Mint terduduk di tanah. Kuburan dengan tanah liat basah, taburan bunga mawar, nisan yang tertulis nama Nina di sana. Mint baru melihat Nina hari ini tapi mengapa rasanya sudah lama sekali ia melihatnya? Apa maksud kata-katanya? Siapa Cindy? Kalau dipikir juga, ia sama sekali tidak ingat kenangan apapun di masa SMP. Mint menaruh seikat mawar putih di nisan berbahan keramik itu.
Keluarga Nina menolak untuk mengotopsi jenazah Nina. Biarkan menjadi rahasia dan takdir Tuhan katanya. Lalu Dina- ibunya Nina menatap Mint dalam seperti mengingat sesuatu. "Fotomu ada di papan tulis Nina." Akhirnya, Dina berbicara setelah lama menangis sambil berdoa.
"Nina menampung sendirian ingatan buruk tentang masa SMP nya. Bahkan dia jarang tidur karena sering mimpi buruk. Ia menangis dan menangis merasa tidak adil karena hanya dia yang digoreskan ingatan buruk tentang kalian." Ada Isak kecil di tengah ucapan Dina.
Tak terasa Mint merasa bersalah. "Maaf Bu, membiarkan Nina menanggung semua sendirian. Setelah mendapatkan ingatanku, Nina seharusnya tidak akan sendirian lagi."
Dina dan suaminya berdiri, begitu juga Mint. Lalu Dina memeluk Mint. Aroma sampo Dina tercium kuat. "Kamu harus menemui keluarga Cindy, karena keluarga itu hancur semenjak kejadian hari itu." Dina menyeka air matanya. "Saya yakin Nina sudah tidak merasakan sakit lagi. Mengembalikan ingatanmu adalah tugas kamu sekarang."
Dina melepas pelukannya lalu pulang bersama suaminya. Sementara Mint masih di posisi yang sama, menatap kuburan Nina dengan pikiran penuh tanda tanya. Apakah ingatannya akan cepat kembali sebelum ia tidak bisa mengingat lagi?
Mint berjalan keluar pemakaman. Tatapannya ia lempar ke jalan berumput hijau. Hijaunya rumput itu seketika berubah merah. Lagi-lagi Mint mimisan. Ia bergetar, dadanya sakit seperti tertindih sesuatu. Mata buramnya menatap telapak tangan yang menguning. Kepala terasa ditusuk berkali-kali.
Niat mencari tisu di tas ia urungkan, lalu mencari ponsel dan menelpon, tunggu menelpon siapa? Kakinya sudah tak bisa lagi menahan beban. Kemudian ia tersungkur di atas rumput.
"Halo, Mint? Ada apa?"
"Haloo?"
"Kamu pingsan?"
"Jangan lepas HPnya dari tanganmu. Aku ke sana sekarang."
Sayup-sayup Mint mendengar suara telepon sebelum ia benar-benar tak sadarkan diri.
Maaf aku menyusahkan lagi.
∆∆
Gerimis. Kanta tak berniat menghentikan motornya barang sejenak. Khawatir menyelimuti dirinya. Mint pasti kedinginan. Sembari mengikuti instruksi dari google maps ia melaju cepat.
Ia belok pemakaman umum. Matanya menangkap payung bermotif bunga berdiri rendah. Kanta mendekat. Seorang gadis kecil memegang payung itu, memayungi gadis tergeletak di tanah. Kanta lantas berjongkok menatap si gadis kecil. "Kamu sudah memayunginya sejak kapan? Kemana Ibumu?"
Gadis kecil itu kedinginan. Sambil menunduk menatap Mint, ia menjawab, "Ibuku di sana. Kakak tidak perlu khawatir, bawalah ia ke rumah sakit."
Kanta menggendong Mint di punggung lalu mendudukkannya ke jok motor. Kanta duduk di depannya, melilit kain panjang hingga mereka sama-sama terikat, persis seperti bapak yang menggendong anaknya di punggung. Dengan begitu Mint tidak akan terjatuh. Kemudian melaju dengan cepat, membelah hujan.
Ruang Hematologi dan Onkologi. Entah sudah berapa kali Kanta keruangan ini. Suasananya selalu sama, letak ranjang-ranjangnya, lemari kecil, nakas, jendela, aromanya, dan perempuan yang terbaring berselimut biru.
Infus berisi darah, tabung oksigen di sebelahnya. Kanta hafal semua yang ada di ruangan berukuran 8×4 M² yang diisi beberapa orang seperti Mint. Menderita menyakit darah, seperti pasien di sebelah Mint yang menderita thalasemia. Bergolongan darah sama seperti Mint. Seorang suster memberi tahu, rumah sakit tidak memiliki cukup kantung darah bergolongan O. Apalagi untuk dibagi dua dengan si pasien sebelah. "Bapak bisa mencari pendonor darah di komunitas Facebook biar cepat di tangani." Suster itu menatap penampilan Kanta dari atas sampai bawah. Kaus dengan celana pendek yang basah kuyup. "Atau mengganti pakaian dengan pakaian kering dulu."
Kanta tersenyum menanggapinya, harusnya dia kesal karena suster yang mengurus pasien sebelah memanggilnya 'bapak', tapi ah sudahlah, untuk saat ini Mint jelas jadi hal terpenting.
Kanta baru ingat handphone-nya bahkan basah terkena hujan. Untuk hari ini, ia merasa kesal pada hujan. Kanta memilih pulang ke rumah, menggunakan laptop untuk mencari kantung darah. Jika golongan darahnya O pasti Kanta tidak perlu kelimpungan ke sana kemari untuk mencari darah seperti drakula. Mint pun bebas mengambil darahnya kapanpun seperti ketika kehausan bisa dengan mudah mengambil air dari dispenser.
Setelah mandi di rumah, Kanta menyambar handphone di atas meja. Punya Kakaknya. Tak apa, paling sepulangnya hanya dimarahi kecil karena tidak izin. Memposting di grup Facebook kemudian bergegas.
"Mint sakit?" Ibu bertanya tepat ketika Kanta melangkah keluar.
"Iya, rumah sakit kekurangan darah O."
Ibu Kanta membawa food kontainer besar berisi tahu. "Bawalah untuknya." Kanta menerima dengan senyum senang. Ibu rutin memberi Mint banyak tahu setiap tranfusi darah.
Handphone di sakunya berdering.
"Halo, saya bersedia menjadi pendonor darahnya. Saya ke rumah sakit sesuai alamat ya."
"Mint sudah menemukan pendonor. Aku pergi ya Bu."
Raut senang terbit di wajah Kanta berubah kala melihat dokter keluar dari ruangan. Cemas. "Mint sudah siuman." Dokter itu sudah menjadi dokter yang merawat Mint delapan tahu terakhir. "Jam sepuluh pagi datang keruangan saya. Hari ini Mint harus berpuasa dulu agar besok pagi dilakukan BMP. "
"Apa Mint semakin membaik?" Kanta memeluk food kontainer besar. "Saya sudah menemukan pendonor untuknya."
"Hasilnya akan diketahui besok." Dokter itu berlalu meninggalkan rasa penasaran.
Kanta menaruh food kontainer besar itu di atas nakas putih. Menatap Mint. "Apa aku pembunuh?"
"Dia di sana menghantuiku!" Mint berteriak. Matanya terpejam.
"Diamlah, kamu mimpi?" Kanta bertanya dengan dahi berkerut.
"Mimpi?" Tatapan Mint kosong. Menatap langit-langit. "Tolong ambilkan kacamataku." Benar, rupanya hanya mimpi.
Di depan ruangan itu, seorang pria setengah abad berdiri dengan mata yang basah. Mengintip dari kejauhan. Mint dan deritanya. Selama ini Mint sendirian. Membuat pria itu menangis dalam diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revisit Memories (tamat)
Mystery / ThrillerIa, gadis penghapus kesedihan. Akan datang pada jiwa kesedihan dan menghapus semua ingatan burukmu. Namun gadis itu tidak menyadari tindakannya membuatnya sulit kembali dengan tenang, karena tujuan sebenarnya tak kunjung terwujud. Perlahan, gadis it...