13

13 10 2
                                    

Kamar 6×6M² itu sepi. Tak ada lagi yang duduk di kursi sambil mengoreksi buku-buku. Selera Ghisa estetik minta ampun, spreinya bermotif kotak-kotak bewarna kuning muda dan gorden bewarna senada.

Mint duduk di kursi. Melihat-lihat buku majalah bulanan langganan Ghisa. Ada satu majalah yang mencolok, semua majalah bertema sama, berita-berita dan kisah inspiratif, tapi ada satu majalah fashion.

Tangannya menarik majalah itu dari tumpukan buku. Mengamati lekat-lekat model perempuan di sampul.

'Mix Match Dengan Jeans ala Laura yang kekinian.'

'Lima Ide Fashion Korea?'

'Top5 parfum yang selalu dipakai Laura?"

Begitu kalimat di sampul, dengan model berambut pirang sebagai model utama majalah ini.

"Lint?"

Mint seharusnya tidak salah lihat. Dia menatap kaca, membandingkan gadis di sampul majalah dengan wajah kuningnya.

Mirip! 100% Mint yakin kalau gadis bernama Laura ini adalah Lint. Kembarannya.

Dia membawa majalah itu ke kamar. Setelah menutup kamar Ghisa.

Mint mengamati satu-satu halaman majalah itu. Ternyata Ghisa punya selera fashion yang bagus, Mint baru menyadari itu. Matanya memastikan gadis itu sungguh-sungguh Lint, bukan karena salah lihat.

"Dia kurus sekali. Tinggi menjulang."

Tak terasa halaman majalah itu habis. Hampir jam dua belas malam dia tidak mengantuk sama sekali.

Dia teringat dengan Jenika.

Memikirkan ingatan yang beberapa jam lalu muncul. Ketika Jenika menepuk pundaknya, di situ dia tidak ingat apa-apa. Sama seperti di restoran ayam goreng tempo lalu bersama Jenika. Jenika juga menepuk pundaknya kemudian dia pingsan. Sayangnya ingatan dia utuh. Jenika bertindak ceroboh, dia tidak bisa menghapus ingatan baik.

Urban legend yang diceritakan Kanta benar-benar nyata.

Apa tujuan Jenika melakukan itu padanya? Jenika itu apa?

Bagaimana cara agar ingatan lainnya muncul?

Pintu kamar diketuk tiga kali, Mint buka pintu dengan malas. Muncul Binar sambil memeluk guling.

"Aku... nginep di kamar dulu ya, aku takut banget," mohonnya sambil terus memeluk guling.

Mint menanggapi dengan malas. "Sama Hesti saja."

Binar menggeleng. "Dia kan lagi di Bandung, ada kerjaan. Kamu lupa?"

Menepuk dahi. Bagaimana bisa dia melupakan itu. "Takut kenapa sih, kan gak ada apa-apa."

"Justru karena gak ada apa-apa, aku jadi takut. Kamar Hesti yang biasanya berisik karena main gitar jadi sunyi beberapa hari. Terus kamar Ghisa... akan terus sepi...." Intonasi Binar merendah.

Akhirnya si empunya kamar membolehkan. Sekonyong-konyong Binar melempar diri di kasur nomor 3 itu dengan keras hingga spreinya langsung berantakan.

"Kita bakalan tidur berdua di kasur dempetan gini?" Mint bergidik geli membayangkannya.

"Sempit dikit doang, aku sering nginep sama Hesti, dia gak pernah protes."

Akhirnya Mint menyerah, tak apalah hanya sehari ini saja. Ia mematikan lampu.

"Jangan dimatiin!" Binar memeluk guling lebih erat.

Mint mendengkus kesal. Sekte sesat mana yang tidur dengan lampu nyala?

"Silau, sialan!" sunguk Mint. Menghadapi penakut sungguh merepotkan, apalagi suasana hatinya sedang tidak baik.

Menghadapi Binar yang tidak bisa tidur, akhirnya Mint mengalah. Dia menyalakan lampu, tiduran di sebelah Binar.

Revisit Memories (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang