Mint menatap tajam Cindy, beserta buntut-buntutnya; pelaku yang mengikatnya dengan tali tambang Pramuka di ruang, ah tidak, tapi di gudang rongsokan berjudul perpustakaan. "Kamu menyedihkan."
Air wajah Cindy memanas. "Katakan sekali lagi?! Kamu malah membuatku disiksa Ayah!" Tangannya di masukkan ke kantung seragam Pramuka. Mendelik tajam.
"Kamu sungguh menyedihkan. Aku kasihan padamu.''
Byurr!
Seketika tubuh Mint menggeletuk kedinginan, air es disiram ke padanya. Oleh salah satu buntut Cindy.
"Kalau kamu mencoba mengadu pada Ayahku lagi, bisa jadi yang selanjutnya akan lebih menyakitkan dari pada tali tambang ini."
Cindy dengan tiga teman lainnya, satunya membawa ember, pergi dari gudang berbau apek itu. Menutup pintu sampai mengeluarkan suara gebaran keras. Mata Mint memanas, seperti ada yang mendesak keluar. Seharusnya dia tidak boleh menangis, Cindy akan menganggapnya lemah dan dia berhasil membuat seorang Mint menangis.
Dengan sisa-sisa tenaga, tangannya memaksa keluar dari ikatan tambang yang memerihkan bekas luka basah di tangannya itu. Luka yang kemarin belum kering, tapi sudah digoreskan luka baru.
Seragam coklat menjadi merah sekejap. Darah dari hidung mengalir deras, tak berhenti barang sejenak memberi waktu untuk melepaskan diri dulu.
Jangan... Jangan... Ku mohon. Lirihnya ketika merasakan kepalanya pusing dan mata yang mulai meredup. Harus kuat, oke?
Mint hanya pelajar SMP biasa. Dia tidak sanggup lagi, akhirnya dia pingsan dengan darah yang membuat genangan di lantai.
Dia tidak perlu merasakan ini kalau saja, dia tidak ketahuan mencuri soal ujian. Satu Minggu yang lalu, Cindy menyuruhnya mengambil soal ujian di brankas kantor, Ayah Cindy itu Kepala Sekolah. Orang kaya, bukan hanya bekerja sebagai kepala sekolah saja, beliau punya bisnis restoran dan pusat-pusat perbelanjaan di pusat kota. Ayah Cindy menyimpan kunci brankas di lemari ruang kerjanya di rumah. Cindy yang mengetahui hal itu, langsung bergerak diam-diam mengambil kunci itu.
Cindy yakin sudah memperhitungkan semuanya, termasuk CCTV. Pada hari itu, CCTV sudah dirusak. Rekaman terhapus.
Tapi Ayah Cindy berpikir logis. "Biarpun Mint yang mengambil kunci itu, tidak mungkin dia tahu dengan sendirinya. Pasti ada yang menyuruh." Dia berkata dingin di ruang BK. Mint menahan malu pada Ibu Riska di sebelahnya.
"Mint akan tetap dihukum, hukumannya tidak akan seberat Cindy, anak saya harus di skorsing seminggu." Tentu hukuman itu tidak sebanding dengan kesalahan yang Cindy perbuat.
Sedangkan Mint dihukum sosial, membersihkan kamar mandi, mengepel kelas dan kebersihan seluruh ruang selama satu bulan. Ini tidak adil. Bagaimana mungkin pria tua itu bilang hukuman seperti tidak lebih berat dari Cindy?
Mint tidak mengerti pemikiran Kepala Sekolah itu. Dia hanya bisa diam menerima segala konsekuensi. Sudah bersyukur dia tidak dikeluarkan.
Tidak lama, Mint merasakan ikatan itu melonggar. Kemudian dia terbangun di rumah sakit.
"Apa kamu yang menolongku saat itu?" tanya Mint pada Jenika siang kemarin di cafe.
"Tidak. Aku belum mati saat itu."
Iya, Jenika hanya roh. Dia sudah mati. Itu fakta yang menyakiti hati Mint. Bagaimanapun Jenika akan pergi nantinya. Dia tidak akan bisa hidup lagi. "Aku harus pergi. Mari jumpa lagi besok!" Jenika bangkit, keluar dari Cafe resto ini.
Mint pulang ke kos. Mengurung diri seharian, pada malam harinya, Binar menginap lagi di kamarnya. Berusaha mengingat kelanjutan kisah itu, dia berpikir menatap foto angkatan SMP dengan lekat bisa memancing ingatannya kembali, tapi sampai hari ini di depan televisi besar di rumah Kanta, dia tidak mengingat apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revisit Memories (tamat)
Gizem / GerilimIa, gadis penghapus kesedihan. Akan datang pada jiwa kesedihan dan menghapus semua ingatan burukmu. Namun gadis itu tidak menyadari tindakannya membuatnya sulit kembali dengan tenang, karena tujuan sebenarnya tak kunjung terwujud. Perlahan, gadis it...