18

11 9 0
                                    

Benang bewarna putih pucat itu saling mengikat, mengendur, dan berputar-putar. Salah satu benang melepaskan diri. Menguap.

"Kalau anak kita lahir, mau diberi nama siapa?" Lian bertanya pada Jenika sembari duduk di kursi, menatap televisi.

"Aku sudah menyiapkannya. Jessica Ralyan." Jenika menjawab dengan bahasa isyarat. Dia bisa mendengar sedikit suara dengan alat bantu dengar, tapi suaranya tetap terdengar aneh.

"Mirip namamu."

Jenika mengelus perut besarnya. Menatap Lian. "Biar kamu inget aku terus. Ralyan, berunsur namamu juga."

"Tidak ada alasan untuk melupakanmu."

Kali ini, Jenika berbicara.

"Nhanhi, uathu hahli khamu hawrus meupakhankhu. Thaphi ahu gahk mhau diupakhan. Khau hwauus mehikah lhai, hke?(¹)" Lian tersentak, apa-apaan maksud kata-katanya? Jenika tidak peduli dengan reaksi Lian. Dia merasa pusing berat. Ini sering terjadi, tapi bukan sekedar pusing biasa. Dia mengalami preeklamsia. Hipertensi saat kehamilan. Kondisi sangat berbahaya. Lian segera membawanya ke rumah sakit.

Kulitnya pucat, mata memburam, nyeri yang luar biasa pada perut bagian atas, dan tulang rusuk. Jenika mengepalkan tangan hingga kuku-kukunya menggores telapak. Menggigit bibir bawahnya hingga berdarah. Perih, tapi tak sebanding dengan rasa sakit di seluruh tubuhnya.

Keadaan darurat, dokter memasang alat-alat. Di bawah alam sadarnya, Jenika merasa seperti sedang terbang bebas. Tubuhnya ringan. Jenika harus melahirkan sekarang, meski kandungannya baru berumur tujuh bulan.

"Kalau aku diberi kesempatan untuk bisa melihat dunia ini lagi, aku ingin memeluk anakku walau hanya lima menit. Aku ingin melihatnya tumbuh menjadi gadis yang selalu bergembira."

Tepat bayi Jessica menangis, tangis Lian juga pecah. Jenika tidak terselamatkan.

"Jenika! Jen... Jenika...." Lian terisak. Dadanya naik-turun, tak beraturan. Berteriak parau. Berharap istrinya itu mendengar suaranya. "Jenika...."

Jenika, perempuan tuli yang sangat beharga bagi kehidupan Liam. Kini sudah tertidur selamanya. Di musim hujan yang sejuk.

"Ternyata dunia itu tidak sunyi ya?"

(¹)"Nanti, suatu hari nanti kamu harus melupakanku. Tapi aku tidak mau dilupakan. Kamu harus menikah lagi, oke?"

Mint bangun dengan keadaan keringat bercucuran. Dia membuka jendela, membiarkan udara pagi ini mengeringkan keringatnya.

Dia baru ingat, Jenika adalah sahabatnya yang tuli.

Alamat yang diberikan Jenika tepat sampai depan rumah putih besar milik Lint. Mint mendengak, keluarga Lint benar-benar orang kaya.

"Kamu harus memencet belnya." Kanta menunjuk bel yang tertempel di salah satu dinding.

Semarang menunjukkan wajah terbaiknya meski jalan lembab karena hujan kemarin. Ada perasaan senang sekaligus khawatir. Kanta jengah, dia memilih memencet bel itu cepat-cepat. Membuat Mint menatapnya tajam.

"Kenapa kamu yang pencet?" gerutu Mint. "Aku lagi ngumpulin keberanian."

"Kelamaan."

"Selamat pagi Nona, Tuan. Siapanya mendiang Bapak?" Dia pembantu rumah itu, menatap Mint dan Kanta dari bawah. Berpakaian kaos biasa, bukan gaun hitam-hitam. Siapa?

Mint menatap perempuan lumayan muda dan tinggi, dia mendengak, tapi kalimat 'mendiang' membuatnya bergeming.

"Maaf, dia Mint, saudari kembar Lint. Kami mau bertemu dengan Lint... Apa dia si sini?"

Pembantu itu tampak terkejut, tidak menyangka sosok kembaran yang pernah diceritakan Lint benar-benar ada. Dia mengajak Mint dan Kanta ke parkiran mobil di sebelah rumah itu, mengajak bicara. Karena di rumah itu banyak tamu untuk melayat.

Di garasi mobil besar itu, berisi tujuh mobil. Berwarna-warni, tapi berdebu. Seperti tak terawat.

"Tunjukan KTP-mu," kata perempuan itu.

"Hah, buat apa?"

"Ada banyak penipu akhir-akhir ini."

Mint pasrah, menunjukan KTP yang tertulis jelas namanya. Mentari Senja.

Pembantu itu tersenyum, mengembalikan KTP itu. "Saya Dewi."

"Saya Mint, dia Kanta." Dewi mengangguk.

"Kemarin, Bapak angkat Lint meninggal."

Mint terkejut tentu saja.

"Lint baru pulang dua hari lalu, dia menangis tak karuan di kamarnya. Ibu angkat Lint, menderita demensia sejak anak kandungnya meninggal."

Ya Tuhan. Apa penderitaan Lint selama ini? Senyum lebar yang ia lukis di sampul majalah hanya kepalsuan. "Saya menyarankan untuk datang nanti sore. Saat tamu-tamu sudah pulang."

Daritadi Dewi tidak melihat Mint sebagai tamu. Mau tidak mau, Mint menurutinya, siapa juga yang datang ke rumah duka dengan celana kuning mencolok?

"Kami akan datang lagi. Tolong sampaikan pada Lint, supaya dia tidak kaget."

Revisit Memories (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang