19

14 10 2
                                    

Jika bukan karena botol parfumnya pecah di lantai, Lint tidak akan terbangun sepanik ini. Ini hari ke tujuh ia libur setelah kontraknya habis, dan dalam seminggu, Jenika tiga kali menginap di apartemennya. Dengan nyawa yang masih separuh, Lint berusaha memungut pecahan kaca, tangan kiri Lint mengambil sapu tangan di atas lemari kecil dan menggunakannya untuk membungkus kaca-kaca itu.

Sialnya ini parfum kesukaannya yang baru dibeli.

"Parfum Dior mu pecah, Lint?" Jenika muncul dengan gumpalan handuk di kepala dan kameja merah marun milik Lint; itu baju ke empat yang dipinjam Jenika.

"Iya tersenggol tanganku. Kamu, kan yang taruh di lemari ini?"

Jenika memasang earphone lalu mengangguk. "Akan aku ganti, tapi sayangnya hari ini sibuk. Aku pergi dulu ya?"

Aish, selalu saja begini. Setelah menginap Jenika keluyuran entah kemana. Bekerja? Perusahaan mana yang mau bangkrut jika jam memulainya kegiatan jam sepuluh pagi dengan karyawan tak profesional seperti Jenika.

"Kamu tidak perlu menggerutu. Berisik." Jenika mengambil sepatu flat yang sejak semalam di berasa di dekat pintu.

"Kak, waktu sewa apartemenku berakhir hari ini dan kerjaanku sudah selesai. Aku akan pulang ke Semarang. Terimakasih sudah mengurus kasusku waktu itu." Air muka Lint meredup, merasa sedih. Pertemuan mereka hanya sebatas Jenika menginap sambil menonton film. Itu sudah cukup, tapi Lint akan merindukan Jenika.

"Seharusnya kamu mempersiapkan kopermu dari malam, tapi maaf aku tidak bisa membantumu."

Seperginya Jenika, Lint diam-diam menangis, berhenti ketika mendapat telepon dari Ibu/Mama. Kemudian menangis lagi.

"Li Mei, pulanglah Nak, Ayahmu meninggal di rumah."

Dalam mobil yang ia sewa untuk mengantarnya, dia berusaha menahan diri.

Ayah. Sosok pahlawan bagi Lintang Mezzo.

Lint tertegun lama, menatap rumah berlantai tiga di depannya. Di sebelahnya, gadis seusianya duduk di kursi roda sambil tersenyum.

Orang tua gadis itu berbicara. "Selamat datang Lint, sekarang kita keluarga."

Li Mei memegang ujung lengan kaus panjang Lint. Berbahasa isyarat, waktu itu Lint belum bisa menguasai bahasa itu. Dia diam saja. Sambil mendorong kursi roda Li Mei, Lint menanggapi berupa dehaman.

"Nanti Ayah mengajarimu ya?"

Lint tersenyum canggung, perbuatannya diketahui.

Li Mei dan Lint bersahabat, tidak lebih tepatnya bersaudara dekat. Lint tidak keberatan membantu Li Mei kapanpun. Membacakan buku cerita, membantu Ibu memasak, bahkan beres-beres rumah. Keluarga Li Mei sudah sangat baik padanya. Sudah sepantasnya dia juga membantu. Termasuk saat disuruh serius belajar piano, dia lanjut sekolah model selulusnya dari SMP.

Itu impiannya. Lint sangat senang dan bahagia. Ayah angkatnya baik sekali, dia menemani Lint belajar. Mengajak jalan-jalan. Lint merasakan kehangatan, walau beberapa kali merindukan Rumah Teduh. Semua keinginan Lint diwujudkan, kecuali berkunjung ke Rumah Teduh.

Lint tidak tahu mengapa ibu tidak memperbolehkan sama sekali, tapi menjelang kelulusan SMA, ayah mengajak diam-diam ke sana, bersama Li Mei yang duduk di depan.

Jantung Lint berdegup kencang, barangkali jantungnya juga berloncat-loncat kegirangan.

"Kamu pasti gak sabar. Semoga Mint ada di sana." Senyum ayah terlihat dari kaca. Lint ikut tersenyum, begitu juga Li Mei. Ini hari kebahagiaan baginya.

Revisit Memories (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang