sembilan

303 48 1
                                    

Rachel dan Jared berdiri di depan tempat tidur Reagan Tirtajana yang sedang tertidur.

Keduanya tidak berbicara apa-apa. Mereka hanya menatap tempat tidur dengan penghakiman masing-masing.

Rachel melipat tangannya di depan dada, memandangi ayahnya dengan bosan.

Sementara itu, Jared menangkap figur pria kurus yang sedang terbaring itu. Fisiognomi dari pria itu tidak mengindikasikan perselingkuhan, imoralitas, atau kenajisan. Reagan Tirtajana terlihat seperti utusan yang berwibawa dan bijaksana. Ia terlihat cerdas dan berketuhanan. Kombinasi yang sempurna. Namun, natur korup pria itu betul-betul nyata. Karena Rachel Helena yang rusak betul-betul berdiri di ruangan itu. Jared merasakan kebencian mengepul dari wanita di sampingnya, mengumumkan perang yang tidak pernah dimulai, tetapi juga tidak pernah berakhir.

"Rachel?"

Reagan mengerjap-kerjapkan matanya, berusaha memperjelas sosok yang berdiri di ujung tempat tidurnya. Agak sulit mengenali putrinya karena wanita itu tengah mengenakan sesuatu yang putih. Putih bukan Rachel. Namun, bagaimana kemeja putih itu membungkus tubuh Rachel mengonfirmasi kepada Reagan bahwa itu benar putrinya.

Kancing kemeja putih Rachel yang semula tertutup, kini terbuka, memberi celah yang cukup untuk mengintip belahan dadanya. Rambutnya yang dicepol telah menjadi terurai, menciptakan gelombang yang liar dan manis serta menggairahkan setelah tertiup angin malam yang sembrono. Lengan kemejanya sudah digulung dengan tanggung. Tatapan matanya yang datar secara ironis menjadi asesori yang ngeri. Hitamnya pusaran dari tatapan itu membatalkan semua kesucian, menyatu dengan gelapnya malam, memberi kesan premanisme yang mendukakan hati seorang ayah.

Rachel Helena telah sekali lagi menjadi kekecewaan paling besar, paling mutlak, dan paling cantik bagi Reagan Tirtajana.

"Selamat malam, Pak," tegur Jared. Pria itu menunduk satu kali.

Dan kini kekecewaan itu bertambah besar dayanya ketika anak tunggal keluarga Assad itu didapatinya berdiri di samping putrinya. Pria penuh tato dengan setelan semi kasual itu menatapnya dengan kepercayaan diri, yang Reagan tafsirkan sebagai rasa puas diri dan penuh ejekan, seolah memperingatkan bahwa salah satu dari mereka telah menang.

Reagan serta-merta menjadi defensif. "Apa yang Anda lakukan bersama putri saya?"

Rachel rasa-rasanya ingin mencabut tulang martil, landasan, dan sanggurdinya dari dalam telinganya dan mencuci mereka dengan sabun dan membilasnya. Putri saya. Adalah sebuah aib yang menguras habis keluhuran diri, untuk diklaim sebagai anak oleh ayahnya. Rachel nyaris muntah.

Jared memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Ia berusaha mengabaikan tensi yang menguasai ruangan itu. Tensi itu membuat ruangan seolah baru saja diinvasi oleh roh jahat yang meregangkan si ayah dan putrinya dari ujung ruangan satu ke ujung lain. Seperti magnet yang berkutub sama, mereka tolak-menolak, begitu kuat hingga semuanya nyaris terjadi secara fisik. Hal itu destruktif bagi roh, bagi sesuatu yang mendamba kasih dan kedamaian di dalam mereka.

Terlepas dari fakta bahwa Rachel Helena adalah seorang yang banyak masalah, pria itu berkata, "Putri Anda telah menjadi calon istri saya. Kami akan menikah dua hari lagi."

Semua ini tiba-tiba bagi Reagan. Pria itu menarik nafas panjang dan membuangnya. Ia menatap keduanya bergantian. Kesungguhan terlihat jelas di mata kedua orang itu. Dua orang itu serius soal pernikahan mereka. Tatapan lesu pria sakit itu berhenti di putrinya. "Kita perlu berbicara, Rachel."

"Kita sedang berbicara."

"Hanya Papa dan kamu."

Percakapan bersama ayahnya selalu terjadi ketika hal-hal berjalan dengan salah dan sudah kepalang memerlukan pertolongan gawat darurat. Rachel menyukai ini. Kenikmatan menjalari seluruh tubuhnya ketika ia dibaptis dengan kebencian. Pria itu merasa ia memiliki hak untuk berbicara saat semuanya sudah rusak ketika ia tidak pernah berada di sana saat semuanya masih utuh.

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang