Tiga puluh sembilan

91 15 4
                                    

Beberapa kali Hyei menyeka air matanya yang terus membanjir membasahi pipinya. Bagaimanapun sulit baginya untuk kehilangan Hoseok, apalagi setelah apa yang mereka jalani bersama. Hoseok tak akan pernah bisa digantikan oleh siapa pun.

Supir taksi sesekali melirik ke arah penumpang. Dia diam saja dan memberikan ruang pada penumpangnya untuk menangis agar kesedihannya sedikit menguap. Setelah dilihatnya Hyei sedikit tenang, baru dia bertanya ke mana tujuan Hyei. Hyei tak tahu harus pergi ke mana.

"Antarkan saja aku ke stasiun kereta. Aku ingin pulang ke Gwangju," jawab gadis itu.

"Ini sudah tengah malam, kau yakin akan pergi ke sana? Apa tak sebaiknya aku antar ke hotel saja, baru berangkat besok?"

Hyei menggeleng. "Antar saja aku ke sana. Tak apa-apa, aku akan baik-baik saja."

Supir taksi pun membawa Hyei ke tempat tujuannya. Gadis itu duduk di kursi stasiun dengan wajah menunduk. Air mata tak berhenti untuk tumpah. Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Sekali lagi dari nomor tak dikenal. Dengan rasa waswas dan takut, Hyei membukanya. "Appa ...." Kembali gadis itu tersedu saat melihat Hoseok terkapar di lantai rumah sakit, lalu photo lain yang memperlihatkan kalau Hoseok tertidur di ranjang rumah sakit dengan jarum infus menusuk tangan kanannya. "Appa ... maafkan aku," lirih gadis itu.

Pikiran Hyei kacau antara harus kembali guna memastikan kondisi Hoseok, atau pergi saja agar Hoseok selamat. Lama dia terjebak dalam kebingungan sampai kemudian diputuskannya untuk kembali. "Bahkan saat aku pergi pun sasaeng itu masih mengincar Appa. Aku harus kembali dan melindunginya," ucap Hyei seraya menyeka air matanya.

Gadis itu berlari keluar stasiun. Dia hendak mencari taksi untuk kembali ke rumah sakit. Namun, baru saja dia berdiri di trotoar untuk menunggu taksi, seseorang memukul tengkuk belakangnya dengan benda tumpul.

"Akh!" Gadis itu mengerang. Dia mencoba menoleh guna mencari tahu siapa orang yang memukulnya, tapi pandangannya malah memudar, lalu dia tumbang tak sadarkan diri.

"Seret dia!" Suara  seorang perempuan memberi perintah. Dua pria yang jadi bawahannya pun menyeret Hyei dan dipaksa masuk ke mobil. Setelahnya mobil melaju dengan tenang seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa.

***

Hoseok membuka mata setelah matahari terjaga dari mimpinya. Cahaya mentari menyapu seluruh ruang perawatan di mana Hoseok harus menjalani rawat inap karena kejadian semalam.

"Namjoon-ah," panggil pria itu ketika hanya melihat sosok Namjoon di sofa. Namjoon yang sedang membaca majalah.

"Ooh, kau sudah sadar? Bagaimana perasaanmu?"

"Masih sedikit pusing, tapi tak apa-apa." Hoseok mencoba duduk di ranjang. Namjoon membantunya. "Apa yang terjadi? Padahal dari hasil test doktee bilang aku tak apa-apa, tapi apa yang terjadi? Kenapa aku tiba-tiba pingsan?"

Namjoon memeperhatikan aliran cairan infus, lalu menoleh kepada Hoseok. "Seseorang menyuntikkan obat bius dalam dosis tinggi hingga membuatmu langsung pingsan."

"Tapi ... bagaimana bisa? Semalam aku ... aku ...." Hoseok mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. "Semalam selepas pemeriksaan, Hyei tiba-tiba saja minta putus, lalu aku mengejarnya dan tanpa sengaja bertabrakan dengan seseorang. Setelah itu, aku ... aku tak ingat lagi apa yang terjadi."

Namjoon menghela napas. "Syukurlah orang yang menabrakmu terekam dalam kamera pengawas rumah sakit. Sekarang pihak berwajib sedang mengembangkan kasus ini."

"Lalu, Hyei ... di mana Hyei?"

Sesaat Namjoon terdiam, tampak sedang memikirkan sesuatu sebelum menjawab, "Sepertinya Hyei sudah kembali ke Gwangju. Coba kau hubungi ibu panti, cari tau apa Hyei sudah sampai apa belum."

Hoseok terdiam. Ragu menyelimuti hati, tapi dia juga penasaran dan ingin tahu kabar kekasihnya. Mengingat yang telah menimpanya, Hoseok pikir akan baik jika Hyei sekarang ada di panti. Hoseok pun mencari ponselnya. Namjoon benar, dia bisa bertanya kabar pada ibu panti.

"Anyeong, Ahjuma ...," ucap Hoseok memberi salam. "ini aku, Hoseok. Apa kabar?"

"Ah, Hoseok-sii ... bagaimana kabarmu? Aku baru saja ingin menghubungimu. Maaf aku baru tau beritamu dengan Hyei hari ini. Apa kalian baik-baik saja? Bagaimana kabar anak itu? Dia tak terguncang, kan? Tolong kau pantau dan awasi dia, ya. Jangan sampai traumanya kambuh lagi "

Hoseok membatu. Dia tak tahu harus menjawab apa. Perkataan ibu panti sama saja dengan memberitahunya bahwa Hyei tak ada di Gwangju, lalu dimana Hyei sekarang?

"Te-tentu saja," ucap Hoseok, "aku menelpon justru mau memberitahu agar kau jangan khawatir. Hyei aman bersamaku."

Ibu panti lega mendengar kata-kata Hoseok. Di seberang sana dia sangat berterima kasih. Sementara di sisi lain, Namjoon menatapnya dengan dahi berkerut bingung.

"Hyei tak ada di Gwangju," ucap Hoseok setelah memutus sambungan teleponnya. "Ibu panti justru berpikir Hyei ada bersama kita."

"Akan kuhubungi Soan, barangkali dia tau," Namjoon segera mengambil inisiatif, sementara Hoseok melepas infusnya secara paksa, lalu turun dari ranjang dan masuk kamar mandi untuk mengganti pakaian pasien dengan bajunya sendiri. "Kau mau ke mana?" tanga Namjoon saat mendapati Hoseok sudah berganti pakaian.

"Aku harus ke apartement untuk mastiin Hyei ada di sana." Hoseok mengenakan sepatunya, "aku sungguh tak tenang, Joon. Aku punya firasat buruk."

Namjoon terdiam. Setelah menelpon Soan, dia juga mulai berpikir hal-hal buruk.

"Joon, apa kata Soan?" tanya Hoseok setelah selesai memakai sepatunya.

Namjoon menggeleng. "Hyei tak menghubunginya sama sekali," ucap Namjoon,"ayo, aku ikut denganmu."

Mereka berdua pun meninggalkan ruang rawat itu tanpa meminta persetujuan dokter. Namjoon berhasil menyamarkan Hoseok yang kabur dari rumah sakit.

Sampai di apartement, Hoseok bergegas masuk dan memeriksa sekitar. Mereka berdua semakin panik saat tak mendapati Hyei di sana. Bahkan barang-barang gadis itu pun masih ada pada tempatnya. Tak tersentuh sama sekali.

"Hyei, kau di mana?" Hoseok bergumam sambil menggigit kuku jemarinya. Sementara tangan kanannya memegang handphone dan terus mencoba menghubungi Hyei meski mesin penjawab terus mengatakan ponsel gadis itu tak dapat dihubungi.

Namjoon menelpon manager Sejin guna meminta bantuannya untuk melaporkan hilangnya Hyei ke pihak berwajib. Mereka butuh bantuan sekarang. Sangat membutuhkannya.

"Bagaimana sekarang, Joon?" Wajah Hoseok pucat pasi. Dia tak bisa membayangkan apa yang sedang dialami gadis itu saat ini. Timbang Hyei yang tersakiti, dia lebih memilih dirinya yang terluka karena sasaeng itu. Hyei terlalu polos untuk mengerti bahwa cintanya bisa membawanya ke dalam bahaya.

"Tenangkah, kita kembali ke dorm dulu. Sejin Hyung sudah melaporkan kasusnya ke kantor polisi."

Hoseok setuju. Lebih banyak kepala yang memikirkan solusi akan lebih baik. Mereka pun buru-buru kembali ke parkiran untuk mengambil mobil. Hoseok sedang memutar kunci mobil saat deting notifikasi terdengar.

[Datanglah kalau kau ingin dia selamat! Hanya kau!]

Hoseok membaca pesan yang masuk ke ponselnya. Hatinya tercabik-cabik saat melihat Hyei yang terkapar di lantai kotor berdebu. Wajahnya penuh memar dan darah.

"Hyei ...," gumam Hoseok, lalu turun dari mobilnya dan melarikan diri. Dia mengabaikan teriakan Namjoon yang pasti terkejut dengan tindakannya. Hoseok terus berlari menuju jalan raya, lalu menghentikan taksi. Namjoon tak berhasil mengejarnya. Ingin mengejar, dia justru bingung karena tak bisa menyetir kendaraan. Sesaat kemudian, Namjoon pun menghentikan taksi, lalu meminta sang supir mengikuti taksi yang ditumpangi Hoseok.

Hoseok menghubungi nomor ponsel yang mengiriminya gambar. Beberapa saat dia menunggu sebelum ada jawaban dari seberang sana. "Jangan sentuh Hyei! Katakan aku harus ke mana?!" ucap pria itu geram.

TBC.

Love Wild DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang