21

11 8 0
                                    

Wishlist Ketiga: Ke rooftop liat langit .

"Mint ingin makan sushi." Jenika berkata sambil duduk di ujung kasur Kanta.

Kanta menoleh. "Jangan main masuk lah!" ketusnya.

"Seharusnya kamu berterima kasih." Jenika menghilang. Itu beberapa jam lalu sebelum Kanta mengajak Mint jalan-jalan dan berakhir pernyataan mengenai perasaan itu terjadi. Mint memeluknya, yang Kanta tahu bukan sebagai pria, namun adik laki-laki. Masih di dadanya, Kanta merasakan ada cairan yang menembus kameja. Darah.

Suara Isak itu tak terdengar lagi, Mint perlahan melepaskan pelukannya, tangan Kanta berhasil menangkap sebelum gadis itu jatuh ke lantai. Kanta cepat-cepat menelpon ambulans.

Kanta menggendong Mint dengan susah payah, menuruni tangga, melewati tangga kaca, menunggu ambulans datang. Darah dari hidung, sudah sukses membasahi seluruh lengannya. Kanta merasa bersalah, seharusnya dia tidak perlu berkata begitu.

Hatinya sakit mendengar kalimat penolakan secara halus dari Mint, tapi hatinya lebih sakit melihat dia terkulai lemas. Masuk rumah sakit, dipasang selang, diambil sampel dari tulang sumsumnya dengan jarum besar. Terasa menyakitkan.

Setelah beberapa saat di ruang IGD, Mint dipindahkan ke ruangan lain. Ruang hematologi di rumah sakit ini ramai. Penuh dengan anak-anak yang kebanyakan dari mereka menderita thalasemia, penyakit yang mirip-mirip dengan anemia aplastik. Bedanya pada thalasemia, pabrik darah normal, yang bermasalah hanya cetakan hemoglobinnya hingga keping darah mudah pecah, jadi yang perlu ditranfusi sel darah merah. Sedangkan anemia aplastik; pansitoponia, hemoglobin, leukosit, dan trombosit semua drop. Tidak bisa diproduksi.

Kanta masih menunggu Mint.

Handphone Mint berdering, nama Binar muncul di sana. Kanta mengangkat video call itu.

"Halo, Mint! Eh, kok, Kanta sih?" Wajah Binar muncul.

Kanta menyorot wajah Mint yang masih terbaring di ranjang. "Lagi transfusi."

"Yaampun, kamu diapain Kanta sampai pucet gitu?" tanya Binar khawatir.

"Menurutmu?" pertanyaan Kanta terkesan ambigu.

"Aku cakar wajahmu kalau Mint sampai kenapa-kenapa, dia sudah ketemu saudaranya? Nanti kalau Mint sudah bangun jangan lupa suruh telepon lagi ya."

"Dia sudah ketemu dari dua hari lalu. Ya." Kanta langsung mematikan telepon tanpa berpamitan. Menaruh benda gepeng itu kembali.

Bosan juga. Dia mau pergi ke hotel untuk mengganti pakaian yang sudah penuh darah, tapi rumah sakit ini sungguh berbeda dari rumah sakit yang di Jakarta. Belum hapal suasana di sini. Kalau di sana bisa saja meminta tolong suster menjaganya sebentar. Melempar pandang ke ruang balok ber cat putih gading, ada delapan ranjang yang banyakan diisi anak-anak.

Salah satu anak perempuan menggeret infusnya, membagi-bagikan setangkai bunga mawar putih kepada seluruh pasien di ruangan ini.

Kemudian anak perempuan berkuncir kuda  itu menghampiri Mint. Di tangan yang tertancap selang infus, dia menggenggam bunga mawar putih, sepertinya sejauh apapun Kanta pergi, mawar putih selalu mengikuti. Anak perempuan itu ikut menatap Mint, menaruh mawar putih di bantal, dekat rambut Mint. "Semoga Kakak cepat sembuh."

"Kenapa kamu memberinya bunga?" Kanta bertanya sambil menundukkan wajah, menyamai tinggi anak perempuan itu.

Anak perempuan itu tersenyum semringah. "Ibuku yang menyuruhku untuk membagikan ini. Aku akan operasi besok, aku harap dengan ini, dengan senyum orang-orang yang menyemangati, operasi akan berjalan lancar."

Kanta menarik senyum, menatap Mint. "Dia pasti senang dan mendoakan kelancaran operasimu. Pasti kamu akan sembuh!"

Anak perempuan itu kembali ke ranjangnya yang ternyata berada di sebelah Mint. Kanta berpikir meninggalkan dia sebentar tidak apa-apa, lagipula tidak mungkin kamejanya dibiarkan lengket-lengket kena darah.

"Ibumu kemana?" tanya Kanta menghadap anak perempuan yang sedang asik menonton YouTub.

"Sedang bekerja, biasanya pulang sore."

"Eh," anak perempuan itu mandiri sekali. "Namamu siapa?"

Sepintas Kanta seperti hendak menculik anak perempuan itu.

"Chika." Pandangannya tak beralih sedikitpun.

"Chika, boleh jaga dia sebentar? Kalau dia bangun, bilang kalau Kakak pergi ganti baju sebentar." Chika memberi tanggapan berupa anggukan. Video YouTub lebih menarik perhatiannya.

Kanta pergi, lupa menelpon Lint.

Kanta mandi tergesa-gesa, mengambil sekantung stroberi, kemudian bergegas ke rumah sakit, tapi kakaknya menelpon ketika dia sampai di depan lobi.

"Kenapaa?"

"Mint mana?" tanya Hanna membuat Kanta membuang napas panjang, berjalan di lorong rumah sakit.

"Lagi sakit."

"Kamu apain?!"

"Hah? HB sama TBnya renda, dia pingsan."

"Oh, semoga cepat sembuh. Bilang ke Mint okey?"

"Ya."

"Jangan lupa hutangmu, kertas polaroidnya, harus ada saat kamu pulang."

Sebenarnya adiknya itu Mint atau Kanta sih? "Kakak gak tanya apa-apa lagi?"

"Tidak, kurasa tidak ada yang terlupakan."

Sial.

Lint duduk di sebelah ranjang Mint. Dia menunduk hingga rambut pirang panjangnya menutupi wajah. Kanta menaruh plastik berisi stroberi, menatapnya bingung.

"Kenapa kamu meninggalkannya sendirian?!" geram Lint menatap Kanta, matanya memerah, berkaca.

Kanta mengerutkan dahi, tidak mengerti. Apa maksudnya? Dia hanya meninggalkannya sepuluh menit. Apa yang terjadi selama sepuluh menit itu?

"Kamu gak becus jaga dia!" Lint berdiri menghadap Kanta.

Kanta memegang kepala, tidak mengerti, tak bisakah Lint langsung ke intinya saja. "Apa maksudmu? Bukankah yang meninggalkan dia sendirian adalah kamu, tujuh belas tahun, dia selalu berharap—" Kanta menghentikan kalimatnya, takut melukai Lint. "Maaf, aku memang tidak bisa selalu menjaganya. Aku tidak becus. Yah kamu benar."

Lint terduduk lagi, dia lebih emosional semenjak ibunya sakit. Desah napasnya terasa berat.

Ujung baju Kanta ditarik Chika. Kanta menunduk, Chika berbisik, "Tadi, Kakak Mint menangis, kayak orang ketakutan. Terus aku telpon nomor yang paling atas (karena baru disimpan) begitu."

Kanta mengangguk. "Terimakasih banyak sudah jaga Kakak Mint, ya."

"Okey!"

"Maaf, tadi aku tidak sengaja mengatakan itu...," ucap Kanta pada Lint.

Lint berdiri. "Kurasa, aku terlalu emosional. Maaf. Aku juga harus merawat Ibuku. Mint sudah baik-baik saja, dia tidur nyenyak sekarang."

Kenapa, kenapa, di sekitar hidup Lint, banyak penderitaan? Kenapa? Tidak cukupkah ayah meninggal, ibu demensia, dan kakak sakit-sakitan. Itu yang membuat Lint terlalu memperhatikan orang-orang daripada kesehatan dirinya yang tidak baik-baik saja.

"Lint," panggil Kanta ketika Lint sudah berjarak lima belas meter darinya. "Kamu harus kuat."

"Kamu mau tahu apa keinginan Mint?" Jenika duduk di pinggir ranjang Mint, menatap Kanta yang duduk di kursi.

"Dia ingin melihat langit dari rooftop."

Permintaan macam apa itu?

"Dulu, kami pernah bermain diatas rooftop panti asuhan sebelum dibangun lantai tiga. Rooftop itu, kami bangun kemah-kemahan agar gak gosong kena sinar matahari. Begitulah."

Revisit Memories (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang