada bicara Than terdengar berapi-api, matanya menatap Si Biru mengisyaratkan kekesalan.

Lint-kembaran Mint- merintih. Sejak tadi ia mendengar ucapan Than. Cowok itu hanya memperhatikan benda yang tak penting. Tidakkah ia lihat dirinya terluka. "Than, kakiku sakit. Aku gak bisa berdiri!"

"Jangan banyak bergerak Lint, kakimu bisa bengkok nanti." Ucapan Than membuat gadis kurus itu menangis. Tangisannya berhasil membuat seorang warga mendatangi mereka.

Mint itu tertawa, melihat Lint mengutuk Than. Mata Mint menyipit kesilauan ketika cahaya terang menimpa manik coklat tua yang perlahan terbuka sepenuhnya.

Revisit Memories (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang