Dua puluh sembilan

112 15 8
                                    

Hyei dan Hoseok duduk di kursi permanen berbahan besi baja ringan. Mereka menatap terbitnya mentari di bawah pohon. Semilir angin memainkan rambut Hyei yang tergerai.

"Appa ...."

"Hyei ...."

Suara keduanya bertabrakan. Mereka pun saling menoleh, kemudian melempar senyum sedikit malu-malu.

"Katakanlah, Hyei ...."

Hyei menggeleng. "Kau saja duluan."

"Ladies first ...," jawab Hoseok seraya melempar senyum.

"Kita mainkan gunting batu kertas, siapa yang menang dia duluan."

Hoseok terkekeh. "Pacaran dengan bocah memang beda ...," desahnya membuat Hyei mendelik.

"Siapa yang kau bilang bocah," ucapnya protes. "Aku sudah dewasa, dan lebih dari mampu untuk melahirkan anak-anakmu."

"Benarkah? Aku tak percaya, aku bahkan tak yakin harus mengajarimu bagaimana cara mengimbangi permainanku."

"Siapa bilang, aku sudah belajar. Ups!" Hyei menutup mulutnya.

"Belajar apa? Kau belajar dengan siapa? Heum?" tanya Hoseok penasaran.

"Bu-bukan itu ... bukan itu maksudku." Hyei mengalihkan tatapannya, menyembunyikan rona di wajahnya.

Hoseok malah memeluk pinggang gadis itu dan menempelkan badannya. "Aku jadi penasaran dengan apa yang sudah kau pelajari," bisiknya seduktif membuat Hyei meremang.

"Appa ... jangan menggodaku." Hyei mendorong tubuh Hoseok, tapi pria itu malah menariknya hingga keduanya terjerembab di atas kursi panjang yang mereka duduki.

"Ah, kau benar-benar nakal. Sepertinya ibu panti benar tentangmu yang suka hal-hal mesum."

"Appaaa!!!" teriak Hyei sambil memukuli dada Hoseok.

"Hahahaha ...." Hoseok tertawa, lalu memeluk tubuh gadis yang kini menindihnya. Dia mengusap lembut kepala gadis itu. "Katakan apa yang ingin kau bicarakan tadi," bisiknya.

Hyei masih bermanja di dada Hoseok. Dia merebahkan kepalanya dengan nyaman dan tangannya mengusap dada Hoseok sambil mulai bicara dengan ragu, "Chaerin ... bagaimana dengan Chaerin?"

Sebelum menjawab, Hoseok menghela napas. Dia sudah menduga pasti Hyei akan mempertanyakan hal itu. "Aku belum bisa menjelaskannya padamu, Hyei, tapi bisakah kau percaya padaku? Percaya bahwa aku tak akan menyakitimu dan segera menyelesaikan urusanku dengan Chaerin."

Hyei mendongak menatap pria yang tidur di bawahnya. Yang tersirat di wajah Hoseok hanya kesungguhan dan kejujuran, juga segumpal beban yang hendak dia tanggung sendiri. Hyei kembali merebahkan kepalanya di dada pria itu. "Jika kepercayaanku bisa mengurangi beban di hatimu, aku akan menunggu kau menjelaskannya tanpa keraguan." Hyei mencium dada pria itu. "Aku mempercayaimu, Appa ...."

Hoseok merasa lega mendengar jawaban Hyei. Dia mencium pucuk kepala gadis itu. "Terima kasih."

Mereka pun bangun dari posisi tiduran itu, lalu duduk saling berpelukan menatap matahari yang mengukir langit dengan cahaya keemasannya.

"Hyei ...."

"Hmm ...," sahut Hyei lembut tanpa menoleh ke arah Hoseok.

Hoseok mengeratkan pelukannya, lalu berkata, "Apa nanti aku sudah bisa memakanmu."

"Yak! Dasar Om Om mesum!" Hyei memukul dada Hoseok yang membuat pria itu tertawa.

Setelah mentari makin meninggi, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Love Wild DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang