48. Balasan

844 104 8
                                    

"Bego! Makin kotor jadinya."

Dewa menendang tangan mungil itu dengan kakinya.

Menatap remeh seseorang tak berdaya yang kini duduk nahas di lantai dengan Dewa yang duduk penuh kuasa di hadapannya sembari menyilang tangan di dada. Pemandangan yang sangat mengenaskan.

Wajah Rea sangat suram. Tangannya yang memegang tisu kering ia kepalkan kuat-kuat. Untung yang kesekian kali, Dewa merundungnya.

Orang-orang di kantin kampus tidak bisa berbuat banyak. Hanya mampu menatap iba, bahkan Lingga dan Livy memilih meninggalkan area kantin saat penindasan itu terjadi.

"Maaf, Kak." Hanya itu yang mampu Rea ucapkan. Meski dalam hati ingin menyumpahi Dewa dengan seribu hujatan.

Dewa berdecak, kemudian membuang muka. "Ck! Bukannya bersihin sepatu gue, malah lo bikin tambah kotor."

Lelaki itu menyuruh Rea membersihkan sepatu kanvasnya yang terciprat genangan air hujan dengan tisu kering.

Orang bodoh sekali pun tahu, tisu kering bergesekan dengan kain akan membuat tisunya hancur dan mengelupas. Bukannya bersih, yang ada semakin kotor karena kejak tisu yang menempel.

Dewa memang sengaja ingin membully-nya.

Semua ini semulai sejak setahun lalu. Semenjak kepergian Cessa ke Singapura.

Tadinya Rea mengira segalanya sudah berakhir. Namun ternyata, siapa sangka? Dewa yang sudah mendaftarkan magister-nya ke Columbia University tiba-tiba memutar haluan dengan kembali melanjutkan study di kampus ini.

Dewa sengaja melanjutkan S2-nya di Moonlight University hanya demi memberi Rea neraka dunia yang nyata.

Rea mendongak. Menatap Dewa yang sedang menyesap rokoknya dalam-dalam. "Sampai kapan?" Tanyanya dengan lirihan dalam.

Saat Dewa merundung seseorang, maka seluruh penghuni kampus akan ikut merundungnya.

Begitulah hukum tak kasat mata yang berlaku di mana pun lingkungan yang didiaminya.

Dewa menoleh sekilas. Manik elangnya menyorot bagai pedang yang siap menghunus.

Sorotnya berumah remeh. Salah satu sudut bibirnya terangkat, memberikan lengkusan tipis. Namun bagi Rea, senyum itu tak ubahnya ribuan pedang tajam yang siap menancapkan diri padanya.

Mendapatkan seringai evil itu, tubuh Rea menggigil. Satu tahun harusnya lebih dari cukup ia menerima hukumannya.

"sampai lo ngerasa ... kematian bahkan lebih baik ketimbang neraka yang gue kasih buat lo," katanya dengan intonasi rendah namun tajam.

Dewa menekan rokoknya yang menyala ke asbak, kemudian beranjak meraih tasnya hendak pergi.

Kakinya dengan sengaja menyenggol lengan Rea begitu dia melewati tubuhnya yang masih setia duduk di lantai.

Andre sama sekali tidak berniat membelanya. Setelah Dewa pergi, dengan santai ia menghampiri Rea dengan mengulurkan tangan hendak membantunya berdiri.

"Re, Re. Kan gue udah bilang," katanya sembari menarik Rea berdiri. "Lo senggol Cessa, sama aja lo nyari mati."

Rea menepuk bagian belakang jeansnya sembari berujar, "Kamu enggak nolongin."

"Gue nggak cukup bodoh buat nyelakain diri sendiri demi suatu hal yang nggak ada sangkut pautnya sama gue." Andre tersenyum lebar. "Lo cuma teman gue, Re. Posisi lo di hidup gue nggak sepenting itu. Sorry."

Rea mendengus pelan tanpa sekali pun berniat menjawab. Dasar!

Tak mendengar jawaban dari mulut Rea, Andre mengangkat bahunya tak acuh. "Lagian dari awal yang jadi rival gue si bangsat Aksa, bukan dia." Andre bergidik. "Dewa versi devil bahkan lebih nyeremin dari devil versi asli."

BREATHLESS [Remake]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang