8

16 10 3
                                    

Kata tanya 'Apa' bisa menunjuk untuk apa saja. Benda, manusia, hewan. Pertanyaan Mint seakan menyatakan kalau ia meragukan Jenika sebagai Manusia.

"Tentu saja aku manusia." Jenika berkata santai. "Apa lagi?"

Mint hanya diam. Melanjutkan makan.

Ada alasan tertentu Jenika mengajak Mint makan di restoran ayam goreng di pinggir jalan jauh dari kosan. Dahulu ketika ia masih hidup, sering ke sini bersama suaminya. Bisa dibilang kisah mereka pun dimulai dari restoran ini. Desain interior restoran ini tidak berubah sedari dulu, seakan waktu berhenti di sini.

"Papa pernah janji sama Jesika kalau Jesika dapat nilai sempurna, papa mau ngajak main bianglala." Ada suara anak kecil biasa dari luar. Anak kecil itu berjalan dengan papanya. Pintu restoran ini berbahan kaca yang tentu saja Jenika bisa melihat dengan jelas siapa yang sedang bicara.

Pria itu menghentikan langkahnya. Menatap sebentar restoran yang ia lewati. Rasanya seperti deja vu.

Lagi, air mata Jenika menetes. Itu adalah suaminya. Anak kecil itu, anaknya. Bukan kebetulan Jenika bertemu mereka, karena suaminya itu kerap datang ke sini hampir setiap Minggu.

"Apa kamu menangis? Apa itu karena kata-kataku barusan?" Mint pindah, duduk di sebelah Jenika.

Jenika mengalihkan pandangannya ke tembok. Menggeleng. "Aku hanya teringat sesuatu. Kamu sudah selesai kan. Mari pulang."

"Sebelum naik bianglala, makan dulu ya." Si pria itu menggandeng anaknya memasuki restoran.

Pertanyaan di kepala Mint bertambah banyak.

"Tidak perlu berpikir banyak. Aku akan menjawab pertanyaanmu." Jenika membuka pintu. Berpapasan dengan bapak-anak itu seakan tak pernah mengenal.

Sambil berjalan ke halte bus Jenika berbicara.

"Aku bisa menghapus ingatan. Termasuk ingatanmu. Kamu tidak akan mengingat perkataanku hari ini."

Jenika menepuk pundak Mint.

Ada banyak alasan kenapa Mint merasa sedih ketika harus mundur dari perusahaan yang sudah memberi kehidupan enam tahun terakhir. Pertama, ia sudah nyaman dengan suasana kantor, rekan-rekan yang selalu baik padanya. Lisa si gadis pendiam, Mia si hobi typo hingga Mint kewalahan merevisinya. Juga Kanta, Mint selalu bingung kenapa Kanta selalu menjadi bagian dari semua kegiatannya. Ketika Mint berjingkrak-jingkrak karena berhasil diterima bekerja, Kanta yang masih belum mendapat pekerjaan langsung melamar ke kantor agensi digital tempat Mint bekerja. Sayangnya sekarang Mint tidak bisa bertemu dengan Lisa dan Mia lagi karena mereka memilih ikut kantor pindah ke Karawang.

Waktu itu, sesi makan siang mereka diisi Gela tawa, gosip dan rencana rapat nanti sore sebelum pulang. Entah bos besar akan membicarakan apa sore-sore begitu. Ternyata rapat itu adalah yang terakhir bagi mereka. Bos Besar memberi dua opsi.

Mengundurkan diri atau ikut perusahaan pindah ke Karawang.

Tanpa ragu, Mint langsung memilih opsi pertama. Dia tidak mungkin ke kota antah berantah itu. Bos Besar merasa keberatan melepas pekerja yang cekatan seperti Mint. Meski akhirnya sore itu juga Mint membereskan kubikel. Memasukan barang-barang ke kardus dibantu rekan-rekannya.

Mengenai Bos Besar, jangan pernah membayangkan pria CEO tampan berbadan atletis karena Bos Besar berperut besar. Dengan kadar ketampanan standar bapak-bapak.

Jangan mengetawakannya! Bos Besar tetaplah orang kaya bau duit.

Bos Besar memberi Mint surat pengunduran diri juga uang pesangon total 50juta yang langsung di transfer akhir bulan November ini.

Uang pesangon itu terdiri dari gaji terakhir, BPJS, tabungan, dan uang saku dari Bos Besar. Tentu saja uang segitu tidak akan cukup untuk transplantasi sumsum tulang belakang yang Mint butuhkan.

Mint akui, ia ingin sekali hidup lebih lama lagi. Tranplantasi itu jalan satu-satunya. Biayanya menginjak angka satu milyar dan harus menggunakan donor dari keluarga terdekat.

Lagipula Mint sudah tidak punya keluarga sebagai tempat pulang sejauh apapun dia pergi, keluarga yang menyambut atau menunggu di ruang keluarga ketika pulang. Mint tidak pernah merasakan definisi tempat pulang yang sebenarnya. Umurnya baru delapan tahun ketika semuanya meninggalkan dia sendirian.

Lint dan Than diadopsi ketika Mint baru pulang dari rumah sakit karena pingsan. Lint diadopsi keluarga Tionghoa tajir melitir. Mint yakin hartanya tidak akan habis untuk tujuh turunan! Alasan keluarga itu mengadopsi Lint adalah untuk memberi teman untuk anak kandungnya yang tuna ganda.

Tak lama Lint diadopsi, Than juga ikut diadopsi. Oleh sepasang suami istri yang sudah 10 tahun tak kunjung diberi anak. Alasan lainnya karena Than memiliki bakat robotik yang akan diseriusi oleh orangtua itu.

Lint dan Than sudah memiliki tempat pulang. Bagaimana dengan Mint? Mint itu gadis penyakitan. Akan merepotkan untuk mengurusnya. Dia juga tidak memiliki bakat seperti Lint atau sejenius Than.

Itu jawaban kuat atas pertanyaannya selama ini.

Umurnya tujuh belas tahun, kelas sepuluh SMA ketika itu. Saat pergi dari panti asuhan, alasan yang tidak ia ingat.  Memulai semuanya dari Indekos Jalan Kebahagiaan. Tempat yang disebut-sebut sebagai tempat pulang. Aroma tembok yang baru di cat Emak Kos masih melekat diingatan Mint.

Indra penciumannya mulai menangkap bau. Bukan aroma cat kosannya delapan tahun lalu, tapi aroma pengharum lantai rasa pine. Ah lagi-lagi ruangan putih ini. Akankah ruangan ini juga akan jadi tempat pulang untuknya?

Wajah Kanta yang sedang duduk di kursi secara buram Mint lihat. Ada juga Ghisa disebelahnya.

"Apa yang kamu rasakan?" Ghisa yang bertanya.

Mint menjawab jujur. Rasa pusing dan sesak yang selalu Mint rasakan setiap saat. Lalu tangannya memberi isyarat.

"Hah? Kamu mau minum?" Ghisa mengambil air putih di nakas.

"Bukan itu maksudnya Kak. Mint mau kacamata." Kanta menyahut. Tangannya masih sibuk bermain game online di handphone-nya. Game itu tidak bisa di skip.

Ghisa menukar botol air dengan kacamata. Sekali lagi Mint mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan ini. Mencari Jenika.

"Jenika bersamamu tadi, apa dia pamit duluan?" Ghisa duduk di kursi lagi.

Mint mengingat kembali. "Iya, dia pamit pulang duluan. Sepertinya aku menelpon Kakak karena pusing."

Semoga Tuhan tidak murka padanya, Karena berbohong. Mint ingat semuanya. Ketika Jenika menepuk pundaknya. Berharap Mint melupakan kata-kata Jenika. Juga ketika Jenika menelpon Ghisa dan meninggalkan dirinya sendiri.

"Kamu menelponku tapi tidak ada suaranya. Jadi aku menyuruh Kanta melacak ponselmu." Ghisa mengeluarkan ponsel Mint dari kantong. Menaruhnya ke atas nakas. "HPmu keren sekali, sudah pecah tak karuan tapi masih berfungsi!"

Mint tertawa pelan. Tak terhitung berapa kali ia jatuh pingsan di pinggir jalan, berapa kali ia menjatuhkan HP itu. Karena itulah Kanta memasang aplikasi pelacak lokasi di HPnya.

Bukan bermaksud untuk merusak privasi.

Refleks mata Mint melihat lipatan siku, ada selang kecil tertancap di sana. Mengalirkan darah. Setetes darah yang mengalir di nadinya amat beharga mahal. Sering kali ia iri dengan segelintir manusia yang bisa mengalir darahnya secara gratis pemberian Tuhan.

Handphone Ghisa berdering. Setelah berbicara dengan lawan bicara. Dia pamit pulang.

"Kanta."

Kanta membalas dengan dehaman pendek.

"Ceritakan tentang gadis penghapus ingatan itu."

Kanta menaruh handphonenya. "Kemarin kamu tidak tertarik sama sekali. Bilang kalau aku menghayal." Ada nada ketus diucapan Kanta.

Mint cengengesan. "Ceritakan saja, oiya, sebelum itu, aku ingin stroberi di atas itu." Tangan Mint menunjuk stoberi yang terbungkus mika kubus diatas nakas.

Kanta manut. Mulai menceritakan sebuah urban legend.

Revisit Memories (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang