Sepuluh

203 32 11
                                    

Angin malam berhembus sedang menyapa tubuh Hyei yang hanya berbalut kaos over zise dan celana pendek hitam. Sneakersnya mencipta suara langkah seirama ayunan kakinya menuju halte bus kota. Dia duduk di sana bersama beberapa penumpang lainnya ketika dering ponsel menyapa, nomor asing yang tak dikenalnya.

Sedikit ragu, Hyei menggeser layar hijau dan menerima sambungannya. "Yeobseo ...," ucap Hyei bertepatan dengan datangnya bus kota.

"Halo, apa kau mengenaliku?"

Mendengar suara orang di seberang sana, hati Hyei langsung berdesir. Dia tak akan pernah lupa pemilik suara itu. Orang yang paling dia inginkan di dunia ini, Hoseok.

Disapa oleh Hoseok, hampir membuatnya linglung dan jatuh ketika hendak menaiki bus kota. Untung ada seseroang yang menahan bobot tubuhnya dari belakang.

Sebelum menjawab lagi, segera dia mencari posisi nyaman di kursi paling belakang. "Ne ... Appa ...," sahutnya ragu.

Hoseok terdiam. Di ujung sana entah apa yang dia pikirkan setelah mendengar suara Hyei yang memanggilnya Appa. Sambungan ponsel masih terhubung, tapi yang terdengar hanya semilir angin yang seakan-akan menjeda waktu di antara mereka, menciptakan kesunyian.

Ada debar aneh yang membius Hoseok hingga dirinya kehilangan keberanian untuk bicara, pun ada keraguan yang membelenggu hati Hyei untuk membuatnya bicara dan mengoceh seperti biasa. Dia lebih memilih untuk menunggu.

"Mmm ... simpan nomorku. Minggu depan aku kembali ke Korea, mari kita bertemu," ucap Hoseok, lalu mematikan ponsel begitu saja tanpa menunggu jawaban gadis itu.

Hyei yang baru saja membuka mulut hendak bicara, jadi kehilangan kata-kata. Dia tergugu menatap layar ponsel yang tiba-tiba mati. "Dia kenapa ...," desahnya pelan, lalu menatap kepekatan malam melalui jendela bus kota. Jam sepuluh malam, setelah dia pulang dari bekerja, untuk kali pertama dia mendengar suara Hoseok di telepon dan ini akan dia ingat sepanjang hayatnya.

Sementara itu, di kamarnya Hoseok masih mematutu diri, terduduk di tepian ranjang. Dadanya bergemuruh entah karena apa. Dia merasa telah menjadi sangat idiot dengan menghubungi perempuan itu. Kenapa dia tak menahan diri saja?

"Paboya! Kenapa aku menelpon gadis itu dan mengajaknya untuk bertemu nanti? Apa yang akan kukatakan saat menemuinya?" Hoseok memukul kepalanya sendiri. Tindakannya yang spontanitas tadi membuatnya jadi dungu.

Setelah beberapa menit mengendalikan kegelisahan atas tindakannya, Hoseok pun menghubungi Chaerim. Masih terlalu dini untuk Chaerim terlelap, jadi dia ingin mengobrol sesaat saja sebelum dia juga disibukkan dengan kegiatan sepanjang hari ini.

Hoseok menghela napas, sudah tiga kali dia menghubungi kekasihnya, tapi Chaerim masih belum menjawab telponnya. "Ke mana dia? Tak mungkin kalau dia sudah tertidur, kan."

Dengan rasa kesal, Hoseok menghubungi Chaerim sekali lagi.

"Yeobseo, Chagia ...."

Terdengar suara Chaerim di ujung telepon. Napasnya menderu dan sedikit tersengal, Hoseok jadi iba mendengarnya. Dia menduga, Chaerim pasti masih latihan karena sayup-sayup terdengar suara musik di telinganya.

"Apa kau sedang berlatih? Padahal ini sudah hampir jam sebelas malam di tempatmu."

"Iya, Oppa. Tapi, hal seperti ini sudah biasa buat kita, kan. Jam sebelas masih terlalu dini untuk istirahat. Kita terbiasa terjebak dengan latihan bahkan sampai jam satu malam. Bukankah begitu?"

"Iya, kau benar."

"Kalau begitu, aku akhiri dulu, ya. Nanti aku hubungi lagi setelah latihanku selesai."

Love Wild DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang