Suatu hari pada tahun 2004, Mint 7 tahun.
Hari ketiga Mint Lint tinggal di panti asuhan. Mereka sudah sedikit terbiasa. Meski tak sepenuhnya terbiasa karena Mint masih terngiang-ngiang dengan kejadian di atas kapal. Sebelumnya ia tidak memikirkannya tapi setelah bermimpi buruk suatu malam, Mint terus membayangi kejadian yang sama. Setiap pagi.
Mint akan menangis. Menahan rasa sesak. Mencengkram erat dada sementara tangan lainnya memukul-mukul lantai. Telapak tangannya sampai memerah dan lecet-lecet.
"Kita harus menyelamatkan anak kita dulu!" Suara papanya terngiang.
"Kau egois! Kau tidak benar-benar ingin menyelamatkan mereka kan? Kau hanya ingin hidup dengan kekayaan." Kini suara mamanya.
"Lempar saja mereka ke laut. Bukankah Papanya yang hebat sudah mengajarinya berenang? Itu lebih baik daripada tenggelam karena terjebak di kapal." Mamanya berteriak pada papa di depan mata Mint. Ketika orang lain sibuk memecahkan kaca untuk lompat ke laut, mereka malah bertengkar.
"Mana mungkin? Mereka masih kecil, kau tahu?!" Suara papanya tak kalah tinggi.
Mint merasakan paru-parunya penuh dengan air. Dia bisa berenang, karena papa sudah mengajarinya, tapi kakinya tidak bisa digerakkan. Sebelum kesadarannya hilang. Mint sempat melihat orangtuanya saling berpelukan sebelum tenggelam.
Jenika menghampiri Mint yang berjongkok sambil mencengkram dada. Jantungnya berdebar membuat napasnya tersengal-sengal. Memukul-mukul lantai teras indekos. Jenika tersenyum di segala situasi. "Itu karena kamu mengingat hal yang tak pernah kamu ingat sebelumnya."
✿
Mint selalu mengingatnya. Ia terlantar di pinggir laut bersama kedua saudara kembarnya. Tidak ada orang tua mereka, mereka yang sebelumnya berjanji akan selalu bersama mereka telah tenggelam. Mint juga sudah merelakan kepergian mereka. Tidak ada yang mau terjadi seperti ini. Mint yakin, baik papa maupun mama, tidak ada yang ingin terjadi seperti ini.
Sayang sekali Mint tidak ingat tentang traumatis di masa lalunya.
"Siapa dia?" Gisha bertanya dengan mata berbinar, barangkali Jenika terlalu mencolok dari pada penghuni kos ini. Apalagi Si Kulit Kuning di sebelahnya terlihat tak ada apa-apanya dengan kemolekan Jenika.
Binar juga hampir tak melepaskan tatapan untuk Jenika. Ditatap begitu, tentu saja membuat Jenika gede rasa. Dia jadi berhati besar. Mint yang hendak memperkenalkan Jenika terdiam ketika Jenika langsung memperkenalkan diri sendiri.
"Ini-"
"Hai, aku Jenika. Teman di panti asuhan Mint dulu." Dengan senyum selebar jalan tol dan tangan melambai.
Ghisa dan Binar mengangguk. Mint pernah bercerita banyak tentang panti asuhan dan salah satu teman dekatnya.
"Oh, saya Binar dan dia Ghisa. Penghuni kosan ini. Mint selalu menceritakan tentang Jenika. Sahabatnya di panti asuhan."
"Apa yang Mint ceritakan?" Jenika melirik Mint sedikit. Merasa gede rasa. Mint hanya duduk bersandar pada sofa tanpa memberikan komentar apapun.
Ghisa memperbaiki posisi duduk. "Dia selalu cerita, Jenika teman yang cantik dan primadona panti asuhan."
Jenika tertawa kecil.
"Dan kini aku percaya dengan kata-katanya." Binar menambahkan.
Demi Tuhan. Mint mual-mual dengan ekspresi Jenika penuh kegeeran.
"Oh iya, Kak Jenika sudah makan malam? Aku tadi masak tahu dari Kanta," tanya Ghisa menatap Jenika.
"Oh, si Kanta itu, pacarnya Mint yang tadi nganterin Mint tadi?" Tingkah Jenika menjadi-jadi. Mint melempar bantal sofa ke muka primadona itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revisit Memories (tamat)
Mistério / SuspenseIa, gadis penghapus kesedihan. Akan datang pada jiwa kesedihan dan menghapus semua ingatan burukmu. Namun gadis itu tidak menyadari tindakannya membuatnya sulit kembali dengan tenang, karena tujuan sebenarnya tak kunjung terwujud. Perlahan, gadis it...