2

45 21 3
                                    

Menatap pemandangan yang terus berganti dari balik kaca bus yang gadis berambut panjang itu tumpangi. Kacamata yang melorot ia betulkan. Setelahnya pemandangan dari sana berganti menjadi kilas balik kehidupannya sebelum ia terjebak di kota super padat ini.

"Aw!" Lint mengaduh kencang ketika bola kulit yang keras mengenai kaki kanan nya yang masih diperban tebal. Mint, Than dan Bu Lila yang berada di sampingnya menatap sang pelaku.

Gadis remaja itu terpaut tujuh tahun lebih tua dari Mint, ia tersenyum semringah seakan baru turun hujan ditengah musim kemarau. Ia segera berlari menghampiri si kembar tiga itu dan menatap nya lekat-lekat.

"Inikah yang diceritakan Bu Lila?" Gadis bernama Jenika itu menatap Bu Lila, wanita pengurus Rumah Teduh–panti asuhan yang akan menjadi rumah baru bagi Mint dan saudaranya.

Mint bukan satu-satunya korban selamat karamnya kapal feri tempo lalu. Tapi Mint satu-satunya anak kecil yang tidak punya keluarga dari orangtua yang mau mengurusnya.

Mengenaskan memang. Bahkan rumah sederhana tempat tinggalnya dulu sekarang bukan lagi miliknya. Ayah mereka diam-diam menjadikan rumah itu sebagai jaminan bank, dengan dalih uang ratusan juta rupiah itu ingin ayah bangun perusahaan sendiri. Omong kosong.

Bu Lila mengangguk. "Yang rambutnya pendek, namanya Lint. Kalau yang pakai kacamata itu Mint dan anak laki-laki ini, Than. Mulai hari ini, mereka jadi adikmu, Jenika."

Ada binar di mata Jenika. Mengabaikan ekspresi kesakitan Lint. "Halo! Aku Jeni Karina alias Jenika!"

"H-hai," jawab Mint ragu-ragu sementara Lint dan Than hanya diam.

Kesan pertama yang diberikan si kembar tiga itu adalah Jenika sangat cerewet dan berisik untuk orang yang baru pertama kali bertemu. Sepanjang jalan memasuki rumah kuning lantai dua dengan 12 kamar itu diisi dengan pembahasan Jenika yang muter-muter tak karuan.

Ketika menaiki tangga misalnya, Jenika bercerita dia pernah tersandung di tangga ini. Mint tidak tahu bagaimana menanggapi Jenika yang tampak tidak tahu pendengarnya sama sekali tidak antusias.

Bu Lila membuka pintu kamar yang tergantung angka 8 dengan spidol. Di dalam kamar itu ada dua anak perempuan yang umurnya sama dengan Mint.

Mint berfikir mereka berdua bisa akrab menjadi temannya. Tapi ternyata mereka tidak menyukai kehadiran Mint dan Lint.

Than tinggal di kamar berangka ganjil. Kamar anak laki-laki ganjil dan perempuan genap. Kamar Than tepat di sebelah kamar Mint dan Lint.

Mint dan Lint tidak terlalu nyaman dengan kamarnya. Bukan karena kamar ini tidak sesuai dengan keinginan, lagipula kamar 4×4 meter itu cukup besar untuk empat anak kecil, ada 3 kasur tingkat hanya 2 yang terpakai. 2 kipas angin besar, meja tatami kecil sebelah tempat tidur. Juga kamar ini sangat bersih. Alasan utama Mint dan Lint tidak nyaman yaitu dua anak perempuan bernama Icha dan Rika yang tidak pernah menyapanya sama sekali.

Jangankan menyapa, menatapnya saja hampir tidak pernah. Sekalinya melihat kearah Mint, tatapannya menakutkan. Seperti mendelik sekaligus ketakutan. Icha dan Rika merupakan saudara sepupuan, kata Jenika. Mereka berdua hampir tidak pernah keluar kamar dan selalu ketakutan dengan orang asing.

Jadilah Mint dan Lint hanya pergi ke kamar ketika akan tidur saja. Sisanya dihabiskan untuk bermain dengan Jenika dan para bayi menggemaskan di kamar satu yang lebih luas juga ber AC.

Jenika menghela napas. Merebahkan tubuhnya di atas sofa coklat di pojok kamar ber cat kuning sambil sesekali memainkan rambut panjang sedikit kecoklatan. Wajahnya terlampau cantik, dengan bentuk simetris beralis tebal, hidung mancung dan bibir tipis. Seperti orang yang hidup di wilayah barat.

Panti asuhan ini terlalu kontras dengan kecantikan Jenika, dengan tubuh tinggi dan wajah cantiknya Jenika seharusnya gadis itu mondar-mandir di layar kaca, jadi pemeran utama. Bukan terjebak di panti asuhan sederhana ini.

Ada ide terlintas di kepala Jenika, ia harusnya mengajak si member baru melihat-lihat peternakan milik om Didit. Mint dan Lint merasa antusias tentunya. Kecuali Than. Than menolak ajakan Jenika dan lanjut bermain robot dengan seorang teman baru. Lalu Jenika membawa Mint dan Lint berjalan melewati bukit berumput di belakang rumah teduh.

"Sebentar lagi sampai kok. Aku pernah menghitung jumlah langkah kaki dari rumah sampai peternakan. Hanya butuh 76 langkah buat sampai." Jenika tersenyum, begitu juga Mint. Pemandangan di sekitarnya teduh karena banyak pohon jati dan mahoni di sekitarnya.

Mint mulai merasa penglihatannya memburam. Seakan benda di sekitarnya berputar-putar tak karuan. Lalu hidung Mint mengeluarkan banyak darah. Jenika yang melihat Mint mencengkram rambutnya dan darah di hidung Mint, langsung bergegas menghampiri.

"Mint, ada apa?" Jenika berhasil menangkap Mint sebelum kepalanya membentur tanah.

Hari itu, sampai hari ini penyakit anemia aplastik masih diderita Mint. "Mbak, hidungmu berdarah." Seorang perempuan duduk di sebelah Mint. Mint tersadar dari lamuan lalu menoleh kearahnya. "Aku ada tisu Mbak."

Mint mengambil tisu di tangan perempuan itu. Ia agak risi ketika perempuan itu menatapnya lekat-lekat seperti berusaha mengingat sesuatu, barangkali Mint tampak familier baginya.

Perempuan itu tersenyum. "Mint, kau kah itu? Ternyata aku benar, kamu tampak tidak asing. Rupanya si pembunuh sekolah kita masih hidup."

Tentu saja Mint terkejut dengan kata 'pembunuh' yang disematkan padanya. "Maksud anda apa ya? Anda siapa?"

"Mari berhenti di halte selanjutnya dan bicara di cafe."

Mint menggeleng. Bahkan dia belum tahu nama dan siapa perempuan berpakaian formal di sebelahnya ini, tapi ia sudah bersikap seolah mereka adalah teman lama. "Apa kita saling mengenal?"

"Kamu amnesia? Orang-orang bilang wajahku tidak berubah sejak SMP dan kamu tidak mengenaliku? Aku Nina, kita sekelas sewaktu SMP."

"Ki-ta teman sekelas?"

"Kalau kamu tidak percaya aku bisa membuktikannya. Bahkan jika kamu tidak ingat, aku akan membuatmu ingat."

Mint mau tidak mau mengikuti perempuan bernama Nina itu. Turun dari bus, berjalan beberapa meter mereka sampai di sebuah cafe.

Revisit Memories (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang