Duabelas

309 36 24
                                    

"Hyei ...," panggil Hoseok sekali lagi. "Kau mendengarku, kan?"

"Aku lapar, cepat antar aku pulang!" hardik gadis itu.

"Tapi, kau mendengarkanku, kan?" tanya Hoseok mencoba meyakinkan hatinya, sambil melajukan kembali kendaraannya ketika lampu berganti hijau.

"Tidak!" jawab Hyei singkat.

Hoseok pun menghela napas dan kembali terdiam. Hingga sampai di depan gang apartement gadis itu, Hoseok masih diam.

Hyei bersiap untuk turun ketika Hoseok menarik tangannya, lalu mengunci pergerakan gadis itu dan mencium bibirnya dengan sangat lembut. Hyei terkesiap, seketika membeku dengan mata membola menatap bagaimana Hoseok melumat bibirnya dengan mata terpejam.

Sejenak Hyei kehilangan kesadaran diri, tapi saat dia berhasil menguasai dirinya, dia segera mendorong tubuh laki-laki itu.

"Kau sudah gila!"

"Kenapa?" Hoseok menatapnya sendu. "Bukankah kita punya perjanjian bahwa kau akan membuatku jatuh cinta dalam sebulan. Bukankah harusnya kau merasa senang karena sekarang aku mengejarmu."

"Kau gila, Appa!" Sekali lagi pergerakan Hyei ketika ingin keluar tertahan oleh tangan Hoseok. Pria itu menatap Hyei dengan mimik serius, mengunci kedua manik indah Hyei agar hanya bisa terfokus kepadanya.

"Hyei ... aku serius dengan apa yang kukatakan. Menikahlah denganku. Izinkan aku bertanggung jawab atas apa yang menimpamu waktu itu."

Hyei terdiam. Mulutnya terkunci seketika. Keseriusan tampak jelas tergambar di manik indah Hoseok. Manik indah yang selalu dipujanya selama ini. Gadis itu berusaha mengontrol gejolak dalam dadanya.

"Tidak!" jawabnya kemudian. "Lagipula tak ada yang terjadi padaku. Mereka mungkin menjamahku, tapi mereka ...." Hyei menunduk. Kejadian di tepian sungai Han berputar di ingatan membuatnya sesak. Air mata lolos begitu saja membasahi wajahnya.

Kejadian bagaimana dia dijamah oleh beberapa preman jalanan, hingga bahkan kesuciannya hampir terenggut kembali melintas tumpang tindih dengan air mata yang meluruh jatuh tak tertahankan. Tinggal sedikit lagi preman itu bisa menikmati tubuhnya saat dia berhasil melarikan diri, kemudian tertabrak kendaraan dan dilarikan ke rumah sakit. Kejadian mengerikan itu masih sering menghantuinya. Hyei sering kali menggigil ketakutan saat melihat segerombolan pria yang duduk di sisi jalan atau di tempat-tempat lain. Yang bisa dia lakukan hanya berpura-pura tegar dan kuat.

"Hyei ...," Hoseok segera menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Dia tahu saat ini Hyei tengah menangis. "Mianatha ...," ucap Hoseok lembut.

Usapan lembut Hoseok membuat Hyei luluh dan tangisannya kian menjadi-jadi. "Appa jahat!" ucapnya sambil memukul dada bidang pria itu. Hoseok hanya terdiam dan membiarkan Hyei melampiaskan kekesalannya.

Selang beberapa menit berlalu, Hyei menghentikan tangisannya. Dia pun menjauhkan dirinya dari pelukan Hoseok.

"Terima kasih sudah mengantarku pulang."

Sebelum Hyei berhasil pergi, Hoseok menangkup wajah gadis itu dan mengusap air matanya dengan sangat lembut. "Hyei ... aku akui, aku belum mencintaimu, tapi aku akan belajar melakukannya. Akan kutebus kesalahanku dengan cara yang benar. Jadi, pikirkanlah. Kau hanya perlu menjawab iya, dan akan kuurus semuanya setelah itu."

Hyei masih membisu. Dia hanya mengangguk singkat, lalu memejamkan mata ketika Hoseok mencium keningnya. Setelah itu barulah Hoseok membiarkan dia keluar dari mobilnya.

"Kau masih utang semangkok ramen untukku!" teriak Hoseok saat Hyei melangkah memasuki halaman apartementnya. Hyei menoleh sesaat, lalu membalasnya dengan lambaian tangan.

Hoseok masih menatap gadis itu yang kini berlari kecil masuk ke dalam rumah sewanya. Kemudian dia menutup kaca jendela mobilnya dan menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Helaan napas panjang keluar pelan dari mulutnya. "Apakah yang kulakukan ini sudah benar?"

Cukup lama dia terdiam dan termenung sebelum mengambil ponsel. Ditatapnya photonya dan Chaerim pada layar utama, lalu dengan gerakan ragu, dia mengganti walpaper handphonenya.

"Ini mungkin akan sedikit sulit, tapi harus kulakukan," putusnya. Barulah Hoseok melajukan kendaraan meninggalkan tempat itu.

***

Malam seakan-akan tiba dengan cepat, padahal Hyei belum melakukan apa pun dan masih sibuk terduduk di pembaringan menatap poster Hoseok yang hampir memenuhi ruangannya.

"Ada apa dengan Appa?" Pertanyaan itu terus menggantung di benaknya. Apa pria itu benar-benar merasa bersalah? Jika iya, rasanya Hoseok tak harus mengorbankan dirinya untuk menikah dengan Hyei, tapi jika mengingat sifat Hoseok yang penuh tanggung jawab, maka hal seperti itu bisa saja terjadi. Hoseok memiliki hati yang baik dan tulus, jadi rasa bersalah pasti sangat membebaninya.

Permintaan Hoseok terasa begitu membebaninya, membuat Hyei bahkan kehilangan nafsu makan. Dia belum menyentuh makanan apa pun sejak kembali dari tempatnya bekerja sore tadi.

"Aish! Aku bisa gila kalau seperti ini!" Gadis itu menjerit seraya menendang selimutnya. Diputuskannya untuk bangkit dan pergi membersihkan diri.  Apartementnya yang sederhana jadi terlihat sedikit berantakan karena dia tak sempat membersihkannya.

Baru saja Hyei selesai membersihkan diri, suara bel pintu terdengar nyaring mengusiknya yang sedang memakai skin care. Segera Hyei berlari ke depan untuk melihat siapa yang datang.

"Anyeong, dengan Min Hyei-sii?" tanya seorang kurir makanan.

"Iya, itu saya. Ada apa?"

"Saya hanya mengirimkan makanan yang Anda pesan."

"Tapi, saya tak memesan apa pun."

"Silahkan, Hyei-sii. Tanda tangan di sini, Anda bisa mengeceknya bahwa nota pesanannya atas nama Anda dan alamatnya juga seperti alamat yang tertera."

Hyei menanggapi dengan ragu, dia membaca jenis makanan yang dikirimkan yang sama sekali tidak ada nama pemesannya.

"Baiklah, ini milik Anda, terima kasih." Kurir itu menyerahkan bingkisan, lalu berpamitan.

"Siapa yang begitu iseng mengirimiku makanan sebanyak ini?" Hyei bergumam memandang pizza mozarela di depannya. Pizza dalam ukuran jumbo.

Gadis itu kembali memeriksa bungkus paket, sampai menemukan amplop kecil yang terselip di dekat kaki meja. Sepertinya tadi benda itu tanpa sengaja dijatuhkannya.

"Selamat makan. Aku tahu kau belum makan karena terus memikirkanku dan aku tak mau pengantinku kurus kering, tak akan nikmat saat aku ajak menikmati malam pertama."

"Cih! Apa-apaan ini!" Hyei mendecak kesal, tapi wajahnya memerah. Rasanya seperti terbakar, dia merasakan hawa panas merayap dalam dirinya. Kesal tapi tersipu malu. Sedikit malu-malu dia mengambil sepotong pizza, padahal tak ada yang melihatnya. Perlahan dimasukkannya kemulut, lalu mengunyahnya sambil berjingkat-jingkat bahagia. Sungguh euforia yang bertolak belakang dengan apa yang terjadi tadi di mobil Hoseok.

Baru saja Hyei menghabiskan sepotong pizza, tampak Hoseok menelponnya. Gadis itu buru-buru memasang wajah kesal padahal Hoseok hanya melakukan phone call, bukan video call.

"Yeobseo! Untuk apa kau kirim pizza ke sini! Kau pikir aku akan menyukainya?!" hardik Hyei.

"Benar sekali, Sayang. Pizza itu rasanya sangat nikmat. Senikmat bibir manismu," ucap Hoseok menanggapi ocehan Hyei yang dianggapnya bertolak belakang dengan kenyataan.

"Hah ...?!" Hyei ternganga.

"Nikmati pizzanya, sebagai gantinya akan kunikmati dirimu nanti. Sampai puas."

"Ya! Sialan kau!"

Tut tut tut tut ....

Sambungan ponsel diputus sepihak ....

TBC

Owh, Hoseok mau tanggung jawab dong, tp kenapa baru sekarang. Apa dia terlalu gegabah karena cemburu kepada Taehyung? Atau ada hal lain?

Siapa yang mau next cepat, angkat kaki, eh, tangan. Jan lupa komen and share, ya. Biar aku makin semangaat. Mokaseehhh

Love Wild DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang