part 29

2.3K 211 6
                                    

Hujan sudah mereda lima menit yang lalu. Syasya duduk dengan Anatha yang masih betah memeluk pinggangnya.

Sebenarnya, jantungnya berdetak cepat sekarang. Tapi sekuat tenaga dia menenangkan hati agar tidak baper.

Takut, kalau sudah baper, eh malah ditinggal, ya seperti nasib kalian.

Pantatnya juga sebenarnya terasa keram karena duduk terus hampir satu jam. Tapi lagi-lagi, Syasya tidak dapat berbuat apa-apa.

Mengelus rambut Anatha yang dikuncir tinggi. Rasanya ia insecure dengan rambut gadis ini yang begitu halus.

Ingin sekali ia bertanya apa merek dari sabun yang gadis ini pakai.

Merasa tubuh Anatha sudah tidak bergetar ketakutan dan justru suara dengkuran halus yang terdengar.

Syasya menunduk. Dia menyingkirkan rambut Anatha yang menutupi wajahnya.

Dia melihat mata Anatha yang tertutup dengan mulut yang sedikit terbuka. Syasya yang melihatnya entah mengapa menyinggung kan senyum.

"Kenapa wajahnya saat tidur seperti bayi." Gumam Syasya menepuk-nepuk paha Anatha agar semakin nyenyak tertidur.

Ya walaupun pantatnya begitu terasa kebas, serta kakinya yang keram karena ditimpa kakinya Anatha.

Memperbaiki letak posisi Anatha agar terasa nyaman. Syasya menghembuskan nafas setelah menurunkan kaki Anatha dari kakinya.

"Apa benar gadis ini yang pernah membully diriku?" Tanya Syasya pada dirinya sendiri berulang-ulang.

Dirinya merasa begitu lucu. dia tidak menyangka bahwa yang sedang tertidur dengan memeluk pinggangnya ini adalah orang yang sama yang pernah membully nya.

Bahkan saat akhir akhir ini, setiap bangun tidur, saat berada di lingkungan sekolah, dia berpikir gadis ini akan membully nya lagi seperti sebelumnya yang gadis itu lakukan.

Tapi tidak. Gadis itu bahkan menatapnya dengan sorot mata yang mengisyaratkan akan kerinduan yang begitu mendalam.

Walaupun memang gadis itu tidak memperlihatkannya dan mencoba menutupi, dia bukan tipe manusia yang mudah dibodohin, oke.

"Apa jidatmu terbentur sesuatu hingga sifatmu berubah seperti ini,"

Dia tahu seharusnya dia senang bahwa Eva sudah tidak mengusiknya lagi. Tapi masalahnya ini terlalu tiba-tiba dan membuatnya tidak percaya bahwa perubahan Eva tidak ada maksud tersembunyi.

Bukannya begitu? Mungkin saja gadis ini hanya ingin menghancurkannya dari dalam.

Jika kalian ada diposisi nya, mungkin kalian akan berpikir yang sama seperti itu kan? Atau mungkin hanya pemikirannya yang terlalu jahat pada Eva dengan tidak percaya dengan gadis itu.

Sungguh Syasya bingung. Hatinya menyuruhnya untuk percaya sepenuhnya pada Eva, tapi pikirannya justru berbanding terbalik dengan kata hatinya.

Enghh.

Anatha mengeliat dengan tangan yang ia rentangkan. Bukannya bangun, gadis cantik itu malah memilih melanjutkan tidurnya dengan kepalanya sekarang berbantal paha Syasya.

Syasya mengelus rambut gadis itu. Tangannya yang satu mengelus punggung gadis itu agar kembali tertidur dengan cepat.

Berselang beberapa menit, suara dengkuran halus kembali terdengar. Syasya tersenyum dengan menguap kecil.

Jam menunjukkan pukul dua belas lebih dua puluh tuju. Syasya yang merasa mengantuk pun menutup mata, menyusul Anatha yang sudah tidur terlebih dahulu.

***

Pagi harinya, Syasya harus terbangun dengan paksa karena hidungnya yang mencium aroma lezat dari arah dapur.

Masih dengan muka bantalnya. Syasya berjalan pelan menuju dapur. Dipintu masuk dapur, dia melihat Anatha yang memakai celemek dan memasak dengan lihai bagai seorang chef.

Mengetahui kehadiran seseorang disana, Anatha melirik dengan masih membolak-balikan masakannya.

"Oh sudah bangun." Kata Anatha. Dia mematikan kompor dan dengan cepat memindahkan makanan keatas piring, lalu menyajikannya dimeja.

"Sini," Menyuruh agar Syasya mendekat. Dia mendudukkan gadis itu disampingnya.

Syasya hanya bisa duduk kaku menatap Anatha yang sedang menatapnya dengan senyum aneh serta bertopang dagu.

"Saya boleh bertanya tidak," Ucap Anatha, masih menatap Syasya.

Syasya mengangguk pelan, "Boleh." Katanya. "Ini punya kamu?" Sambil menunjukkan batu yang dia temui dilantai kamarnya.

Syasya terdiam mengernyit. "Apa? Punya aku yang mana, aku gak liat apa-apa ditangan kamu."

Anatha terkejut. Dia menatap tangannya yang terdapat batu merah dengan ekspresi bingung diwajahnya.

"Ini!"

"Aku gak liat apa-apa, Eva."

"Kamu serius tidak melihat batu ditangan saya?" Syasya mengangguk yakin membuat Anatha bungkam.

Bagaimana bisa, buktinya batu ini ada ditangannya loh. Lalu kenapa Syasya tidak bisa melihatnya?

Apa gadis ini bohong? Tapi dilihat dari matanya, gadis itu sama sekali tidak berbohong.

Akhh. Sungguh persoalan ini membuat Anatha bingung.

***

"Tuan dia sudah tau cara bagaimana agar bisa masuk kedalam dunia immortal." Lapor Elbert pada tuanya yang sedang duduk bersila dengan meminum darah.

Orang yang dipanggil tuan mengeram. Dia melempar begitu saja gelas kaca berisi darah.

Dia menatap Elbert yang sudah mati kutu dibuatnya. "Bagaimana dia tau?!" Geramnya tertahan.

Elbert tertunduk dengan kaki yang sudah gemetar. "Dia tau karena mengikuti Valerio tuan."

"Valerio lagi?"

"Iya tuan." Ucap Elbert mengusahakan dirinya agar tidak pingsan seketika.

Orang itu mendengus tidak suka. Dia berdiri dan berjalan menuju kaca, memperlihatkan hutan yang sedang diguyur oleh hujan.

"Lagi-lagi dia, apa dia tidak bisa ceroboh huh!"

TBC.

Akhirnya update juga!

Vote komen jangan lupa ya.

٩(ര̀ᴗര́)ᵇʸᵉ, nanti bakal ketemu lagi dihari berikutnya.

19 April 2022

Transmigrasi ANATHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang