dua puluh lima

287 35 0
                                    

Malam itu, hujan mengguyur ibu kota dengan butiran-butiran tajam.

Rachel merenung dengan tatapan tertuju pada mobilnya yang kehujanan. Cat mobil tua itu terlihat akan terkikis di setiap gempuran air hujan itu. Tapi ia tidak bergerak di tempat duduknya di lantai teras BC, bar kesayangannya yang belum hancur tapi tertutup rapat.

Sesuatu yang lebih besar mengusik kedalaman batinnya.

Banyak yang terjadi hari itu. Neneknya berubah menjadi abu.
Ia berbicara panjang kepada suaminya dengan sedemikian rupa sehingga ia harus meninggalkannya begitu saja. Ia gagal menemukan kakeknya dan, seolah semua itu belum cukup berat untuk terjadi dalam setengah hari yang melumpuhkan, sesuatu pecah dan meracuni sisa dari 24 jamnya.

Akui dan ampuni, dan Anda akan tetap berada di luar.

Rachel ingat respons pertamanya ketika kalimat itu masuk ke telinganya: ia melirik ke balik punggung perawat itu dan mendapati orang-orang sakit jiwa di dalam sana. Dan selanjutnya, ia menjadi takut.

Rachel menghabiskan waktunya berkendara ke mana saja tangannya menyetir hanya demi menemukan alasan mengapa ia takut, atau kepada siapa. Kenapa kalimat terakhir perawat itu menjeratnya sehingga ia harus menoleh ke dalam? Dan kenapa, setelah menoleh ke dalam, ia malah takut mendapati orang-orang sakit itu, sehingga ia segera pergi dari sana?

Di penghujung hari, sebuah jawaban akhirnya muncul ke permukaan. Wanita itu menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang sepi. Langit sore menaunginya, menyambut keheranannya akan jawaban itu. Rachel menggenggam kemudi dan menatap roda itu sedikit menerawang. Napasnya tenang, tapi di dalamnya muncul suatu ketidakpercayaan yang membuatnya gagal menyetir untuk beberapa lama.

Rachel tidak takut berada di dalam sana.

Itulah jawabannya. Ia takut setelah melihat ke dalam dan berlari keluar karena ia tidak takut menjadi bagian dari mereka. Baru ia sadari, ia tidak masalah berada di dalam sana. Rasa benci dan akar pahitnya akan kehidupan telah membuatnya ngeri pada dirinya sendiri. Rachel memilih kegilaan dibanding pengampunan, kehancuran dibanding ketaatan kepada firman.

Rachel Helena mampu hidup dalam pertanyaan soal perselingkuhan ayahnya selama bertahun-tahun, menangani mayat ibunya sendirian, serta mencapai keunggulan moral, akademik, dan estetika terlepas dari serangkaian trauma mahadahsyat itu. Tapi, soal mengampuni, sampai saat ini, anak itu masih memilih untuk minum.

Hujan menderas. Rachel mengeratkan jaket kulitnya dan mendekap ayamnya lebih erat.

Ia dan ayamnya yang mungil dengan setia duduk sejak satu jam lalu, menantikan pintu bar dibuka oleh satpam yang berjaga, atau perampok, atau angin, sehingga ia bisa menyelinap dan minum sedikit.

Rachel tidak ingin pulang. Untuk beberapa alasan, ia tidak mau lagi menyebut unitnya rumah. Jadi pergi ke unitnya tidak lagi bermakna pulang. Anak itu sejatinya tidak memiliki rumah lagi.

Pukul 21 ketika hujan akhirnya berhenti.

Mengetahui bar tidak akan dibuka, Rachel berjalan mendekati mobilnya. Ia akan ke mana-mana lagi sampai letih kemudian, mungkin, kembali ke unitnya setelah menjadi terlalu letih untuk berpikir bahwa tempat tinggalnya itu kini termasuk salah satu tempat yang ingin ia hindari di muka bumi.

Ketika Rachel menempatkan anak ayamnya di kardus yang ia letakkan di jok penumpang, sebuah mobil sedan masuk dari sayap kanan pintu masuk bar. Lampu putihnya menyorot tajam, menyilaukan Rachel yang sudah kembali berdiri tegak.

Mobil itu terparkir rapi di samping mobil usang Rachel, turut mengisi lapangan parkir yang kesepian. Setelahnya, pemiliknya keluar.

Rachel tidak menduga beginilah akhirnya ia akan menemukan kakeknya.

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang