Seperempat wajahnya transparan. Tangan Jenika menyentuh bagian yang tembus pandang itu, tetapi tidak bisa disentuh. Tangannya malah menembus dalam. Apakah sebentar lagi ia akan menghilang? Jarum detik jam dinding di kamar Mint terasa lebih berisik. "Kumohon bertahan sedikit lagi," Jenika menyembunyikan seperempat wajah dengan rambut coklat panjangnya.
Jenika keluar kamar Mint tanpa membuka pintunya. Gadis dua puluh lima tahun itu belum pulang, masih dengan Kanta. Sebenarnya ia ingin menemui Mint, tapi ketika melihat seperempat wajahnya, Jenika mengurungkan niatnya. Memilih berdiri di belakang Ghisa, dia sedang mengoreksi buku tugas anak muridnya.
Jenika mendekat. Mencengkram leher Ghisa. Gadis itu berusaha menghirup napas, kakinya beradu dengan lantai. Jenika terus menekan jalan nafasnya. Ghisa ingin berteriak minta tolong, tapi suaranya mendadak hilang. Mulut bergerak kalang kabut, berteriak tanpa suara. Akhirnya ia tak sanggup menahan sesak. Degup jantung tak karuan. Takut, apalagi melihat sosok yang mencekiknya. Air mata Ghisa sempat menetes, bergumam sebelum dia kejang-kejang dan ambruk dari kursi. "Maaf Ibu Guru tidak sempat mengoreksi buku kalian semua."
Jenika menatap cermin di meja yang selalu Ghisa gunakan untuk mengoreksi buku. Menatap wajah tiga perempat miliknya. Tersenyum. Ia seharusnya tidak perlu membuang tenaga untuk ini. Hanya dengan berdiri di dekat manusia sambil menyentuh punggung lembut, energi manusia bisa terkuras. Itu sangat mudah, apalagi jika memiliki jiwa yang tidak sehat, Jenika lebih mudah melakukannya. Manusia itu akan meninggal karena serangan jantung. Tapi untuk hari ini berbeda.
♡
"Kamu ini keras kepala ya?" Mint berdecak sebal. Ia berdiri di teras kedai bakso, menatap rintikan air di depannya. Ia tidak terlalu menyukai hujan. Air selalu membuatnya menggigil.
Kanta cengengesan. "Haruskah kita membeli payung?"
Mint teringat payung bening miliknya yang sudah bolong di tengah. Bulan Desember akan sering hujan. Akhirnya mereka berjalan melewati beberapa teras toko. Tiga puluh meter dari kedai bakso tadi, mereka menemukan toko yang menjual payung.
"Beli dua, Pak." Mint mengambil dua payung polos berwarna kuning. Si penjual mengangguk hendak menerima uang yang disodori Mint.
"Satu aja, Mint. Sudah punya banyak payung di rumahku," ucap Kanta. "payung sponsor numpuk di rumah."
"Nanti aku bawa keduanya aja, Ghisa dan Binar gak punya payung." Selama ini teman kosan selalu meminjam payung Mint atau Emak Kos, makanya payung Mint cepat rusak. Akhirnya si pedagang menerima uang. Pas.
"Satu aja, biar romantis."
Mint memukul pantat Kanta dengan payung baru, masih terbungkus plastik. "Romantis-romantis Mbahkau."
ෆ
Di dalam bus, lengang. Para penumpang sibuk dengan pikirannya sendiri. Mint menatap kaca yang berbintik-bintik air, air itu datang lalu jatuh ke aspal bergantian. Mint terlalu sibuk melihat rintikan air itu, tak menyadari laki-laki dua puluh empat tahun di sebelahnya kepusingan mencari topik pembicaraan.
Kesunyian bukan hal yang disukai Kanta. Apa yang harus dikatakan? Haruskah ia bercerita tentang Kakak perempuannya yang akan melanjutkan bisnis usaha tahu keluarga, tidak, Mint akan langsung tahu kalau ibunya tidak mempercayai Kanta mengelola bisnis. Atau rencana kuliahnya?
Kanta meruntuki diri karena tidak bisa mengucapkan sepatah katapun setelah sepuluh menit.
"Kamu tidak cari kerja?" Mint bertanya selayaknya istri indosiar yang mendapati suaminya malas-malasan di sofa.
"Itu... kupikir tidak." Menggaruk tengkuk seakan seekor semut baru saja menggigit.
"Kamu itu betah jadi pengangguran ya?" cibir Mint kemudian kepalanya ditoyor santai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revisit Memories (tamat)
Mystery / ThrillerIa, gadis penghapus kesedihan. Akan datang pada jiwa kesedihan dan menghapus semua ingatan burukmu. Namun gadis itu tidak menyadari tindakannya membuatnya sulit kembali dengan tenang, karena tujuan sebenarnya tak kunjung terwujud. Perlahan, gadis it...