29

14 10 0
                                    

Teruntuk Kanta Demian.

Terlalu aneh sekaligus kuno menulis surat untuk kamu, padahal hampir setiap hari bertemu, dan aku bisa dengan leluasa bicara padamu kapanpun. Tapi kali ini berbeda. Besok-besoknya lagi kamu tidak akan bertemu kembali denganku.

Terserah kamu mau mengataiku apa, karena dapat dipastikan kalau kamu membaca surat ini, aku sudah tiada.

Surat wasiat?

Hahaha, bisa dikatakan begitu mungkin?

Kalimat pertama yang aku tulis adalah: maaf. Maaf aku selalu merepotkanmu.

Maaf aku tidak bisa menyelesaikan membaca novel karanganmu. Mataku tidak bisa melihat huruf-huruf di buku. Saat aku menulis ini, tulisannya seakan bergerak-gerak. Maaf kalau kamu jadi kesulitan saat membacanya.

Aku sangat-sangat berterima kasih padamu. Tidak bisa dibayangkan bagaimana aku kalau kau tidak ada, mungkin aku mati lebih cepat.

Sejak SMA aku menyukaimu. Aku selalu berpikir bagaimana cara agar aku selalu melihatmu dengan jelas. Setiap hari. Setiap saat, setiap aku membuka mata.

Aku pernah berdebat dalam hati saat membungkus nasi kuning, kenapa aku bisa menyukaimu? Kamu tidak terlalu mencolok, hanya anak laki-laki keras kepala. Bermain game seharian. Bahkan kadar ketampanannya juga tidak lebih dari 80%

Aku pernah dalam posisi bosan hidup. Sepanjang hari hanya bekerja, makan, tidur. Tidak ada keluarga yang menyambut saat pulang, tidak ada keluarga yang mendukung ketika aku sedang berjuang. Sebenarnya aku berjuang untuk apa? Kenapa aku mati-matian minum obat tiga kali sehari? Untuk apa sebenarnya aku rutin transfusi trombosit, hemoglobin, leukosit dan segala tetek bengek isi sum-sum tulang belakangku?

Untuk apa sebenarnya?

Bukankah lebih mudah ketika hari itu aku menyerah saja? Berhenti minum obat, berhenti transfusi, berhenti masuk ke rumah sakit dan membiarkan penyakitku menyebar dan membunuhku perlahan-lahan.

Lalu cerita ini usai tanpa perjuangan apapun.

Semua alasanku ada di kamu. Setiap aku di rumah sakit, aku selalu ingin cepat-cepat keluar. Setiap membuka mata aku tak henti-hentinya bersyukur karena Tuhan masih memberiku kesempatan melihat kamu.

Aku memiliki dosa besar yang membuatku selalu merasa bersalah. Sampai aku berpikir, jika saja aku tidak bertemu Nina waktu itu, apa aku tidak akan merasa seperti ini?

Ketika aku melihatmu aku merasa aku memiliki semangat untuk hidup. Saat dokter memvonis umurku, aku selalu ingin melakukan semua hal yang tidak pernah ku lakukan, makan sebanyak-banyaknya tanpa peduli apapun, setidaknya aku tidak menyesali apapun ketika aku mati.

Lint, Than, bahkan Papa sudah kembali. Itu semua berkat bantuanmu. Kamu seakan berkata tidak ada yang mustahil jika kit berusaha. Padahal aku selalu merasa mustahil memiliki foto keluarga seperti di rumahmu.

Mengenai wishlist itu, kamu berhasil membantuku mewujudkan semuanya. Aku sangat bahagia.

Aku ingin diingat sebagai kenangan baik.

Dari aku yang mencintaimu.

30 Desember 2022
Mentari Senja

Revisit Memories (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang