57. Koma

387 50 8
                                    

Karena sempat mengalami kejang akibat adanya pendarahan di otak, setelah operasi dilakukan Cessa mengalami koma dan dirawat di ruang ICU. 

Seorang perawat menuntun Dewa ke sebuah ruangan dimana hanya bunyi monitor ECG yang menjadi satu-satunya suara di ruangan tersebut.

Hati Dewa hancur melihat bagaimana Cessa terbaring dengan berbagai macam peralatan medis yang menunjang setiap napas dan hidupnya saat ini. 

Ia menarik kursi lalu duduk, satu tangannya meraih telapak tangan Cessa lalu ia kecup dengan bibirnya yang bergetar. 

"Hai, kamu lagi mimpi apa sekarang? Kayaknya indah banget, sampai-sampai udah dua hari ini kamu masih belum siuman," gumam Dewa dengan suaranya yang serak. 

"Kata dokter …." Lelaki itu menelan ludahnya dengan alot. Tatapannya yang sayu akibat kurang tidur mengarah lurus pada Cessa yang tampak seperti tengah tertidur lelap. "Kata dokter, kalau besok kamu masih belum siuman juga, kamu dinyatakan mati otak, yang artinya …." 

"Artinya otak kamu berhenti berfungsi permanen. Artinya jantung kamu bakalan berhenti berdetak kalau semua alat itu dicabut. Artinya kamu bisa tetap hidup cuma karena alat-alat medis yang menunjang kamu. Artinya …."

Dewa menunduk, tak lagi sanggup mengemukakan kemungkinan terburuk yang bahkan tak pernah berani ia bayangkan. 

"Artinya nyaris mustahil kamu bisa bangun lagi." 

Air mata Dewa luruh juga. Ia membawa telapak tangan Cessa ke pipinya, menciuminya dengan hati lara. Kenyataan yang tengah ia hadapi seolah mengoyak jiwanya tanpa sisa. 

Dewa merasa semestanya tak lagi berbentuk, bahkan ia merasa dunianya telah runtuh hingga kakinya tak mampu lagi berpijak. 

Princessanya, seorang adik yang menjadi separuh jiwanya, kini tengah berjuang di antara kehidupan dan kematian. Jika Cessa memilih pergi meninggalkannya selamanya, bagaimana ia akan bertahan? 

"Lalu, soal Eagan … baby, kamu pasti khawatir sama dia 'kan? Dia belum bisa jenguk kamu karena lukanya yang lumayan parah bikin dia butuh waktu lebih lama buat pulih." 

Dewa mengusap pipinya yang basah. "Kamu nggak mau bikin Eagan sedih dan khawatir 'kan? Kamu juga mau punya akhir yang bahagia sama dia 'kan?"

Sekali lagi, ia kecup telapak tangan adiknya dengan bibir bergetar.

"Jadi, kamu harus bertahan. Demi Eagan, demi kakek, demi Lingga, demi … demi Kakakmu yang gak bisa hidup tanpa kamu."

"Kamu harus kuat. Kamu harus bertahan. Kakak cuman punya kamu. Kalau kamu pergi ninggalin Kakak, gimana Kakak bisa tetap hidup, Princess?" kata Dewa disela tangis. "Kakak nggak akan bisa hidup lagi kalau kamu pergi." 

.

.

(*)

"Diaz, gimana keadaan Cessa?" 

Diaz yang sedang mengupas apel sontak berhenti. Ia mendongak pada Eagan yang kini tengah menatapnya dengan mata memicing penuh curiga. 

"Diaz?" 

"Uhm … dia …." Diaz tampak membuang muka, membuat Eagan semakin curiga saja. "Dia nggak terlalu baik." 

"Maksud lo — argh!" Eagan refleks bangun dari tidurnya, lalu meringis kesakitan saat menyadari kondisinya masih tidak memungkinkan bahkan untuk sekadar bangun dari ranjang. 

"Aish!" Diaz mendesah pelan. "Itu sebabnya gue nggak mau kasih tau lo dulu. Kondisi lo masih lemah banget, Eagan, jangan maksain dulu buat lihat keadaan dia." 

Eagan diam tak menanggapi perkataan Diaz. Ia kembali berbaring dibantu oleh sahabatnya tersebut. 

"Seberapa buruk?" gumam Eagan sembari menatap langit-langit ruangan. 

"Hm?" 

"Seberapa buruk keadaan Cessa?" Eagan memperjelas pertanyaannya. 

"Gue pikir lebih buruk dari yang lo alamin." 

Eagan menatap salah satu tangannya yang dibalut gips, serta sebelah kakinya yang digantung dan dibalut perban tebal. Jika dia saja sudah separah ini, lalu seberapa parah luka yang dialami oleh Cessa? 

"Juga, lebih buruk dari yang lo bayangkan." 

Diaz tak berani memperjelas keadaan Cessa pada Eagan dengan mengatakan bahwa gadis itu mengalami pendarahan di otak dan berakhir koma. 

Eagan menghela napas pelan. "Seburuk itu, sampai-sampai lo nggak berani kasih tau gue secara detail gimana keadaannya saat ini." 

"Gue pengennya bohong sama lo dengan bilang dia sudah lebih baik, atau bahkan sekalian saja gue bilang kalo dia baik-baik saja." Diaz mengangkat bahu. "Tapi gue pikir elo cukup pintar, dude, buat mikir kalo dia memang sudah lebih baik, dia pasti sudah jenguk lo saat ini. Atau seenggaknya Xadewa yang akan wakilin dia buat lihat keadaan lo." 

"You're right." Eagan tersenyum kecil. "Bahkan gue ngerasa bad feeling terus tiap kali gue mikirin dia." 

"Well, semacam ikatan batin kali, ya? Gue rasa itu cukup masuk akal, mengingat perasaan kalian sedalam apa," ujar Diaz sembari menyodorkan piring berisi apel yang telah dipotong dan dikupas pada Eagan. 

"Thanks." Saat ini Eagan hanya bisa berbaring, namun sesekali posisi ranjang dinaikkan hingga 45° untuk mobilisasi dan memudahkannya dalam makan atau minum. 

Diaz memerhatikan sahabatnya dalam diam. Meski Eagan tetap terlihat tenang, ia tahu betul bagaimana keresahan sahabatnya itu karena memikirkan Cessa. 

Pandangan Diaz turun ke salah satu tangan Eagan yang tidak dibalut gips, telapak tangannya mengepal seolah menahan emosi yang tersimpan di dalam dirinya. 

Diaz tahu, Eagan pasti menyalahkan Aksa atas semua ini. Diaz pun tak mengelak, karena memang itulah kenyataannya. 

"Selain Mr. Joseph, kakek lo juga udah laporin Aksa ke polisi." 

Eagan kembali menoleh padanya sekilas. "Bahkan dengan ngabisin seluruh sisa hidupnya di penjara pun masih belum cukup buat bayar semua yang udah Aksa lakukan selama ini. Terutama sama Cessa." 

Tatapan Eagan tampak datar seolah tak puas dengan apa yang diutarakan oleh Diaz. "Bahkan gue rasa kematian pun terlalu mudah buat dia." 

Diaz mengembuskan napas panjang. Ia menyandarkan punggung pada kursi lalu berkata, "I know, dia emang sangat keterlaluan, semua hal yang dia lakui  selama ini sulit untuk dimaafkan. Tapi gue rasa, kali ini dia akan benar-benar menyesal." 

To be continued..

BREATHLESS [Remake]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang