23

14 8 0
                                    

Wishlist Keempat; Ke Rumah Teduh.

Sudah hari ke tiga Mint dirawat. Hasil laboratorium pengecekan darah Mint sudah keluar.  Hati Kanta tidak tenang, saat seorang suster memintanya menemui dokter di ruangannya.

Jantungnya berdebar saat memasuki ruangan bercat putih itu. Dokter itu seorang wanita berhijab. Dia tersenyum seakan ingin menenangkan. Meski tidak berefek sama sekali, Kanta tetap cemas.

Arina, nama yang tercantum di name cardnya. "Silakan duduk dulu."

Setelah posisi mereka saling berhadapan, ekspresi wajah Dokter Arina berubah sendu. Bahkan sebelum memulai pembicaraan, dia menarik napas panjang, pertanda dia menyampaikan sesuatu yang berat. "Begini Pak—"

"Panggil saya, Kanta saja Bu."

"Begini Kanta, hasil pemeriksaan Mentari sudah keluar, dan hasilnya Mentari positif tertular virus HIV."

Untuk sejenak Kanta merasa dunianya berhenti. Kanta bertanya memastikan yang didengarnya benar. "Apa maksudnya, Dok. Bagaimana mungkin?"

"Sebelum Mint diambil sampel darahnya, karena melihat Mint punya herpes di mulutnya, juga beberapa sariawan di lidah. Hasilnya dia positif HIV."

Seperti ada yang menerjangnya dari penjuru arah, Kanta tak mampu berkata-kata. Dadanya sesak.

"Mentari gadis berusia 25 tahun. Ada banyak kemungkinan dari mana dia mendapatkan virus itu. Dari orangtuanya, tapi itu tidak mungkin mengingat dia sudah hidup sendirian belasan tahun. Hubungan seks, dia bisa tertular dari sana, apa kamu pernah melakukannya bersama Mentari?"

"Tidak. Dia tidak mungkin melakukan hal seperti itu." Kanta percaya Mint tidak akan berbuat sebodoh itu.

"Dugaan terakhir, Mentari tertular dari darah transfusi."

Bagaimana mungkin? Bukankah semua darah yang disalurkan PMI sudah dilakukan cek laboratorium. Maka dari itu, dokter meminta setelah Mint pulang, dia harus menemui dokter yang biasa menanganinya. Menghubungi PMI untuk menanyakan hal ini.

Dokter Arina mengatakan, kemungkinan bisa saja virus itu dibawa oleh mendonor, meski kemungkinannya sangat kecil, kurang dari 2%.

Kanta menarik napas, meyakinkan dirinya. Pendonor darah itu tidak ada yang berniat mencelakai Mint, baik pendonor maupun pihak PMI. Mereka berniat menolong orang dengan darahnya.

Kanta keluar dari ruangan itu, menggenggam kertas hasil pemeriksaan, terjadi pergulatan batin. Ini sudah takdir Tuhan, tapi kenapa Tuhan memilih Mint untuk merasakan takdir yang menyedihkan ini? Kenapa justru Mint termasuk 2% kemungkinan tertular? Kenapa? Kenapa gadis malang yang sebatang kara itu? Tuhan, kenapa harus menambah penderitaannya? Tidak puaskah Tuhan mengambil orang tuanya, saudaranya?

Kanta mengusap wajah, mengusap air mata, agar Mint tidak melihatnya seperti ini.

"Gimana hasilnya?" tanya Mint pada Kanta, dia sedari tadi menunggu di depan ruang operasi, menemani Chika.

Kanta tersenyum. "Aku pengen ke atap, kata dokter di sana ada kebun bunga."

Mint mengangguk, sebelum itu dia sempat bertos ria dengan Chika.

Sampai ke rooftop, keadaan lumayan ramai, orang-orang yang menggeret infus bersantai di rooftop yang diubah menjadi taman kecil ini. Mereka duduk di di kursi panjang yang kosong.

Mint menatap langit, biru berawan tipis. Dulu di panti asuhan dia suka sekali bermain di atas rooftop. Ibu Lila sudah sering memarahi mereka kerena khawatir rooftop berbahaya. Mint dan teman-teman tetap naik ke rooftop diam-diam.

Mint berbalik, menatap gedung-gedung di bawahnya. Di matanya, dia melihat Cindy berdiri di depannya. Mint baru ingat, Cindy dibawa ke rumah sakit ini setelah jatuh. Mint yang menghubungi rumah sakit.

"Mint, kamu itu pembunuh." Cindy berkata padanya. Kemudian menjatuhkan diri. Mint menatap ke bawah, jantungnya berdebar, tangannya berkeringat.

"Cindy!"

Kanta menghampiri Mint. "Cindy? Kenapa dengan Cindy?

"Dia lompat ke bawah!"

"Gak ada Cindy, dia sudah meninggal bertahun-tahun lalu."

Mint baru tersadar. Semakin lama, dia semakin sering berhalusinasi. Dia memegang kening. "Kanta, kurasa aku membunuhnya. Aku benar-benar membunuhnya. Aku yang—"

Kecupan ringan mendarat di bibir Mint. Membuat gadis itu memelotot, kemudian menampar pipi Kanta. "Sialan!"

"Maaf. Aku...."

"Sudahlah. Aku capek. Ayo pulang saja." Mint berbalik.

"Kamu harus melihat hasil pemeriksaannya dulu." Kanta menyodorkan amplop. Mint membuka amplop itu, membacanya lekat-lekat.

"Aku... HIV?"

"Dokter punya dugaan, virus itu terbawa dari darah pendonor."

Sudah tidak ada harapan. HIV itu belum ada obat yang bisa menyembuhkan, berjuang tanpa senjata adalah satu-satunya. Mint terbatuk-batuk.

"Begitu ya? Kita harus pulang sekarang." Mint terlihat tegar. Masih sempat bercanda tawa dalam perjalanan ke rumah Lint.

Ibu Lint tertidur di kamarnya, Lint menyuruh Dewi menjaga Ibu selama dia pergi ke panti asuhan.

Mereka naik mobil, bertiga. Saling diam. Kanta terlalu canggung memulai pembicaraan. Ternyata friendzone tidak sesederhana cerita dalam novel, yang seringkali berakhir happy ending. Mint juga bekelut dalam pikirannya sendiri, mencari arti debaran di dadanya ini. Efek penyakitnya atau hal lain?

Hal...

Lain?

Entahlah.

Mereka sampai setelah dua puluh menit. Gedung tiga lantai di depannya terlihat sederhana. Berantakan, banyak daun kering di halaman yang tidak sempat tersapu. Hal yang pertama kali Mint lihat saat memasuki ruangan utama, Bu Riska sedang duduk di kursi empuk sambil merajut. Sekarang, Bu Riska berkacamata. Lantas Mint berlari memeluknya.

Bu Riska terkejut, menaruh rajutannya ke meja.

Lint ikut memeluknya. "Kami kangen Ibu."

"Maaf baru berkunjung, apa kabar Ibu?"

Ibu Riska baru ingat siapa dua gadis ini. "Mint sama Lint, ya?"

Seharian mereka habiskan di rumah teduh. Merapikan rumah, membantu memasak, bermain bersama anak-anak. Mereka bertemu dengan Icha dan Rika. Mereka tumbuh di sini. Anak kedokteran pula, selalu memeriksa kesehatan semua anak-anak panti asuhan. Mint melupakan semua kenangan buruk untuk sehari.

Mint menangis ketika Bu Lila meminta maaf padanya karena dulu sering dimarahi. Mint tidak pernah dendam. Sepertinya ingatan buruk Bu Lila juga dihapus. Bu Lila bernostalgia kenangan baik masa lalu.

Lint berdonasi. Ibu Panti sangat bersyukur. Kenangan saat berkunjung, dilukiskan Mint sampai pulang kembali ke indekos.

Lint ikut ke Jakarta bersama Mint.

Revisit Memories (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang