Tujuh

479 49 28
                                    

Hoseok terdiam menatap Hyei yang terbaring di brankar. Sesekali erangan kecil terdengar dari mulut gadis itu menyebut kata Appa. Selang kecil berupa alat bantu pernapasan terpasang di hidungnya. Sementara di tangan kanannya jarum infus tertempel menembus kulit sang gadis.

Soan menoleh ketika mendengar langkah kaki seseorang. Dia langsung mendekati Hoseok dengan derai air mata.

"Aku tak tau apa yang terjadi pada Hyei dan apa yang dia cari di sungai Han tengah malam. Aku baru tau kejadian ini saat seorang polisi menelponku," kata Soan.

Seokjin merangkul Soan yang menangis dengan tubuh bergetar hebat. Sementara Hoseok hanya bergeming. Pikiran dan hatinya dipenuhi rasa sesal yang begitu dalam.

"Hoseok, tolong bicaralah dengannya. Dari tadi dia menyebut Appa, dan aku yakin kau-lah yang dia maksud." Soan bicara lagi. Kali ini Hoseok meresponsnya dengan mengangguk, lalu mendekat perlahan ke sisi kiri brankar.

"Soan-sii, ayo, sebaiknya kita keluar dari sini. Kau butuh menenangkan diri." Seokjin mengusap lembut bahu gadis itu.

"Tapi ...." Soan menjawab dengan ragu.

"Tidak apa-apa. Ada Hoseok yang akan menjaganya. Ayo, kau harus tenang agar Hyei juga tenang dan bisa segera sadar."

Akhirnya Soan mengalah. Dia dan Seokjin meninggalkan ruangan itu. Dengan sabar Seokjin membimbing Soan untuk duduk di balkon dekat ruangan itu. Seokjin pun membelikan Soan secangkir kopi.

Di dalam sana Hoseok masih tergugu memandangi wajah Hyei yang lebam seperti bekas tamparan di pipi kanan dan kirinya. Bibir gadis itu pun pecah dan terluka. Perban juga menutupi sebagian besar kepalanya.

"Hyei ...." Hoseok bersuara lirih hampir tak terdengar. Dengan ragu tangannya menyentuh tangan kiri Hyei yang tergeletak di ranjang. "Mianatha." Bibir Hoseok bergetar.

Dia teringat bagaimana dirinya memperlakukan Hyei kemarin. Terutama sesaat sebelum menurunkan gadis itu di tepian sungai Han yang gelap dan sepi.

"Harusnya aku tak menurunkanmu di sana. Harusnya aku ...." Setitik air mata menetes membasahi pipi pemuda itu. "Apa yang telah membutakan hatiku hingga tega meninggalkanmu di tempat itu ...?" Dia menggenggam tangan Hyei. Dua jari kiri gadis itu di gipsum karena jari manis dan jari tengahnya patah.

"Hyei, bangunlah. Appa di sini." Hoseok mengulurkan tangan, lalu mengusap pipi kiri gadis itu. "Maafkan appamu yang jahat ini. Bangunlah dan katakan apa yang terjadi agar aku bisa mencari keadilan untukmu."

Kembali Hoseok menitikkan air mata membayangkan apa yang dialami gadis itu. Sama seperti Yoongi dan Namjoon, Hoseok pun berpikir kalau Hyei telah diperkosa, tapi dia tak tahu siapa pelakunya karena pada saat itu, Hoseok bahkan tak memperhatikan sekitar dan meninggalkan Hyei begitu saja.

Hoseok terdiam. Tak ada respons sama sekali dari gadis di depannya. Ingatan membawa Hoseok ke masa lalu saat pertama kali dia bertemu dengan Hyei. Dahulu gadis itu tak secantik sekarang. Kulitnya lebih hitam dari teman-temannya, juga lebih berisi. Rambutnya dipotong sebahu dengan poni yang menutupi hampir semua dahinya. Karena penampilannya, bahkan beberapa calon orang tua menolak adopsinya padahal tiga teman akrabnya di panti asuhan sudah di adopsi dan diterima di sekolah elit.

Cerita ibu panti akhirnya menggugah hati Hoseok untuk mengadopsi anak itu. Selain memberi bantuan kepada yayasan, dia juga mengucurkan dana khusus untuk Hyei. Jadi, meski Hyei tetap tinggal di panti asuhan, Hyei tetap mendapatkan pendidikan yang layak dan bisa tumbuh seperti gadis lainnya. Penampilannya juga berubah drastis. Kini, selain cantik, kulit Hyei juga tampak putih bersih.

Hyei tergolong anak yang cerdas. Hoseok tahu itu karena setiap tahun ajaran baru dia akan mendapat laporan perkembangan pendidikan gadis itu. Hanya saja, Hoseok tak pernah memperhatikan dengan jelas photo-photo yang dikirimkan ibu panti terkait perkembangan Hyei. Bagi Hoseok dengan Hyei tak lagi di-bully di sekolahnya itu sudah cukup.

Love Wild DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang