enam

329 50 7
                                    

Lukas dan Susan menikah karena cinta.

Bukan cinta kepada satu sama lain, tetapi kepada orang tua mereka masing-masing.

Mereka menikah demi menyenangkan orang tua mereka yang berpolitik. Lukas datang dari keluarga yang makmur dan terpandang. Susan begitu cantik, dirawat, dan cerdas. Keduanya mahaunggul. Jadinya pernikahan itu seperti sebuah manifestasi eugenik pada tingkat sosial dan, mungkin, estetika.

Hasilnya, didapatkanlah Magdalene. Anak perempuan yang manis, cerdas, banyak akal, dan, singkatnya, terbangun dari apa saja yang menurut kakek dan neneknya sempurna. Tapi bukan hanya menurut Kakek dan Nenek, orang-orang yang mengelilingi anak itu juga mengagumi kesempurnaannya.

Kekurangannya hanya satu, bahwa dia tidak pernah terisi sama sekali. Ayahnya mengepalai beberapa perusahaan yang kini menjadi sangat besar dan mendunia, sehingga waktunya tersita di sana. Sementara itu, ibunya tidak rela meninggalkan dunia model yang adalah impiannya sejak kecil. Kedua orang tuanya yang absen telah membatalkan semua kualitas yang unggul di dalam Magdalene, membuat anak itu tumbuh besar dalam sebuah titik buta yang tidak pernah diketahui ada, membangun dirinya sendiri dengan menyambung untaian detik demi detik yang ia pungut dari padatnya jadwal orang tuanya, mendefinisikan kenormalan yang sama sekali salah, menciptakan ilusi yang palsu tetapi manjur untuk membuat dirinya lupa bahwa rumah bukan hanya sebuah bangunan.

Sebagai sosok yang disusui, dirawat, dan dibesarkan oleh kesendirian, Magdalene yang pada dasarnya sensitif, memiliki satu rongga yang begitu besar. Suatu kali seseorang masuk ke dalam perhatiannya, dan begitu saja orang itu masuk ke dalam rongga itu, mengisinya, dan membuatnya merasa penuh.

Orang tuanya mengatakan bahwa pemuda bernama Reagan Abraham dari keluarga Tirtajana itu adalah dokter muda yang akan dijodohkan kepadanya. Terang-terangan, ibunya berkata kepadanya, tidak seperti ibu kepada bayinya—nadanya seperti seorang kepala personalia yang memberi tahu aturan main perusahaan, begitu profesional dan menuntut kedewasaan dari putrinya—bahwa pernikahan itu hanya untuk meneruskan tradisi pelestarian keunggulan.

Terserah, menurut Magdalene, karena ia mencintai pria itu.

Penolakan, di sisi lain, memancar dari anak tunggal Tirtajana itu. Ia mengatakan bahwa ia mencintai wanita lain, meskipun, dengan semua kerendahanhatinya, Reagan memperlakukan tunangannya dengan penuh hormat dan kelemahlembutan. Penolakan itu tidak bisa disembunyikan dari Magdalene betapa pun pria itu mencobanya. Rongga itu telah membuat Magdalene peka akan penolakan, akan cinta, akan serangga, akan derak pintu, dan akan apa saja.

Benar, rongga itu bersifat patologis. Andai saja wanita itu memeriksakannya ke rumah sakit, ia akan mendapatkan sebuah diagnosis. Namun, rongga yang sama juga menahannya pergi ke rumah sakit. Jadi satu-satunya obat bagi rongga itu adalah cintanya, Reagan Tirtajana.

Lalu, mereka menikah. Magdalene menghormati suaminya sebagaimana ia diminta oleh Tuhan. Ia menyenangi konsep keluarga. Ia menyenangi konsep kasih meskipun pernikahannya dimulai dengan politik. Semuanya terasa begitu indah dengan Reagan di sisinya.

Magdalene membeli gaun-gaun anggun dan mengenakannya demi menyenangkan suaminya. Banyak pria menyenangi bentuk tubuhnya yang sedap dipandang, ia menyadarinya. Namun, ia selalu berpakaian sederhana dan ia bersumpah di dalam hatinya bahwa, tidak seperti ibunya, ia akan menyimpannya sampai kepada saat yang tepat. Dan pernikahannya adalah saat yang tepat. Ia mulai bergaya, mulai berdandan, dan bermegah dalam keindahan tubuhnya. Cantik, puji suaminya, meskipun senyum pria itu terlalu kecil dan binar matanya terlalu sesuatu. Kekosongan di hati Magdalene membisikkan kepada hatinya bahwa, tidak, ia tidak cantik. Suaminya hanya mengatakan bahwa ia cantik karena pria itu sudah muak dengan upayanya yang putus asa.

Tapi, toh, mereka memiliki seks di tengah-tengah mereka. Mungkin seks adalah istilah yang terlalu eksoterik. Orang-orang menyebutnya seks atau bercinta, tetapi bagi keduanya, terutama bagi Reagan, itu hanya sebuah prosedur demi memberikan mereka seorang anak. Namun, Magdalene menikmatinya. Ia menikmati setiap sentuhan pria itu, deru nafas suaminya yang hangat, gesekan halus kulit mereka, bagaimana lembutnya surai pria itu ketika ia menyapunya dengan jari-jemarinya. Hatinya berdesir karena pria itu yang melakukannya bersamanya, bukan yang lain. Reagan Tirtajana, pria dengan hikmat, pengertian, kecerdasan, dan ketampanan, berada di atasnya dan menguasainya. Betapa adalah sebuah kenikmatan baginya ketika kekosongan itu dijinakkan oleh sebuah kuasa seperti itu. Untuk beberapa saat, kekosongan itu bisu. Untuk beberapa saat, ia merasa semua ilusinya adalah tipuan.

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang